Zaenal Asikin/Teraslampung,com
BANDARLAMPUNG - Jaksa Penuntut Umum (JPU) A. Kohar menuntut tiga terdakwa M. Nasir (51),Yusman (53), dan Haryono (45). Masing - masing dituntut selama 8 tahun kurungan penjara terkait korupsi pada proyek pembangunan Jalan lintas pantai timur (Jalinpantim) yang merugikan negara sebesar Rp25 miliar lebih. Pada sidang yang digelar di Pengadilan Tipikor Tanjungkarang, Kamis (12/6),
Kohar menyatakan ketiga terdakwa dinyatakan secara sah dan bersalah melanggar pasal 3 ayat (1) jo pasal 18 ayat (1) UU RI Tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi.
"Menuntut ketiga terdakwa yakni M. Nasir, Yusman, dan Haryono, masing-masing selama 8 tahun kurungan penjara dan denda sebesar Rp500 juta," kata JPU A.Kohar di Pengadilan Tipikor Tanjungkarang, Kamis (12/6).
Atas tuntutan tersebut, Majelis hakim yang diketuai Poltak Sitorus meminta kepada para terdakwa untuk dapat memberikan keterangan sesungguhnya dan jujur dalam nota pembelaan pada sidang berikutnya.
"Untuk masing-masing terdakwa, dapat mengajukan pembelaan pribadi, selain pembelaan dari Penasehat Hukumnya, dan dalam pembelaan nanti, saya minta terdakwa dapat memberikan keterangan sesungguhnya dan jujur,” ujar Poltak kepada para terdakwa.
Terpisah, saat ditanyai mengenai tidak adanya uang pengganti terhadap kerugian Negara sebesar Rp25 miliar kepada terdakwa, JPU menyatakan, hal tersebut terjadi karena para terdakwa tidak menerima uang tersebut.
"Uang tersebut sudah diserahkan kepada masyarakat, dan kerugian negara tersebar kepada masyarakat, itu menjadikan terdakwa tidak dibebani uang pengganti," kata JPU Kohar usai persidangan.
Diketahui sebelumnya, dalam sidang tersebut ada sebenarnya ada 4 terdakwa. Namun, dikarenakan satu terdakwa lain yakni Dwi Handojo telah meninggal dunia pada tahun 2010 sehingga penyidik menyidangkan tiga orang terdakwa.
"Simsalabim" Ganti Rugi
Dalam dakwaan JPU, Satuan Kerja Non Vertikal Tertentu (SNVT) Provinsi Lampung pada 9 Januari 2008 melakukan kegiatan pembangunan jalan dan jembatan Bakauheni–Ketapang–Wayjepara. Disusul pembangunan jalan dan jembatan Bakauheni–Ketapang– Wayjepara pada 23 Januari 2009.
Pembangunan mengharuskan adanya pembebasan lahan masyarakat, sehingga Departemen PU mengalokasikan anggaran untuk 2008 sebesar Rp32,5 miliar dan 2009 sebesar Rp18 miliar.
”Karena lokasi kegiatannya di Lampung Timur, pemkab setempat membentuk panitia pengadaan tanah (P2T) pada 14 Januari 2008,” jelas Kohar.
Tim P2T Lamtim kemudian melakukan sosialisasi kegiatan dengan mengidentifikasi, menginventarisasi, serta cross check tanam tumbuh dan bangunan yang akan diganti rugi. Hasilnya disampaikan kepada terdakwa Yusman selaku administrasi teknik pada struktur organisasi di lingkungan pembangunan jalan dan jembatan.
”Data tim dipindahkan Yusman ke laptop miliknya dengan format daftar normatif. Karena data yang diserahkan panitia tim P2T tidak ada harganya, terdakwa Yusman membuat sendiri jumlah harga untuk masing-masing pemilik tanah,” ungkap dia.
Setelah ada daftar normatif, Tim P2T didatangi oleh warga sekitar untuk menolak hasil identifikasi tersebut, sehingga Tim P2T mendatangi Yusman untuk merubahnya dan terdakwa Yusman merubah hal itu, setelah dilakukan pencairan, Tim P2T meminta kepada M.Nasir yang merupakan terdakwa I selaku kepala TU dan Haryono (Terdakwa III) selaku Bendahara Pengeluaran Kegiatan untuk meminta pencairan itu sesuai dengan nama-nama yang sudah diubah.
Pada saat pencairan, jumlah uang ternyata tidak sesuai dengan daftar yang sudah diubah, sehingga warga menolaknya karena nominal yang akan mereka terima terlalu sedikit dan tidak sesuai dengan harga tanah mereka.
Atas dasar tersebut, perbuatan ketiga terdakwa telah melanggar ketentuan pasal 40 ayat 1 dan 2 Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Yahun 2007 yang menyatakan bahwa berdasarkan berita acara sebagaimana dimaksud pasal 37 ayat 2 dan ayat 3 serta pasal 38 panitia pengadaan tanah kabupaten/kota menerbitkan keputusan mengenai bentuk dan atau besarnya ganti rugi dan daftar pembayaran ganti rugi.
Jalan lintas pantai timur Sumatera (ilustrasi) |
Kohar menyatakan ketiga terdakwa dinyatakan secara sah dan bersalah melanggar pasal 3 ayat (1) jo pasal 18 ayat (1) UU RI Tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi.
"Menuntut ketiga terdakwa yakni M. Nasir, Yusman, dan Haryono, masing-masing selama 8 tahun kurungan penjara dan denda sebesar Rp500 juta," kata JPU A.Kohar di Pengadilan Tipikor Tanjungkarang, Kamis (12/6).
Atas tuntutan tersebut, Majelis hakim yang diketuai Poltak Sitorus meminta kepada para terdakwa untuk dapat memberikan keterangan sesungguhnya dan jujur dalam nota pembelaan pada sidang berikutnya.
"Untuk masing-masing terdakwa, dapat mengajukan pembelaan pribadi, selain pembelaan dari Penasehat Hukumnya, dan dalam pembelaan nanti, saya minta terdakwa dapat memberikan keterangan sesungguhnya dan jujur,” ujar Poltak kepada para terdakwa.
Terpisah, saat ditanyai mengenai tidak adanya uang pengganti terhadap kerugian Negara sebesar Rp25 miliar kepada terdakwa, JPU menyatakan, hal tersebut terjadi karena para terdakwa tidak menerima uang tersebut.
"Uang tersebut sudah diserahkan kepada masyarakat, dan kerugian negara tersebar kepada masyarakat, itu menjadikan terdakwa tidak dibebani uang pengganti," kata JPU Kohar usai persidangan.
Diketahui sebelumnya, dalam sidang tersebut ada sebenarnya ada 4 terdakwa. Namun, dikarenakan satu terdakwa lain yakni Dwi Handojo telah meninggal dunia pada tahun 2010 sehingga penyidik menyidangkan tiga orang terdakwa.
"Simsalabim" Ganti Rugi
Dalam dakwaan JPU, Satuan Kerja Non Vertikal Tertentu (SNVT) Provinsi Lampung pada 9 Januari 2008 melakukan kegiatan pembangunan jalan dan jembatan Bakauheni–Ketapang–Wayjepara. Disusul pembangunan jalan dan jembatan Bakauheni–Ketapang– Wayjepara pada 23 Januari 2009.
Pembangunan mengharuskan adanya pembebasan lahan masyarakat, sehingga Departemen PU mengalokasikan anggaran untuk 2008 sebesar Rp32,5 miliar dan 2009 sebesar Rp18 miliar.
”Karena lokasi kegiatannya di Lampung Timur, pemkab setempat membentuk panitia pengadaan tanah (P2T) pada 14 Januari 2008,” jelas Kohar.
Tim P2T Lamtim kemudian melakukan sosialisasi kegiatan dengan mengidentifikasi, menginventarisasi, serta cross check tanam tumbuh dan bangunan yang akan diganti rugi. Hasilnya disampaikan kepada terdakwa Yusman selaku administrasi teknik pada struktur organisasi di lingkungan pembangunan jalan dan jembatan.
”Data tim dipindahkan Yusman ke laptop miliknya dengan format daftar normatif. Karena data yang diserahkan panitia tim P2T tidak ada harganya, terdakwa Yusman membuat sendiri jumlah harga untuk masing-masing pemilik tanah,” ungkap dia.
Setelah ada daftar normatif, Tim P2T didatangi oleh warga sekitar untuk menolak hasil identifikasi tersebut, sehingga Tim P2T mendatangi Yusman untuk merubahnya dan terdakwa Yusman merubah hal itu, setelah dilakukan pencairan, Tim P2T meminta kepada M.Nasir yang merupakan terdakwa I selaku kepala TU dan Haryono (Terdakwa III) selaku Bendahara Pengeluaran Kegiatan untuk meminta pencairan itu sesuai dengan nama-nama yang sudah diubah.
Pada saat pencairan, jumlah uang ternyata tidak sesuai dengan daftar yang sudah diubah, sehingga warga menolaknya karena nominal yang akan mereka terima terlalu sedikit dan tidak sesuai dengan harga tanah mereka.
Atas dasar tersebut, perbuatan ketiga terdakwa telah melanggar ketentuan pasal 40 ayat 1 dan 2 Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Yahun 2007 yang menyatakan bahwa berdasarkan berita acara sebagaimana dimaksud pasal 37 ayat 2 dan ayat 3 serta pasal 38 panitia pengadaan tanah kabupaten/kota menerbitkan keputusan mengenai bentuk dan atau besarnya ganti rugi dan daftar pembayaran ganti rugi.
0 comments:
Post a Comment