Slamet Samsoerizal*
Taufiq Ismail (ist) |
Menurut Taufiq Ismail, karya sastra dapat membuat manusia lebih arif terhadap kehidupan. Manusia diajak memahami hidup ini, kemudian merasa tertarik karena nilai estetik yang dituangkan di dalam karya-karya tersebut. Apabila kekayaan karya sastra – dibaca, dihayati, dan didalami akan berlangsunglah penghalusan budi, pengayan, pengalaman, dan perluasan wawasan terhadap kehidupan. Untuk itu, ia menyarankan pengajaran sastra perlu perubahan besar yang bersifat menyeluruh, baik oleh pemerintah maupun guru. Selain itu, perlu juga dikembangkan budaya baca dalam keluarga.
Paradigma Baru dalam Penngajaran
Ketika menerima gelar Doktor Honoris Causa dari UNY (Universitas Negeri Yogyakarta) Taufiq Ismail lewat orasi ilmiahnya mengusulkan paradigma baru dalam pengajaran membaca, mengarang, dan apresiasi sastera. Apa sajakah itu?
Pertama, siswa dibimbing memasuki sastra secara asyik, nikmat dan gembira. Pendekatan yang dilakukan bukan seperti memahami fisika. Bukan pula pendekatan hafalan seperti menghafal tahun-tahun dalam sejarah. Guru harus mampu membentuk citra sastra di hati siswa sebagai sesuatu yang menyenangkan, yang membuat mereka antusias dan yang mereka rasa perlukan.
Kedua, siswa membaca langsung karya sastra seperti: puisi, cerpen, novel, drama bukan melalui ringkasan. Oleh karena itu, buku-buku yang disebut dalam kurikulum harus tersedia di perpustakaan sekolah.
Ketiga, kelas mengarang harus diselenggarakan secara menyenangkan, sehingga tidak terasa jadi beban bagi siswa atau pun guru. Mengarang mesti dirasakan sebagai ekspresi diri yang melegakan perasaan. Itu sebabnya, Taufiq Ismail mengusulkan judul-judul klise harus diganti dengan imajinasi kaya yang sesuai dengan fantasi siswa. Mengarang itu bukan cuma menulis laporan, tetapi menggugah imajinasi dan menuntut siswa berpikir.
Keempat, ketika membicarakan karya sastra, aneka ragam tafsir harus dihargai. Mengapa? Sebab, tidak ada tafsir tunggal terhadap karya sastra. Guru harus terbuka terhadap pendapat siswa yang berbeda, sepanjang pendapat itu dikemukakan dalam disiplin berpikir yang logis.
Kelima, pengetahuan tentang sastra seperti: teori, definisi, sejarah tidak utama dalam pengajaran sastra (di SMU). Cukup tersambil saja sebagai informasi sekunder ketika membicarakan karya sastra. Siswa jangan terus-menerus dibebani dengan hafalan teori dan definisi.
Keenam, pengajaran sastra mestilah menyemaikan nilai-nilai yang positif pada batin siswa, yang membekalinya menghadapi kenyataan kehidupan masa kini yang keras di masyarakat. Karya sastra yang relevan yang harus dipilih untuk disajikan kepada siswa dan didiskusikan di kelas. Kemudian akan timbul kearifan siswa kepada manusia dan kehidupan, terasah sensitivitas estetiknya dan terpuruk empatinya pada duka derita nasib orang-orang yang malang.
Selain pemikiran Taufiq Ismail dalam upaya memajukan pendidikan diungkapkan melalui puisi, esai, dan makalah; kiprah sosoknya terekam jelas melalui riwayatnya. Sasterawan kelahiran Bukittinggi 25 Juni 1935 ini tercatat pernah menjadi guru SKP Pamekar dan SMA Regina Pacis dan menjadi dosen di IPB (Institut Pertanian Bogor) dan pada 1973 ia didaulat sebagai Rektor LPKJ (Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta, sekarang IKJ = Institut Kesenian Jakarta). Pernah pula menjadi Ketua Yayasan Bina Antarbudaya, penyelenggara pertukaran pelajar antarbangsa yang selama 41 tahun (sejak 1957) telah mengirim 1700 siswa Indonesia ke 15 negara dan menerima 1600 siswa asing di Indonesia. Ia pun terpilih menjadi anggota Board of Trustees AFSIS di New York, 1947 – 1976.
Kiprah lain yang patut dikemukakan disini adalah sejak 1970 Taufiq Ismail sering membaca puisi di dalam dan di luar negeri. Di luar Indonesia, ia telah membaca puisi di berbagai festival dan acara sastra di 24 kota Asia, Australia, Amerika, Eropa, dan Afrika. Pada April 1993, ia membaca puisi tentang Syekh Yusuf dan Tuan Guru, para pejuang kita yang dibuang Belanda ke Afrika Selatan tiga abad silam—di tiga tempat di Cape Town. Pada 1994, ia kembali diundang untuk membacakan puisi tentang Laksamana Cheng Ho di masjid kampung kelahiran penjelajah samudera yang legendaris itu di Yunan, Republik Rakyat Cina.
Itu sebabnya, 61 tahun Tufiq Ismail berkiprah, penghargaan demi penghargaan diterima. Pada 1970, ia menerima Anugerah Seni dari Pemerintah RI; mendapat Cultural Visit Award dari Pemerintah Australia pada 1977; SEA Write Award dari Kerajaan Thailand (1994); penghargaan tentang Penulisan Karya Sastra dari Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa (1994); Sastrawan Nusantara dari Negeri Johor, Malaysia (1999); Doctor Honoris Causa dari Universitas Negeri Yogyakarta (2003); Penghargaan Presiden Megawati Soekarno Poetri untuk dedikasi dan aktivitas anti salah-guna narkoba (2003); Pedati Award 2007 dari Pemerintah Kota Bukittinggi, Sumatera Barat; Habibie Award, penghargaan untuk prestasi sastra dari The Habibie Centre (2007).
Jejak Rekam Benak
Jejak rekam benak atau pemikiran Taufiq Ismail terhadap pendidikan dapat ditelusuri melalui puisi, esai, dan kiprah sosoknya. Puisi-puisinya tidak sekedar dipelajari, digemari, tetapi didendangkan. Nilai didik membalut setiap puisinya. Esai-esainya menyentil dan mencerahkan. Kiprah sosoknya memberikan sumbangan tak terkira bagi perkembangan pendidikan, terutama di bidang sastera.***
_______________
* Peneliti pada Pusat Kaji Darindo
0 comments:
Post a Comment