Isbedy Stiawan ZS/Teraslampung.com
Nanang Ribut Supriyatin adalah penyair Jakarta. Pertama kali merintis kepenyairannya dalam “asuhan” Korri Layun Rampan dan Slamet Raharjo Rais. Pada kurun 1980-an, ia termasuk sastrawan produktif. Sehingga mengantarnya sebagai salah satu dari 80-an penyair Indonesia diundang Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) mengikuti Forum Puisi Indonesia pada 1987.
Selepas 1990, Nanang R. Supriyatin mulai surut dari ranah sastra Indonesia. Kesibukannya sebagai pegawai negeri sipil (PNS) di salah satu kelurahan di Jakarta Selatan, boleh jadi namanya kurang berkibar di dunia kepenyairan.
Nanang R. Supriyatin, kelahiran Jakarta 6 Agustus 1962, terakhir kali menerbitkan buku puisi pada 1996, berjudul Bayangan. “Setelah 17 tahun tidak menerbitkan buku puisi tunggal, Oktober lalu saya luncurkan antologi tunggal Apologia,” kata Nanang dihubungi melalui telepon, Rabu (11/6) sore.
Menurut Nanang, tidak menerbitkan antologi puisi tunggal bukan berarti dirinya tidak berkarya. Bahkan, di tengah kesibukannya sebagai PNS justru ia banyak terlibat dengan beragam tipe manusia. “Kekayaan batin itu penting dari seorang penyair,” katanya lagi.
Apa yang dikatakan itu, imbuh dia, bukan sebuah apologia. Kenyataannya, menurut sastrawan yang pernah aktif di Kelompok Studi Sastra PPK Kuningan (1981-1983) ini, sampai kini ia masih menulis puisi karena banyak bersentuhan atau mengamati ragam tipe manusia itu.
“Memang puisi tak harus lahir dari dunia yang balau, tapi setidaknya puisi merupakan suara lain dari sebuah sejarah yang melahirkannya,” tutur dia.
Buku kumpulan puisi Apologia, dikatakannya, adalah buku ke empat yang dimilikinya. Sebelumnya Nyanyian Anak Negeri (1984), Suara-Suara (1985), Dunia di Persimpangan Jalan (1989), Prosa Pagi Hari (1995), dan Bayangan (1996).
Buku puisi Apologia, terbitan Teras Budaya Jakarta, Oktober 2013, menghimpun 86 puisi dibagi dua sub judul: Apologia dan Bom Waktu. Puisi-puisi dalam antologi tunggal Nanang ini ditulis sejak 1996 hingga 2014.
Membaca antologi tunggal Nanang R. Supriyatin ini, beberapa puisi ternyata dia tulis pada 2014. Padahal, buku ini merupakan cetakan Oktober 2013. Menurut penyair ini, hal tersebut memang sengaja. Ia memasukkan puisi-puisi yang ditulisnya tahun 2014, pada saat perbaikan pada pencetakan.
“Memang puisi yang aku tulis tahun 2014 (10 puisi, Red.) sebagai pengganti puisi-puisi bertitimangsa 2013,” jelas penyair penerima Puputan Margarana Award, Bali 1998 ini.
Puisi “Apologia” yang ditulis 2001 membuka antologi tunggal Nanang Ribut Supriyatin ini, lalu diakhiri dengan puisi “Penyair Dunia” (2014).
Tampaknya pengalaman yang telah sekian puluh tahun digelutinya, membuatnya begitu peka terhadap keadaan di sekitarnya. Hal ini dapat dibaca dalam puisinya, antara lain “Apologia”, “Tentang Orang Asing”, “Katarsis”, “Suatu Hari Suatu Tempat”, ataupun “Penyair Dunia”.
Sebenarnya masih banyak lagi puisi-puisi Nanang R. Supriyatin, seperti dikatakan editir Teras Budaya, sebagai bukti kepekaannya terhadap keadaan di sekitar itu, lalu dituangkan semua peristiwa atau benda ke dalam puisinya dengan bahasa yang lentur dan kadang mengejutkan.
Sebagai penyair, Nanang juga “bersentuhan” dengan para penyair dunia. Bahkan, ia telah terobsesi ingin menjadikan penyair penerima Nobel sebagai ayah dan ibu angkatnya. Meski mereka lahir dan mati berabad lalu, namun “… kini hidup kembali ke dalam/dunia maya. ke dalam matahati para pemetik kata-kata…” (“Penyair Dunia”, hal. 104).
Kumpulan puisi Apologia ini, kata Nanang, telah diikutikan dalam pemilihan buku puisi terbaik memeringati Hari Puisi yang diadakan Yayasan Panggung Melayu bekerja sama dengan Indopos dan Yayasan Sagang Riau. “Saya menerbitkan buku, selain kerinduan saya pada dunia kepenyairan juga ingin meramaikan Hari Puisi,” katanya.
0 comments:
Post a Comment