Oyos Saroso HN
Rita Matu Mona (Foto: Oyos Saroso HN) |
Membicarakan teater Indonesia, tak lengkap rasanya jika tidak menyebut nama Rita Matu Mona (51). Aktris andalan grup Teater Koma pimpinan Nano Riantiarno ini termasuk salah satu dari sedikit perempuan aktris teater di Indonesia yang tetap setia melakoni hidup sebagai pemain teater. Sejak mengenal teater pada usia 11 tahun, hingga kini sudah 40 tahun Rita bergelut di dunia teater.
Pada 2005 lalu Rita Matu Mona mendapatkan penghargaan dari Musium Rekor Indonesia (MURI) sebagai “Pemain yang Tidak Pernah Digantikan Pemain Lain dalam pementasan naskah Sampek-Engtayyang dipentaskan Teater Koma”. Selain Rita, pemain lain yang mendapatkan penghargaan itu adalah Sari Madjid, Idris Pulungan, Dudung Hadi, Alex Fatahillah, Dorias Pribadi dan Anneke Sihombing.
Sejak lakon Sampek-Engtay dipentaskan pertama kali pada 1988 sampai 2005 (dipentaskan sebanyak 82 kali), Rita dan enam actor/aktris itu belum pernah diganti pemain lain dalam memerankan perannya masing-masing. Pementasan Sampek-Engtay yang disutradarai N.Riantiarno juga mendapatkan MURI karena dianggap paling sering dipentaskan dan paling banyak mendatangkan penonton dalam sejarah teater modern Indonesia.
Rita mengenal dunia teater sejak usia 11 tahun, yaitu sewaktu ia menjadi salah satu pemain dalam lomba sandiwara radio di Radio Republik Indonesia (RRI). Mewakili RRI Jakarta dengan mementaskan naskah Bunga Cinta Bunga Duka dan disutradari Jhon Simamora, saat itu Rita terpilih sebagai Pemain Cilik Terbaik Kedua.
Setelah itu Rita bergabung dengan Kelompok Teater Remaja yang dipimpin seniman Kasim Ahmad. Rita makin serius berteater setelah bergabung dengan Teater Koma pimpinan Nano Riantiarno pada 1980. Selama 30 tahun berkarya bersama Teater Koma, Rita sudah memainkan kurang lebih 100-an naskah karya Nano Riantiarno dan naskah adaptasi karya penulis dunia. Rita juga ikut “menikmati manis-getirnya” perjalanan Teater Koma. Termasuk pada saat-saat Teater Koma dilarang pentas pada era Orde Baru.
Naskah-naskah asing yang diadaptasi Nano Riantiarno dan ikut dimainkan Rita Matu Mona antara lain Roman dan Julia(Shakespeare), Tiga Dewa dan Kupu Kupu(Bertold Brecht), Orang Kaya Baru(Moliere), Raja Ubu ( Alfred Jari), Tenung (Arthur Miller), dan Opera Binatang ( George Orwel).
Seniman yang sering diundang berbagai forum pertemuan pemaian teater perempuan dunia ini mengaku memilih dunia teater karena dia percaya bahwa dengan berposisi seniman dia bisa menjadi jembatan untuk menyuarakan suara dari bawah (rakyat) tentang ketakadilan, tentang kesewenang wenangan, tentang kemiskinan, kepada yang di atas kekuasaan.
“Saya percaya bahwa idealnya seorang seniman menjunjung harmonisasi dalam kehidupan juga dengan alam, dan tentu karena itu yang diinginkan Tuhan,” ujar seniman kelahiran 26 April 1947 ini.
Selain bermain dan menyutradarai, putri sastrawan Matu Mona ini juga penulis lakon yang handal. Lima naskah drama pernah dia tulis dan dipentaskan. Antara lain Catat, Tragedi Semanggi, Sang Dalang, Potret, The Lipstick Children. Pada 1999, ia terlibat dalam salah satu pementasan Teater Koma dengan judul The Three Penny Opera karya Bertold Brecht yang di sutradarai oleh Nano Riantiarno, berperan sebagai asisten sutradara dan diserahkan untuk menjadi perekrut dan melatih lebih dari 20 anak-anak jalanan yang berusia sekitar 6 sampai 14 tahun.
Meskipun sudah 36 tahun berteater dan usia makin tua, Rita hingga kini Rita merasa tidak pernah bisa pensiun atau berhenti menekuni teater. Sejak beberapa tahun terakhir Rita bahkan mengembangkan bakat seni teater yang dimilikinya untuk kepentingan sosial dan kemanusiaan. Antara lain untuk membantu akdvokasi kasus-kasus trafficking , sosialisasi bahasa HIV/AIDS, dan kasus-kasus perburuhan.
Selama enam tahun (1999—2005) Rita pernah melakukan pelatihan teater sebagai upaya advokasi kasus anak-anak perempuan korban trafficking. Meski didanai oleh NGO Save The Children, tetapi partner kerja Rita adalah sebuah LSM yang pimpinan sampai ke pengurusnya para perempuan mantan pelacur Kramat Tunggak , Jakarta Utara. Kramat Tunggak adalah lokalisasi terbesar di Jakarta yang kini sudah ditutup oleh pemerintah .
Untuk menulis naskah dan menggarap lakon teater tentang kasus trafficking ini, Rita harus melakukan riset lapangan. “Hasil riset itulah yang saya susun jadi naskah berjudul ‘Anak-Anak Bergincu’. Saya melatih dan menyutradarainya. Para pemainnya adalah anak anak perempuan korban trafficking,” kata ibu tiga putra ini.
Secara roadshow naskah lakon “Anak-Anak Bergincu” (Lipstick Children) dipentaskan di lebih dari 30 kali ke kota dan desa-desa habitat kasus trafficking itu terjadi. “Tentu saja selama mengerjakan proyek kemanusiaan itu saya kerap mendapat ancaman dari orang-orang yang terlibat dalam kasus trafficking, termasuk dari aparat,” ujarnya.
Tak hanya pentas keliling Indonesia, pentas yang melibatkan anak-anak korban trafficking itu juga dipentaskan pada Pertemuan Teater Sutradara Perempuan se-Asia Pasific pada 2006 lalu di Singapore dan menghargaan penghargaan dalam forum tersebut.
Selain menjadi relawan advokasi trafficking, Rita juga banyak membantu advokasi penanggulangan penyakit HIV/AIDS di Indonesia lewat teater. Pada 2009 Rita diundang NGO WVI, sebuah lembaga kemanusiaan yang concern pada kasus HIV AIDS di Papua, untuk melakukan pelatihan teater di kota Abepura.
Menurut Rita, penyuluhan tentang bahaya HIV/AIDS di Papua lebih mudah dilakukan dengan bentuk teater daripada lewat seminar atau informasi melalui media cetak dan elektronik. “Kasus HIV/AIDS tertinggi di Indonesia. Kalau tidak ditangani dengan serius oleh pemerintah daerah dan pemerintah pusat, Papua akan kehilangan satu generasi. Generasi mudanya akan musnah dibunuh virus HIV AIDS,” ujarnya.
Agar bisa berkomunikasi dengan lancar dengan para anak asuhnya, Rita banyak memakai bahasa slang Papua. Rita juga mengubah seluruh dialog dalam naskah yang akan mereka mainkan dengan bahasa slang Papua yang lebih akrab dengan anak-anak Papua dibandingkan bahasa Indonesia. Musik dan kostumnya pun digarap dengan memasukkan unsure-unsur Papua.
Naskah “Maria Si Pelacur” yang disutradarai Rita kemudian sukses dipentaskan pada acara Hari Anti HIV AIDS sedunia di Kota Jayapura. Juga difilmkan menjadi sebuah karya drama TV dan ditayangkan di TOP TV Papua.
“Saya sangat terharu. Saya banyak mengajar teater di berbagai tempat. Namun, pengalaman batin saya tidak seperti saat saya mengajar di Papua.Ketika saya kembali ke Jakarta murid murid saya menangisi kepergian saya,” kata perempuan yang sejak 1998 juga menjadi sutradara Teater Ungu di Universitas Atmajaya itu.
0 comments:
Post a Comment