Zen R.S.*
Ada paralelisme kecil antara Piala Dunia dan Indonesia: Soeharto mulai berkuasa dan Soeharto menemui kejatuhannya selalu di tahun yang sama dengan berlangsungnya Piala Dunia yaitu pada 1966 dan 1998.
Ada paralelisme kecil antara Piala Dunia dan Indonesia: Soeharto mulai berkuasa dan Soeharto menemui kejatuhannya selalu di tahun yang sama dengan berlangsungnya Piala Dunia yaitu pada 1966 dan 1998.
Ketika Inggris menjadi tuan rumah Piala Dunia 1966, Soeharto baru saja menerima mandat bernama Surat Perintah 11 Maret (Supersemar). Mandat yang kelak menjadi salah satu isu kontroversial dalam historiografi Indonesia ini memang tidak menetapkan Soeharto sebagai presiden. Jabatan presiden tetap dipegang Sukarno, hanya saja isi Supersemar praktis telah mengalihkan kekuasaan secara de facto ke tangan Soeharto.
Kekuasaan de facto di tangan Soeharto itu menjadi semakin jelas saat dia mengumumkan susunan Kabinet Ampera I pada 25 Juli 1966. Soeharto tak hanya sekadar mengumumkan susunan kabinet, tapi dia sendiri menjadi Ketua Presidium Kabinet. Kabinet adalah kepanjangan kekuasaan (eksekutif), maka siapa yang memimpin kabinet berarti dialah yang sejatinya menjadi penguasa.
Di hari yang sama dengan diumumkannya Kabinet Ampera I itu, tapi di belahan dunia yang lain, Jerman Barat berhasil mengalahkan Uni Soviet di babak semifinal Piala Dunia 1966. Pada laga yang berlangsung di Goodison Park, kandang Everton, Jerman Barat unggul tipis 2-1 berkat gol Helmut Haller dan Franz Beckenbauer.
Sejak itu, Soeharto praktis menjadi penguasa tunggal di Indonesia. 32 tahun lamanya dia duduk di pucuk kekuasaan. Tahta akhirnya lepas dari tangannya pada 1998, persisnya pada 21 Mei 1998, setelah gelombang perlawanan, kerusuhan, dan krisis moneter tak sanggup lagi diatasinya. Di saat yang hampir bersamaan itu pula, Prancis sedang bersiap menjadi tuan rumah gelaran Piala Dunia yang ke-16.
Ketika Piala Dunia 1998 memulai kick-off dengan menghadirkan laga antara juara bertahan Brazil vs Skotlandia di Stade de France, kalender saat itu menunjukkan titimangsa 10 Juni, hanya 20 hari setelah Soeharto mengundurkan diri sebagai presiden. Indonesia saat itu masih berada dalam situasi transisi yang tak menentu. Legitimasi Habibie sebagai presiden dipersoalkan, bibit-bibit konflik di daerah mulai mencuat, dan harga-harga bahan pokok masih melambung sangat tinggi.
Kondisi ekonomi Indonesia saat itu benar-benar sedang morat-marit. Juni 1998, saat Piala Dunia dimulai, nilai tukar rupiah masih tinggi dan masih jauh dari pulih. Pada 17 Juni 1998, nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika sempat mendekati angka 17 ribu rupiah, posisi terendah sepanjang krisis moneter yang dimulai pada 1997 itu.
Piala Dunia datang tepat saat Indonesia benar-benar berada dalam krisis ekonomi yang sulit. Tapi justru karena itulah Piala Dunia menjadi penawar yang menakjubkan untuk semua kesulitan yang melela di depan mata itu.
****
Saat itu saya masih tinggal di pinggiran Cirebon. Sejak 14 Mei, kerusuhan berbau rasial meledak dan menjalar sampai mendekati tempat saya tinggal di sebuah kecamatan yang jaraknya 25 kilometer dari pusat kota. Banyak pertokoan yang hangus dilalap api. Isinya dijarah ramai-ramai.
Saya ingat salah satu toko milik teman sekolah saya yang didobrak dengan menggunakan truk yang diambil-alih paksa dari pemiliknya. Seorang kenek angkot ditembak polisi dari jarak dekat tepat di kepalanya – dan kenek itu adalah orang yang saya kenal baik. Penembakan itu terjadi pada 15 Mei 1998, kurang dari sejam setelah usai salat Jumat, dan saya masih sempat menyapanya di emperan mesjid sebelum khatib berkhutbah.
Saya masih ingat dengan baik semuanya. Dan ingatan saya masih bisa menyodorkan pemandangan yang masih kuat membayang di kepala: api kerusuhan tiba-tiba meredup, horor di pusat kecamatan mendadak susut, dan menjelang final Piala Dunia 1998 yang mempertemukan tuan rumah Prancis vs Brazil ada sebuah toko kecil yang dipunyai seorang keturunan China mulai kembali beroperasi.
Dengan cara yang ajaib, Piala Dunia seperti mengalihkan luka-luka dan segala persoalan yang di bulan-bulan sebelumnya telah meledakkan negeri ini ke dalam chaos yang mengerikan. Piala Dunia menjadi opium yang dalam sekejap sekaligus sesaat bisa agak meredakan kemarahan dan amuk sosial. Selama sebulan penuh, dari 10 Juni sampai 11 Juli 1998, setidaknya saat hari mulai gelap, orang-orang masih bisa menarik nafas lega: "Ah, nanti malam ada pertandingan bola lagi!"
Maka, ketika Piala Dunia 1998 ini mulai mendekati akhir, perasaan sedih diam-diam mulai mengintai perasaan dan pikiran.
Lamat-lamat saya masih agak ingat sebuah artikel yang ditulis Kang Ibing dan tayang di harian Pikiran Rakyat sehari menjelang laga puncak Piala Dunia 1998 antara Prancis vs Brazil. Kalau tidak salah ingat, artikel itu diberi judul "Penantian yang Berakhir dengan Muram” (saya lupa-lupa ingat, apakah Kang Ibing menggunakan kata "muram" atau "sepi" atau "keu’eung" yang dalam bahasa Sunda memuat suasana muram dan agak ngeri).
Artikel itu kira-kira berbicara bagaimana Piala Dunia sebagai penawar segala kesulitan yang dihadapi rakyat akan mendekati akhir. Melalui tulisannya itu, Kang Ibing seperti hendak mengingatkan: sebentar lagi suasana muram dan sulit akan kembali menjadi realitas sehari-hari yang harus dengan pahit dihadapi kita semua.
Satu hal yang tidak disebut oleh Kang Ibing adalah pada hari itu, Golkar sedang menghelat agenda sangat krusial dan akan begitu menentukan perjalanan sejarahnya: Musyawarah Nasional Luar Biasa (Munaslub) yang diselenggarakan pada 9-11 Juli 1998. Dalam Munaslub yang berakhir di hari yang sama dengan final Piala Dunia 1998 itu, Golkar bukan hanya memutuskan menjadi partai (selama Orde Baru, Golkar emoh disebut partai), tapi memutuskan Akbar Tanjung sebagai Ketua Umum mengalahkan Edi Sudrajat.
Agenda Munaslub Golkar ini menjadi agenda politik paling krusial sepanjang Juli dan terbukti menjadi salah satu momen menentukan dalam sejarah Indonesia modern pasca reformasi. Golkar di bawah kendali Akbar Tanjung bukan hanya berhasil lolos dari tekanan, cacian, dan serbuan berbagai kalangan pro-reformasi, tapi juga berhasil survive dan tetap menjadi kekuatan politik yang menentukan.
Pada Pemilu 1999, secara mengejutkan Golkar berhasil meraih 22 persen suara Pemilu Legislatif, hanya kalah dari PDI Perjuangan. Akbar Tanjung kemudian berhasil mengunci posisi yang sangat strategis: Ketua DPR-RI.
Laporan-laporan surat kabar yang saya baca saat itu menyebutkan tidak ada gangguan yang kelewat serius terhadap jalannya Munaslub. Berita-berita di surat kabar juga lebih menyoroti Piala Dunia. Ini agak aneh karena tuntutan membubarkan Golkar sudah kencang disuarakan pada aksi-aksi sepanjang Mei. Tuntutan membubarkan Golkar saat itu sama kencangnya dengan tuntutan agar Soeharto turun dari jabatannya. Keduanya satu paket di mata para demonstran.
Saya masih ingat dengan baik semuanya. Dan ingatan saya masih bisa menyodorkan pemandangan yang masih kuat membayang di kepala: api kerusuhan tiba-tiba meredup, horor di pusat kecamatan mendadak susut, dan menjelang final Piala Dunia 1998 yang mempertemukan tuan rumah Prancis vs Brazil ada sebuah toko kecil yang dipunyai seorang keturunan China mulai kembali beroperasi.
Dengan cara yang ajaib, Piala Dunia seperti mengalihkan luka-luka dan segala persoalan yang di bulan-bulan sebelumnya telah meledakkan negeri ini ke dalam chaos yang mengerikan. Piala Dunia menjadi opium yang dalam sekejap sekaligus sesaat bisa agak meredakan kemarahan dan amuk sosial. Selama sebulan penuh, dari 10 Juni sampai 11 Juli 1998, setidaknya saat hari mulai gelap, orang-orang masih bisa menarik nafas lega: "Ah, nanti malam ada pertandingan bola lagi!"
Maka, ketika Piala Dunia 1998 ini mulai mendekati akhir, perasaan sedih diam-diam mulai mengintai perasaan dan pikiran.
Lamat-lamat saya masih agak ingat sebuah artikel yang ditulis Kang Ibing dan tayang di harian Pikiran Rakyat sehari menjelang laga puncak Piala Dunia 1998 antara Prancis vs Brazil. Kalau tidak salah ingat, artikel itu diberi judul "Penantian yang Berakhir dengan Muram” (saya lupa-lupa ingat, apakah Kang Ibing menggunakan kata "muram" atau "sepi" atau "keu’eung" yang dalam bahasa Sunda memuat suasana muram dan agak ngeri).
Artikel itu kira-kira berbicara bagaimana Piala Dunia sebagai penawar segala kesulitan yang dihadapi rakyat akan mendekati akhir. Melalui tulisannya itu, Kang Ibing seperti hendak mengingatkan: sebentar lagi suasana muram dan sulit akan kembali menjadi realitas sehari-hari yang harus dengan pahit dihadapi kita semua.
Satu hal yang tidak disebut oleh Kang Ibing adalah pada hari itu, Golkar sedang menghelat agenda sangat krusial dan akan begitu menentukan perjalanan sejarahnya: Musyawarah Nasional Luar Biasa (Munaslub) yang diselenggarakan pada 9-11 Juli 1998. Dalam Munaslub yang berakhir di hari yang sama dengan final Piala Dunia 1998 itu, Golkar bukan hanya memutuskan menjadi partai (selama Orde Baru, Golkar emoh disebut partai), tapi memutuskan Akbar Tanjung sebagai Ketua Umum mengalahkan Edi Sudrajat.
Agenda Munaslub Golkar ini menjadi agenda politik paling krusial sepanjang Juli dan terbukti menjadi salah satu momen menentukan dalam sejarah Indonesia modern pasca reformasi. Golkar di bawah kendali Akbar Tanjung bukan hanya berhasil lolos dari tekanan, cacian, dan serbuan berbagai kalangan pro-reformasi, tapi juga berhasil survive dan tetap menjadi kekuatan politik yang menentukan.
Pada Pemilu 1999, secara mengejutkan Golkar berhasil meraih 22 persen suara Pemilu Legislatif, hanya kalah dari PDI Perjuangan. Akbar Tanjung kemudian berhasil mengunci posisi yang sangat strategis: Ketua DPR-RI.
Laporan-laporan surat kabar yang saya baca saat itu menyebutkan tidak ada gangguan yang kelewat serius terhadap jalannya Munaslub. Berita-berita di surat kabar juga lebih menyoroti Piala Dunia. Ini agak aneh karena tuntutan membubarkan Golkar sudah kencang disuarakan pada aksi-aksi sepanjang Mei. Tuntutan membubarkan Golkar saat itu sama kencangnya dengan tuntutan agar Soeharto turun dari jabatannya. Keduanya satu paket di mata para demonstran.
Beberapa aktivis reformasi yang berhaluan radikal menganggap bahwa reformasi "kecolongan" membiarkan Golkar bisa menyelesaikan transisinya. Bagi mereka, pembubaran Orde Baru mutlak diikuti oleh pembubaran Golkar karena keduanya adalah satu paket. Majalah Tempo edisi 18 Juli 1998 saat itu menulis: "Kalau reformasi dijalankan, Golkar bubar; kalau Golkar jalan terus, reformasi yang bisa bubar."
Inilah lubang hitam bagi gerakan reformasi 1998 yang terjadi tepat ketika (atau justru sengaja memanfaatkan) final Piala Dunia 1998.
Inilah lubang hitam bagi gerakan reformasi 1998 yang terjadi tepat ketika (atau justru sengaja memanfaatkan) final Piala Dunia 1998.
****
Piala Dunia 2014 akan hadir saat Indonesia sedang bersiap menghadapi Pemilihan Presiden (Pilpres). Di hari pencoblosan Pilpres, 9 Juli 2014, Piala Dunia memasuki babak semifinal. Laga semifinal pertama Piala Dunia 2014 akan dilangsungkan pada dini hari 9 Juli 2014, beberapa jam sebelum rakyat Indonesia akan pergi ke tempat pemungutan suara.
Saya teringat bagaimana Prancis menghadapi Piala Dunia 1998. Saat itu, mereka sedang menghadapi polarisasi yang tajam. Kampanye anti-imigran begitu sengit dilancarkan Jean Marie Le Pen, pemimpin Partai Front Nasional yang berhaluan ultra-nasionalis. Le-Pen memanfaatkan situasi di mana timnas Prancis didominasi orang-orang keturunan imigran (dari Zidane sampai Thuram) sebagai momen melancarkan kampanye anti-imigran.
Prancis saat itu seperti terbelah ke dalam dua kubu yang saling berseberangan, antara yang pro-keragaman rasial melawan kubu anti-imigran. Di level politik praktis, itu berarti Le Pen vs Jacques Chirac.
Keberhasilan Prancis menjuarai Piala Dunia 1998, terutama sosok Zidane yang merupakan keturunan imigran dari Aljazair, dengan cepat membungkam mulut Le-Pen. Gagasan multi-etnik dan multi-rasial seperti memenangkan pertarungan dengan telak.
Presiden Chirac saat itu memuji timnas Prancis asuhan Aime Jacquet dengan madah yang merdu dalam kalimat "sebuah Prancis yang paling tiga-warna dan multi-warna". Seorang ahli demografi dengan spesialisasi kajian imigran, Michele Tribalat, juga melemparkan pujian kepada Zidane, dkk., yang baginya "lebih berhasil menyatukan daripada yang bisa dilakukan gerakan politik selama bertahun-tahun lamanya".
Tapi Indonesia hari ini bukanlah Prancis pada 1998. Polarisasi yang terjadi di Prancis saat itu jauh lebih mendasar karena mempersoalkan sekaligus menguji prinsip-prinsip kebangsaan Prancis yang kadung masyhur dalam sejarah dunia dengan menjunjung liberte, egalite, fraternite, (kebebasan, persamaan, persaudaraan).
Hanya saja, paralelisme antara sejarah politik Indonesia dengan Piala Dunia ini memang menyodorkan berbagai rangsangan pikiran yang menarik. Setelah Piala Dunia 1998 dan gerakan reformasi 1998, baru kali ini Piala Dunia kembali hadir bersamaan dengan momen politik yang penting.
Piala Dunia 2014, sekali lagi, hadir saat Indonesia sedang menghadapi salah satu fase krusial dalam sejarah Indonesia pasca reformasi. Inilah Pemilu Presiden ketiga dalam sejarah Indonesia yang dijalankan secara langsung. Dan harus diakui, inilah Pilpres yang paling tajam menghadirkan polarisasi politik.
Pada Pilpres 2004 ada lima pasangan capres-cawapres yang maju yaitu Wiranto-Sholahuddin Wahid, Megawati-Hasyim Muzadi, Amien Rais-Siswono, SBY-JK dan Hamzah Haz-Agum Gumelar. Pada Pilpres 2009 ada tiga pasangan capres-cawapres yang bertarung: Megawati-Prabowo, SBY-Boediono dan JK-Wiranto. Pada Pilpres 2014 ini, sejak awal hanya ada dua pasangan yang bertarung: Jokowi-JK dan Prabowo-Hatta.
Situasi inilah yang membuat Pilpres 2014 ini sejak awal menghadirkan atmosfir yang begitu hitam-putih dan polarisasi politik yang demikian tajam. Parpol terbelah ke dalam dua kubu, begitu juga sipil dan (pensiunan) militer. Sejak era reformasi yang berhasil mencabut dwi-fungsi ABRI, baru kali ini pertarungan pensiunan jenderal-jenderal tampil secara eksesif, massif dan begitu terbuka serta terus terang. Baru sekarang pensiunan jenderal menyerang tim lawan secara terbuka bahkan tak sungkan melakukannya di depan kamera televisi dalam tayangan langsung.
Jika Piala Dunia 1998 berhasil mengalihkan sejenak persoalan ekonomi-politik yang pelik (dan kita tahu, mengalihkan persoalan tidak pernah bisa menyelesaikan perkara), Piala Dunia 2014 setidaknya bisa menjanjikan oase yang agak menyejukkan di tengah ketegangan dan polarisasi politik karena kampanye Pilpres. Suasana politik yang panas dan sumpek, di level akar rumput, bisa sedikit ditawarkan oleh jeda-demi-jeda yang disodorkan oleh 90 menit pertandingan-demi-pertandingan setiap malam.
Dan sepakbola bisa saja memberi ilham yang mencerahkan di tengah kampanye pilpres yang hitam-putih ini. Kita bisa menoleh pada Jean-Paul Sartre, seorang filsuf Prancis, untuk menemukan ilham itu. Suatu saat, Sartre pernah berkata: "Di dalam sepakbola, segalanya menjadi lebih rumit dengan hadirnya kesebelasan lawan."
Sartre menggunakan istilah "kesebelasan lawan" (opposite team), bukan “kesebelasan musuh” (the enemy team). Memang ada yang berbeda antara "musuh" dan "lawan". Kita lazim mendengar "Kesebelasan A melawan Kesebelasan B", bukan "Kesebelasan X musuhKesebelasan Y".
Sebagaimana politik di sistem demokrasi, sepakbola meniscayakan adanya kompetisi. Sepakbola hanya bisa dimainkan jika ada dua kesebelasan yang bertanding. Lawan adalah prasyarat mutlak untuk memainkan sepakbola. Tanpa lawan, tak ada pertandingan. Lawan, dengan demikian, adalah syarat eksistensi sebuah pertandingan. Jika syarat itu dimusnahkan, maka tak akan pernah ada pertandingan sepakbola.
Begitu juga yang terjadi dalam kompetisi di alam demokrasi. Lawan bukanlah musuh yang mesti dimusnahkan. Lawan adalah syarat mutlak kehidupan demokrasi. Jika lawan politik dimusnahkan, maka demokrasi pun lenyap. Hanya sistem totalitarian yang menginginkan sekaligus mensyaratkan kemusnahan lawan politik. Hanya musuh yang layak dimusnahkan. Lawan bukan untuk dimusnahkan, lawan justru dibutuhkan.
Melalui penerimaan terhadap eksistensi lawan itulah, politik tak akan pernah menjadi sehitam-putih aku vs engkau, kami vs kalian. Lawan adalah bagian eksistensial yang tak bisa dan tak boleh dihapus. Bersama mereka, lawan-lawan dalam politik itu, kita semua justru mengada. Sebab lawan adalah kita.
Selamat datang, Piala Dunia 2014!
Pada Pilpres 2004 ada lima pasangan capres-cawapres yang maju yaitu Wiranto-Sholahuddin Wahid, Megawati-Hasyim Muzadi, Amien Rais-Siswono, SBY-JK dan Hamzah Haz-Agum Gumelar. Pada Pilpres 2009 ada tiga pasangan capres-cawapres yang bertarung: Megawati-Prabowo, SBY-Boediono dan JK-Wiranto. Pada Pilpres 2014 ini, sejak awal hanya ada dua pasangan yang bertarung: Jokowi-JK dan Prabowo-Hatta.
Situasi inilah yang membuat Pilpres 2014 ini sejak awal menghadirkan atmosfir yang begitu hitam-putih dan polarisasi politik yang demikian tajam. Parpol terbelah ke dalam dua kubu, begitu juga sipil dan (pensiunan) militer. Sejak era reformasi yang berhasil mencabut dwi-fungsi ABRI, baru kali ini pertarungan pensiunan jenderal-jenderal tampil secara eksesif, massif dan begitu terbuka serta terus terang. Baru sekarang pensiunan jenderal menyerang tim lawan secara terbuka bahkan tak sungkan melakukannya di depan kamera televisi dalam tayangan langsung.
Jika Piala Dunia 1998 berhasil mengalihkan sejenak persoalan ekonomi-politik yang pelik (dan kita tahu, mengalihkan persoalan tidak pernah bisa menyelesaikan perkara), Piala Dunia 2014 setidaknya bisa menjanjikan oase yang agak menyejukkan di tengah ketegangan dan polarisasi politik karena kampanye Pilpres. Suasana politik yang panas dan sumpek, di level akar rumput, bisa sedikit ditawarkan oleh jeda-demi-jeda yang disodorkan oleh 90 menit pertandingan-demi-pertandingan setiap malam.
Dan sepakbola bisa saja memberi ilham yang mencerahkan di tengah kampanye pilpres yang hitam-putih ini. Kita bisa menoleh pada Jean-Paul Sartre, seorang filsuf Prancis, untuk menemukan ilham itu. Suatu saat, Sartre pernah berkata: "Di dalam sepakbola, segalanya menjadi lebih rumit dengan hadirnya kesebelasan lawan."
Sartre menggunakan istilah "kesebelasan lawan" (opposite team), bukan “kesebelasan musuh” (the enemy team). Memang ada yang berbeda antara "musuh" dan "lawan". Kita lazim mendengar "Kesebelasan A melawan Kesebelasan B", bukan "Kesebelasan X musuhKesebelasan Y".
Sebagaimana politik di sistem demokrasi, sepakbola meniscayakan adanya kompetisi. Sepakbola hanya bisa dimainkan jika ada dua kesebelasan yang bertanding. Lawan adalah prasyarat mutlak untuk memainkan sepakbola. Tanpa lawan, tak ada pertandingan. Lawan, dengan demikian, adalah syarat eksistensi sebuah pertandingan. Jika syarat itu dimusnahkan, maka tak akan pernah ada pertandingan sepakbola.
Begitu juga yang terjadi dalam kompetisi di alam demokrasi. Lawan bukanlah musuh yang mesti dimusnahkan. Lawan adalah syarat mutlak kehidupan demokrasi. Jika lawan politik dimusnahkan, maka demokrasi pun lenyap. Hanya sistem totalitarian yang menginginkan sekaligus mensyaratkan kemusnahan lawan politik. Hanya musuh yang layak dimusnahkan. Lawan bukan untuk dimusnahkan, lawan justru dibutuhkan.
Melalui penerimaan terhadap eksistensi lawan itulah, politik tak akan pernah menjadi sehitam-putih aku vs engkau, kami vs kalian. Lawan adalah bagian eksistensial yang tak bisa dan tak boleh dihapus. Bersama mereka, lawan-lawan dalam politik itu, kita semua justru mengada. Sebab lawan adalah kita.
Selamat datang, Piala Dunia 2014!
*penulis adalah Chief Editor www.panditfootball.com. Tulisan ini bersumber dari detiksport
0 comments:
Post a Comment