Ahmad Marhaen/Teraslampung.com
PALEMBANG - Gerak penggalangan kekuatan untuk memenangkan Jokowi-JK, para aktivis Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Sumatera Selatan, menghadapi tantangan, ketika sejumlah anggotanya ditangkap aparat keamanan dengan tuduhan penjarahan hutan Suaka Margasatwa Dangku.
“Penangkapan ini memang menghambat kerja kita untuk melakukan konsolidasi kekuatan buat memenangkan Jokowi-JK. Tapi di sisi lain, penangkapan ini kian menguatkan kami jika bangsa dan negara ini membutuhkan pemimpin yang peduli masyarakat adat dan petani seperti Jokowi-JK,” kata Ketua AMAN Sumsel Rustandi Ardiansyah, Jumat (13/6/2014).
Rustandi mengaku pihaknya yakin jika Jokowi-JK memimpin Indonesia, maka persoalan seperti ini tidak akan terjadi lagi. Justru para penjahat lingkungan itu akan satu per satu masuk penjara. "Kami akan terus berjuang memenangkan Jokowi-JK,"kata dia.
Seperti diketahui, tujuh petani yang tergabung dalam AMAN Sumsel, ditangkap aparat kepolisian didukung TNI, petugas BKSDA dan Dinas Kehutanan Sumsel, Rabu (11/6/2014) lalu.
Mereka dituduh melakukan pengrusakan hutan Suaka Margasatwa Dangku, Kabupaten Musi Banyuasin, Sumatera Selatan, sehingga melanggar UU No.35 tahun 1990 tentang Konservasi SDA dan UU No.18 tahun 2013 tentang Tindak Pidana Pengrusakan. Enam petani ditetapkan Polda Sumsel sebagai tersangka.
“Enam orang sudah ditetapkan sebagai tersangka, dan satu orang menjadi saksi,” kata Kabid Humas Polda Sumsel Kombes Pol R Djarot Padakova.
Keenam petani yang menjadi tersangka itu Muhammad Nur Djakfar (73), Zulkipli (53), kemudian Dedy Suyanto (30) warga Betung, Sukisna (40) warga asal Blitar, Jawa Tengah, Samingan (43) warga Sukadamai, dan Anwar (29) warga Sungaipetai. Sementara Wiwit (22) dijadikan saksi.
“Para tersangka dikenakan UU No.5 tahun 1990 tentang Konservasi SDA dan UU No.18 tahun 2013 tentang Tindak Pidana Pengrusakan,” kata Djarot.
Menurut Rustandi, tuduhan penjarahan oleh kepolisian dengan menggunakan UU No.5 tahun 1990 tentang Konservasi SDA dan UU No.18 tahun 2013 tentang Tindak Pidana Pengrusakan, sangat tidak tepat.
“Tanah yang dikuasai masyarakat itu adalah tanah adat, yang secara hukum sudah diakui pemerintah melalui Keputusan MK No.35. Justru keberadaan hutan adat sebagai hutan suaka itu yang harus dipertanyakan. Jadi kami mendesak kepolisian segera membebasakan mereka,” katanya.
PALEMBANG - Gerak penggalangan kekuatan untuk memenangkan Jokowi-JK, para aktivis Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Sumatera Selatan, menghadapi tantangan, ketika sejumlah anggotanya ditangkap aparat keamanan dengan tuduhan penjarahan hutan Suaka Margasatwa Dangku.
“Penangkapan ini memang menghambat kerja kita untuk melakukan konsolidasi kekuatan buat memenangkan Jokowi-JK. Tapi di sisi lain, penangkapan ini kian menguatkan kami jika bangsa dan negara ini membutuhkan pemimpin yang peduli masyarakat adat dan petani seperti Jokowi-JK,” kata Ketua AMAN Sumsel Rustandi Ardiansyah, Jumat (13/6/2014).
Rustandi mengaku pihaknya yakin jika Jokowi-JK memimpin Indonesia, maka persoalan seperti ini tidak akan terjadi lagi. Justru para penjahat lingkungan itu akan satu per satu masuk penjara. "Kami akan terus berjuang memenangkan Jokowi-JK,"kata dia.
Seperti diketahui, tujuh petani yang tergabung dalam AMAN Sumsel, ditangkap aparat kepolisian didukung TNI, petugas BKSDA dan Dinas Kehutanan Sumsel, Rabu (11/6/2014) lalu.
Mereka dituduh melakukan pengrusakan hutan Suaka Margasatwa Dangku, Kabupaten Musi Banyuasin, Sumatera Selatan, sehingga melanggar UU No.35 tahun 1990 tentang Konservasi SDA dan UU No.18 tahun 2013 tentang Tindak Pidana Pengrusakan. Enam petani ditetapkan Polda Sumsel sebagai tersangka.
“Enam orang sudah ditetapkan sebagai tersangka, dan satu orang menjadi saksi,” kata Kabid Humas Polda Sumsel Kombes Pol R Djarot Padakova.
Keenam petani yang menjadi tersangka itu Muhammad Nur Djakfar (73), Zulkipli (53), kemudian Dedy Suyanto (30) warga Betung, Sukisna (40) warga asal Blitar, Jawa Tengah, Samingan (43) warga Sukadamai, dan Anwar (29) warga Sungaipetai. Sementara Wiwit (22) dijadikan saksi.
“Para tersangka dikenakan UU No.5 tahun 1990 tentang Konservasi SDA dan UU No.18 tahun 2013 tentang Tindak Pidana Pengrusakan,” kata Djarot.
Menurut Rustandi, tuduhan penjarahan oleh kepolisian dengan menggunakan UU No.5 tahun 1990 tentang Konservasi SDA dan UU No.18 tahun 2013 tentang Tindak Pidana Pengrusakan, sangat tidak tepat.
“Tanah yang dikuasai masyarakat itu adalah tanah adat, yang secara hukum sudah diakui pemerintah melalui Keputusan MK No.35. Justru keberadaan hutan adat sebagai hutan suaka itu yang harus dipertanyakan. Jadi kami mendesak kepolisian segera membebasakan mereka,” katanya.
0 comments:
Post a Comment