Arif Wicaksono*
LEWAT perkembangan politik yang saya ikuti di sosial media akhir-akhir ini, saya tahu Joko Widodo sedang menjadi pujaan media massa dan buah bibir puluhan atau mungkin lebih dari seratus juta orang di negeri ini. Sebagai salah satu adik kelasnya di Fakultas Kehutanan, saya bersyukur memiliki kakak kelas seperti dirinya.
Sangat jarang alumni kehutanan bisa menjadi media darling, lebih-lebih menjadi calon presiden! Ia menjadi kesayangan media maupun warga Jakarta dan Solo bukan karena skandal korupsi atau perselingkuhan. Bukan pula karena kegagalannya sebagai nakhoda bagi wilayah yang dulu dan sekarang tengah dipimpinnya. Ia menjadi buah bibir karena secara mengejutkan melewati tangga-tangga kekuasaan tanpa pernah terpeleset sama sekalipun!
Di awal memimpin Solo hanya sedikit orang yang mengenalnya. Namun di periode kedua, ia terpilih lebih dari 91% pemilih, sebuah angka fantastis bila kita memperhitungkan tak adanya spanduk, baliho, atau poster kampanye politiknya untuk memerintah Solo di periode kedua. Dari ketenangan sebuah kota kecil di pedalaman Jawa tengah, ia mencari tantangan lebih besar dengan mengikuti pemilihan Gubernur di Jakarta. “Politik gedor pintu dan tatap muka” yang dijalankannya dari rumah ke rumah, pasar ke pasar, dan dari satu ruang publik yang satu ke ruang publik yang lain di Jakarta menghancur-leburkan metode kampanye konvensional elite-elite politik kita.
Ia jungkir-balikkan perkiraan-perkiraan lembaga-lembaga polling oportunis dan pesanan yang lebih suka menyenangkan pemimpin mapan daripada pemimpin alternatif seperti dirinya. Alhasil, di putaran kedua, ia kembali memenangkan pertarungan politik, dan sejak itu namanya menjadi buah bibir hampir setiap orang yang menginginkan adanya perubahan di negeri ini.
Keiritan bicara Jokowi berbanding terbalik dengan bukti riil dari kepemipinannya. Di bawah kepemimpinannya, Pasar tanah Abang ia tata nyaris tanpa kekerasan. Waduk dan sungai-sungai dikeruk dan ditata dengan baik. Birokrasi yang membusuk ia pangkas dan segarkan layaknya seorang pengusaha menyehatkan sebuah perusahaan yang bangkrut—lihatlah bagaimana ia dan wakilnya yang pemberani menggebuk jajaran birokrat dan pengusaha maling tanpa ampun. Para pelajar miskin memiliki harapan bisa berhasil dalam menempuh pendidikan formalnya dengan dukungan dana dari pemerintah provinsi.
Dan dengan kartu kesehatan bikinannya, orang-orang miskin—yang selama ini dibiarkan mati oleh penyakit dan pembiaran negara—memiliki kesempatan untuk sehat dan bertempur melawan kemiskinan yang menderanya. Serangan para lawan-lawan politik yang dengki dengan kesuksesannya lebih dari asap yang hilang tertiup angin perubahan yang dihembuskannya.
Apa yang membuatnya menjadi bintang terang di langit Indonesia yang gelap oleh perilaku elite yang korup, pengusaha yang curang, ulama yang munafik, akademisi yang bebal dan terasing di menara gadingnya sendiri, dan rakyat miskin yang lupa diri karena berbagai beban hidup yang menderanya?
Faktor pertama barangkali adalah ini: Ia tak menciptakan kesan elitis atau berjarak dengan semua orang, tak berusaha tampak pintar atau intelektualis, dan tak suka basa-basi. Ia selalu mengidentifikasikan dirinya sebagai bagian dari massa. Dalam berbagai acara seremonial seperti pengangkatan walikota dan bupati, serah terima jabatan di lingkungan pemerintahan, pembukaan pasar baru, peletakan batu pertama sebagai simbolisasi awal pelaksanaan proyek-proyek pembangunan, ia hanya berbicara antara dua sampai lima menit. Nampaknya ia paham betul dengan ujaran lama: persoalan manusia sebagian besar dimulai dari mulut. Semakin banyak mulut berkoar-koar, makin banyak pula persoalan yang menghampiri. Itu alasan kenapa ia lebih suka menggunakan telinganya untuk mendengar, mendayagunakan matanya untuk mengamati kenyataan-kenyataan tak sedap dipandang yang harus diatasinya, menggunakan kakinya untuk terus berjalan menyusuri ruang-ruang kota yang tengah dikontrolnya, dan memanfaatkan otaknya untuk membuat gebrakan selanjutnya.
Faktor kedua adalah komitmen kerja secara konkret. Ia lebih suka menggunakan kemeja putih yang lebih sering digulung sebagai isyarat bahwa ia lebih siap bekerja daripada berbicara. Kebiasaannya memakai kemeja putih polos murah ini, selain secara cerdik mengembalikan ingatan orang pada kebiasaan kaum pergerakan nasional di masa lalu, juga memudahkannya untuk bergaul dengan masyarakat bawah yang menjadi konstituennya. Busana ini berpadu dengan sepatu yang menutupi kakinya. Saya tak bisa menghitung berapa pasang sepatu yang jebol sejak ia memasuki gelanggang politik karena kebiasaannya blusukan menjelajahi hampir tiap bagian wilayah yang dipimpinnya dan menemui sekian orang yang menjadi warganya.
Saya juga tak bisa menghitung berapa banyak jamu tradisional yang harus ia minum agar tak cepat tumbang dengan aktivitasnya yang seabreg. Kemeja di tubuh, sepatu di kaki, dan jamu yang ia minum tiap hari itu menjadi saksi betapa semangatnya ia menghadapi persoalan-persoalan yang harus diselesaikan. Busana dan sepatu saja tak menjamin seorang pemimpin bisa bekerja efektif dan efisien.
Jokowi perlu merasakan kebutuhan untuk mengenal denyut nadi kehidupan warganya sebagai faktor pendukung keberhasilan kepemimpinannya. Maka jangan kaget bila kita mendengar pengakuan tentang telapak tangannya yang sering lecet-lecet karena hampir sepanjang hari bersalaman dengan setiap orang yang ditemuinya. Berkali-kali, di berbagai forum, ia mengucapkan kata-kata ini: “Saya berusaha menyembuhkan kesehatan mata bathin saya dengan cara bersentuhan secara langsung dengan mereka, bersalaman dengan mereka. Penglihatan spiritual kita tidak pernah dilatih untuk melihat persoalan-persoalan riil di masyarakat. Penglihatan batin kita tidak dilatih melihat perkampungan kumuh, melihat bagaimana mereke mengeluh, tergeletak, sakit.
Bukan hanya ribuan atau puluhan ribu, tapi ratusan ribu. Kalau setiap hari pemimpin kita tidak salaman dengan rakyat, tidak bersentuhan kulit dengan rakyat, terus apa latihan batin kita?” Keiritan bicara dan caranya bersentuhan langsung dengan rakyat tak sedikit melahirkan cemooh atau ejekan. Para intelektual, akademisi, dan politisi kita yang lebih suka berbusa-busa dan mencaci-maki menganggapnya bodoh atau kurang pintar berbicara.
Mereka lupa bahwa perubahan tak cukup hanya dengan kata-kata. Lelaki kerempeng dari Solo yang di depan publik terkesan irit atau tak pandai bicara ini tak pernah menanggapi secara serius kritikan yang ditujukan paanya dengan retorika yang meyakinkan. Ia hanya bicara negeri ini memiliki banyak orang pintar serta banyak gagasan cemerlang namun sangat sedikit orang mau bekerja menerapkan ide-ide itu. Ia tak pernah ingin menunjukkan pada publik kalau di forum-forum kecil ia menguasai detil-detil persoalan yang dihadapinya sebagai seorang pemimpin. Secara sadar, nampaknya ia tak mau menunjukkan kecemerlangan isi otaknya di depan warganya yang sebagian besar sudah bosan dengan kata-kata cemerlang namun hampa makna. Oleh seorang pemikir dari Amerika Latin, lelaki ini sadar betul dengan “invasi kata-kata” yang membuat seorang pemimpin hidup dalam dunia ide namun tak hidup di dunia riil.
Kini, lelaki yang mendapat kepercayaan dari sebagian besar warga negara Indonesia untuk maju sebagai calon presiden—dan dengan demikian menjadi pemimpin politik tertinggi di negeri ini—tersebut akan menghadapi tantangan yang jauh lebih besar dan kompleks. Ia paham harapan rakyat begitu besar padanya. Ketidakmampuannya memenuhi harapan rakyat bisa membuatnya terjungkal suatu hari nanti.
Kalau di jabatan-jabatan politik sebelumnya ia dikelilingi oleh banyak orang baik dan sedikit bajingan, kini mungkin jumlah bajingan yang mengelilingi dan berusaha menjilat di depannya semakin banyak. Kalau di masa-masa sebelumnya tak banyak serangan negatif yang ditujukan pada dirinya dan keluarganya, sekarang serangan semacam itu bisa melebar bukan hanya kepada ke dirinya dan keluarga namun melebar ke teman dekat, partai pengusungnya, dan cacat-cacat kebijakan yang ia terapkan di masa lalu. Namun, melihat rekam jejak kepemimpinannya, nampaknya ia tak akan sendirian menghadapi serangan semacam itu. Orang-orang yang menginginkan adanya perubahan signifikan di negeri ini harus berdiri di belakangnya.
Bukan hanya membantu menangkis serangan-serangan jahat tak berdasar yang ditujukan padanya, namun juga melindunginya dari segerombolan oportunis politik, pengusaha hitam, dan akademisi penjilat yang ingin mengambil keuntungan dari naiknya pamor politiknya. Kita, sebagai bagian terbesar dari massa yang telah sekian lama tak mencicipi kue pembangunan yang nikmat, harus mengamankan bersama-sama agenda perubahan yang di-idam-idam-kannya.
Kita hanya punya dua pilihan: memilih calon pemimpin yang tak memiliki keberanian untuk menjadi dirinya sendiri dan lebih nyaman menggunakan simbol-simbol pemimpin besar revolusi kita ataukah memilih pemimpin yang selalu berusaha menyambungkan mata bathinnya bersama massa rakyat. Hampir satu tahun lalu. seusai melakukan pertemuan dengan Jokowi, Duta besar Palestina, Fariz Nafe Mehdawi mengungkapkan kesannya terhadap orang nomor satu di Jakarta yang sudah digadang-gadang layak memimpin Indonesia. "Kita semua dapat memimpin, negara ini dapat menghasilkan 250 juta pemimpin, bukan hanya satu, dan itulah yang Anda banggakan. Dia seperti Anda, dan Anda menyukainya karena dia seperti semua orang, bukan karena dia berbeda. Perbedaan bahwa dia tidak memiliki perbedaan dengan siapa pun. Inilah rahasia pemimpin," papar Mehdawi.
Ucapan Mehdawi bisa jadi pertimbangan bagi siapa pun saat akan memilih pemimpin tertinggi di negeri ini. Kita bisa memilih pemimpin di luar kriteria yang dikatakan oleh Mehdawi dengan resiko pemihaan pilihan anda dari sekarang!
*Arif Wicaksono adalah alumnus Manajemen Hutan UGM 1999, pendamping petani dan bertani kreatif. CEO Getah Pinus Indonesia
Sangat jarang alumni kehutanan bisa menjadi media darling, lebih-lebih menjadi calon presiden! Ia menjadi kesayangan media maupun warga Jakarta dan Solo bukan karena skandal korupsi atau perselingkuhan. Bukan pula karena kegagalannya sebagai nakhoda bagi wilayah yang dulu dan sekarang tengah dipimpinnya. Ia menjadi buah bibir karena secara mengejutkan melewati tangga-tangga kekuasaan tanpa pernah terpeleset sama sekalipun!
Di awal memimpin Solo hanya sedikit orang yang mengenalnya. Namun di periode kedua, ia terpilih lebih dari 91% pemilih, sebuah angka fantastis bila kita memperhitungkan tak adanya spanduk, baliho, atau poster kampanye politiknya untuk memerintah Solo di periode kedua. Dari ketenangan sebuah kota kecil di pedalaman Jawa tengah, ia mencari tantangan lebih besar dengan mengikuti pemilihan Gubernur di Jakarta. “Politik gedor pintu dan tatap muka” yang dijalankannya dari rumah ke rumah, pasar ke pasar, dan dari satu ruang publik yang satu ke ruang publik yang lain di Jakarta menghancur-leburkan metode kampanye konvensional elite-elite politik kita.
Ia jungkir-balikkan perkiraan-perkiraan lembaga-lembaga polling oportunis dan pesanan yang lebih suka menyenangkan pemimpin mapan daripada pemimpin alternatif seperti dirinya. Alhasil, di putaran kedua, ia kembali memenangkan pertarungan politik, dan sejak itu namanya menjadi buah bibir hampir setiap orang yang menginginkan adanya perubahan di negeri ini.
Keiritan bicara Jokowi berbanding terbalik dengan bukti riil dari kepemipinannya. Di bawah kepemimpinannya, Pasar tanah Abang ia tata nyaris tanpa kekerasan. Waduk dan sungai-sungai dikeruk dan ditata dengan baik. Birokrasi yang membusuk ia pangkas dan segarkan layaknya seorang pengusaha menyehatkan sebuah perusahaan yang bangkrut—lihatlah bagaimana ia dan wakilnya yang pemberani menggebuk jajaran birokrat dan pengusaha maling tanpa ampun. Para pelajar miskin memiliki harapan bisa berhasil dalam menempuh pendidikan formalnya dengan dukungan dana dari pemerintah provinsi.
Dan dengan kartu kesehatan bikinannya, orang-orang miskin—yang selama ini dibiarkan mati oleh penyakit dan pembiaran negara—memiliki kesempatan untuk sehat dan bertempur melawan kemiskinan yang menderanya. Serangan para lawan-lawan politik yang dengki dengan kesuksesannya lebih dari asap yang hilang tertiup angin perubahan yang dihembuskannya.
Apa yang membuatnya menjadi bintang terang di langit Indonesia yang gelap oleh perilaku elite yang korup, pengusaha yang curang, ulama yang munafik, akademisi yang bebal dan terasing di menara gadingnya sendiri, dan rakyat miskin yang lupa diri karena berbagai beban hidup yang menderanya?
Faktor pertama barangkali adalah ini: Ia tak menciptakan kesan elitis atau berjarak dengan semua orang, tak berusaha tampak pintar atau intelektualis, dan tak suka basa-basi. Ia selalu mengidentifikasikan dirinya sebagai bagian dari massa. Dalam berbagai acara seremonial seperti pengangkatan walikota dan bupati, serah terima jabatan di lingkungan pemerintahan, pembukaan pasar baru, peletakan batu pertama sebagai simbolisasi awal pelaksanaan proyek-proyek pembangunan, ia hanya berbicara antara dua sampai lima menit. Nampaknya ia paham betul dengan ujaran lama: persoalan manusia sebagian besar dimulai dari mulut. Semakin banyak mulut berkoar-koar, makin banyak pula persoalan yang menghampiri. Itu alasan kenapa ia lebih suka menggunakan telinganya untuk mendengar, mendayagunakan matanya untuk mengamati kenyataan-kenyataan tak sedap dipandang yang harus diatasinya, menggunakan kakinya untuk terus berjalan menyusuri ruang-ruang kota yang tengah dikontrolnya, dan memanfaatkan otaknya untuk membuat gebrakan selanjutnya.
Faktor kedua adalah komitmen kerja secara konkret. Ia lebih suka menggunakan kemeja putih yang lebih sering digulung sebagai isyarat bahwa ia lebih siap bekerja daripada berbicara. Kebiasaannya memakai kemeja putih polos murah ini, selain secara cerdik mengembalikan ingatan orang pada kebiasaan kaum pergerakan nasional di masa lalu, juga memudahkannya untuk bergaul dengan masyarakat bawah yang menjadi konstituennya. Busana ini berpadu dengan sepatu yang menutupi kakinya. Saya tak bisa menghitung berapa pasang sepatu yang jebol sejak ia memasuki gelanggang politik karena kebiasaannya blusukan menjelajahi hampir tiap bagian wilayah yang dipimpinnya dan menemui sekian orang yang menjadi warganya.
Saya juga tak bisa menghitung berapa banyak jamu tradisional yang harus ia minum agar tak cepat tumbang dengan aktivitasnya yang seabreg. Kemeja di tubuh, sepatu di kaki, dan jamu yang ia minum tiap hari itu menjadi saksi betapa semangatnya ia menghadapi persoalan-persoalan yang harus diselesaikan. Busana dan sepatu saja tak menjamin seorang pemimpin bisa bekerja efektif dan efisien.
Jokowi perlu merasakan kebutuhan untuk mengenal denyut nadi kehidupan warganya sebagai faktor pendukung keberhasilan kepemimpinannya. Maka jangan kaget bila kita mendengar pengakuan tentang telapak tangannya yang sering lecet-lecet karena hampir sepanjang hari bersalaman dengan setiap orang yang ditemuinya. Berkali-kali, di berbagai forum, ia mengucapkan kata-kata ini: “Saya berusaha menyembuhkan kesehatan mata bathin saya dengan cara bersentuhan secara langsung dengan mereka, bersalaman dengan mereka. Penglihatan spiritual kita tidak pernah dilatih untuk melihat persoalan-persoalan riil di masyarakat. Penglihatan batin kita tidak dilatih melihat perkampungan kumuh, melihat bagaimana mereke mengeluh, tergeletak, sakit.
Bukan hanya ribuan atau puluhan ribu, tapi ratusan ribu. Kalau setiap hari pemimpin kita tidak salaman dengan rakyat, tidak bersentuhan kulit dengan rakyat, terus apa latihan batin kita?” Keiritan bicara dan caranya bersentuhan langsung dengan rakyat tak sedikit melahirkan cemooh atau ejekan. Para intelektual, akademisi, dan politisi kita yang lebih suka berbusa-busa dan mencaci-maki menganggapnya bodoh atau kurang pintar berbicara.
Mereka lupa bahwa perubahan tak cukup hanya dengan kata-kata. Lelaki kerempeng dari Solo yang di depan publik terkesan irit atau tak pandai bicara ini tak pernah menanggapi secara serius kritikan yang ditujukan paanya dengan retorika yang meyakinkan. Ia hanya bicara negeri ini memiliki banyak orang pintar serta banyak gagasan cemerlang namun sangat sedikit orang mau bekerja menerapkan ide-ide itu. Ia tak pernah ingin menunjukkan pada publik kalau di forum-forum kecil ia menguasai detil-detil persoalan yang dihadapinya sebagai seorang pemimpin. Secara sadar, nampaknya ia tak mau menunjukkan kecemerlangan isi otaknya di depan warganya yang sebagian besar sudah bosan dengan kata-kata cemerlang namun hampa makna. Oleh seorang pemikir dari Amerika Latin, lelaki ini sadar betul dengan “invasi kata-kata” yang membuat seorang pemimpin hidup dalam dunia ide namun tak hidup di dunia riil.
Kini, lelaki yang mendapat kepercayaan dari sebagian besar warga negara Indonesia untuk maju sebagai calon presiden—dan dengan demikian menjadi pemimpin politik tertinggi di negeri ini—tersebut akan menghadapi tantangan yang jauh lebih besar dan kompleks. Ia paham harapan rakyat begitu besar padanya. Ketidakmampuannya memenuhi harapan rakyat bisa membuatnya terjungkal suatu hari nanti.
Kalau di jabatan-jabatan politik sebelumnya ia dikelilingi oleh banyak orang baik dan sedikit bajingan, kini mungkin jumlah bajingan yang mengelilingi dan berusaha menjilat di depannya semakin banyak. Kalau di masa-masa sebelumnya tak banyak serangan negatif yang ditujukan pada dirinya dan keluarganya, sekarang serangan semacam itu bisa melebar bukan hanya kepada ke dirinya dan keluarga namun melebar ke teman dekat, partai pengusungnya, dan cacat-cacat kebijakan yang ia terapkan di masa lalu. Namun, melihat rekam jejak kepemimpinannya, nampaknya ia tak akan sendirian menghadapi serangan semacam itu. Orang-orang yang menginginkan adanya perubahan signifikan di negeri ini harus berdiri di belakangnya.
Bukan hanya membantu menangkis serangan-serangan jahat tak berdasar yang ditujukan padanya, namun juga melindunginya dari segerombolan oportunis politik, pengusaha hitam, dan akademisi penjilat yang ingin mengambil keuntungan dari naiknya pamor politiknya. Kita, sebagai bagian terbesar dari massa yang telah sekian lama tak mencicipi kue pembangunan yang nikmat, harus mengamankan bersama-sama agenda perubahan yang di-idam-idam-kannya.
Kita hanya punya dua pilihan: memilih calon pemimpin yang tak memiliki keberanian untuk menjadi dirinya sendiri dan lebih nyaman menggunakan simbol-simbol pemimpin besar revolusi kita ataukah memilih pemimpin yang selalu berusaha menyambungkan mata bathinnya bersama massa rakyat. Hampir satu tahun lalu. seusai melakukan pertemuan dengan Jokowi, Duta besar Palestina, Fariz Nafe Mehdawi mengungkapkan kesannya terhadap orang nomor satu di Jakarta yang sudah digadang-gadang layak memimpin Indonesia. "Kita semua dapat memimpin, negara ini dapat menghasilkan 250 juta pemimpin, bukan hanya satu, dan itulah yang Anda banggakan. Dia seperti Anda, dan Anda menyukainya karena dia seperti semua orang, bukan karena dia berbeda. Perbedaan bahwa dia tidak memiliki perbedaan dengan siapa pun. Inilah rahasia pemimpin," papar Mehdawi.
Ucapan Mehdawi bisa jadi pertimbangan bagi siapa pun saat akan memilih pemimpin tertinggi di negeri ini. Kita bisa memilih pemimpin di luar kriteria yang dikatakan oleh Mehdawi dengan resiko pemihaan pilihan anda dari sekarang!
*Arif Wicaksono adalah alumnus Manajemen Hutan UGM 1999, pendamping petani dan bertani kreatif. CEO Getah Pinus Indonesia
0 comments:
Post a Comment