Oleh Taufik Wijaya*
KATA “betuah” yang berarti selalu beruntung, sakti, keramat, atau bernasib baik sudah sering kita dengar dalam perbincangan sehari-hari. Biasanya kata ini diberikan kepada seseorang yang dinilai memiliki keberuntungan.
Jokowi, calon presiden Indonesia, tak luput dari penyebutan ini sebagai manusia yang betuah. Ini seperti dikatakan Ketua DPD Partai Hanura Sumsel, Arkoni MD. Partai Hanura merupakan partai pengusung Jokowi sebagai calon presiden Indonesia. “Jokowi itu bertuah, terbukti saat bertarung pada pemilihan Gubernur DKI Jakarta Jokowi berhasil memenangkannya,” kata Arkoni kepada Rakyat Merdeka Online Sumsel, Sabtu (7/6/2014) (http://www.rmolsumsel.com/read/2014/06/07/7518/Arkoni-:--Jokowi-Manusia-Bertuah).
Selanjutnya, kata Arkoni, sebagai manusia betuah, kemenangan PDIP pada Pemilihan Legislatif April 2014 lalu akibat efek Jokowi.
Sepintas pernyataan Arkoni mengenai Jokowi sebagai “manusia betuah” tidak memberikan dampak bagi masyarakat. Tetapi, jika hal ini benar-benar diyakini masyarakat, maka ada beberapa hal yang menjadi kekhawatiran saya. Pertama, pernyataan tersebut membuat cara pandang masyarakat terhadap seorang pemimpin bukan berdasarkan rasionalitas. Tetapi berdasarkan hal-hal yang tidak rasional. Nilai-nilai keberuntungan, nasib baik, atau kesaktian.
Padahal seorang pemimpin dipilih bukan karena dia manusia beruntung, melainkan dia dinilai mampu mengurusi masyarakat atau bangsa. Kemampuan ini dapat dilihat dari karakternya, pemikirannya, dan rekam jejaknya dalam mengurusi atau membela banyak orang.
Saya percaya Jokowi mampu menjadi calon presiden, lantaran dia memiliki karakter dan pemikiran, yang diyakini mampu mengatasi persoalan Indonesia yang hari ini kian terpuruk. Dipilih bukan karena betuah, sebab betuah itu bukan yang dibutuhkan rakyat Indonesia.
Kedua, dalam ajaran Islam, yang juga diakui Jokowi sebagai agamanya, tidak dikenal kata “betuah”. Sebab semua yang dialami atau diterima seorang manusia, datangnya dari Allah. Islam tidak mengenal keberuntungan. Semua pasti dan detil atas peranan Allah. Para nabi yang ditunjuk Allah tidak dimengerti sebagai manusia betuah. Allah memilihnya dengan perhitungan dan proses yang jelas.
Sementara hari ini, sudah dipastikan Allah tidak menunjuk nabi atau rasul yang baru. Allah pun tidak lagi menurunkan wahyu, dia hanyamemberikan ilham kepada manusia. Manusia yang menerima ilham itu punharus memiliki syaratnya. Yakni kesucian fisik dan jiwanya. Bahkan, manusia yang diciptakan Allah, saat diminta mengambil buah di pohon, tidak asal comot. Pasti akan memilih buah yang baik, tidakbusuk, untuk diambil.
Saya juga percaya dengan partai politik maupun organisasi masyarakatmendukung Jokowi bukan karena dia manusia betuah. “Saya dan kawan-kawan mendukung Jokowi karena dia bersedia menjalankan agenda kepentingan petani yang kami sodorkan. Makanya kami bekerja untukmemenangkannya. Kalau kami tidak bekerja, jelas Jokowi tidak terpilihmenjadi presiden,” kata Anwar Sadat, ketua Seknas Tani Jokowi SumateraSelatan.
Saya juga percaya, para pendukung pasangan Prabowo-Hatta melihatPrabowo maupun Hatta bukan sebagai manusia betuah, tapi karena mereka percaya terhadap karakter dan pemikiran dari pasangan tersebut, sehingga yakin bahwa negara dan bangsa Indonesia akan lebih baik saat dipimpin Prabowo-Hatta.
Dan, saya harap Pilpres 2014 menjadi ajang masyarakat Indonesiamenjadi lebih cerdas. Sehingga mereka lebih paham bahwa kepemimpinanitu berdasarkan alat ukur yang rasional, yang terkait dengan kepentingan negara dan bangsa Indonesia. [*]
*Pekerja Budaya
KATA “betuah” yang berarti selalu beruntung, sakti, keramat, atau bernasib baik sudah sering kita dengar dalam perbincangan sehari-hari. Biasanya kata ini diberikan kepada seseorang yang dinilai memiliki keberuntungan.
Jokowi, calon presiden Indonesia, tak luput dari penyebutan ini sebagai manusia yang betuah. Ini seperti dikatakan Ketua DPD Partai Hanura Sumsel, Arkoni MD. Partai Hanura merupakan partai pengusung Jokowi sebagai calon presiden Indonesia. “Jokowi itu bertuah, terbukti saat bertarung pada pemilihan Gubernur DKI Jakarta Jokowi berhasil memenangkannya,” kata Arkoni kepada Rakyat Merdeka Online Sumsel, Sabtu (7/6/2014) (http://www.rmolsumsel.com/read/2014/06/07/7518/Arkoni-:--Jokowi-Manusia-Bertuah).
Selanjutnya, kata Arkoni, sebagai manusia betuah, kemenangan PDIP pada Pemilihan Legislatif April 2014 lalu akibat efek Jokowi.
Sepintas pernyataan Arkoni mengenai Jokowi sebagai “manusia betuah” tidak memberikan dampak bagi masyarakat. Tetapi, jika hal ini benar-benar diyakini masyarakat, maka ada beberapa hal yang menjadi kekhawatiran saya. Pertama, pernyataan tersebut membuat cara pandang masyarakat terhadap seorang pemimpin bukan berdasarkan rasionalitas. Tetapi berdasarkan hal-hal yang tidak rasional. Nilai-nilai keberuntungan, nasib baik, atau kesaktian.
Padahal seorang pemimpin dipilih bukan karena dia manusia beruntung, melainkan dia dinilai mampu mengurusi masyarakat atau bangsa. Kemampuan ini dapat dilihat dari karakternya, pemikirannya, dan rekam jejaknya dalam mengurusi atau membela banyak orang.
Saya percaya Jokowi mampu menjadi calon presiden, lantaran dia memiliki karakter dan pemikiran, yang diyakini mampu mengatasi persoalan Indonesia yang hari ini kian terpuruk. Dipilih bukan karena betuah, sebab betuah itu bukan yang dibutuhkan rakyat Indonesia.
Kedua, dalam ajaran Islam, yang juga diakui Jokowi sebagai agamanya, tidak dikenal kata “betuah”. Sebab semua yang dialami atau diterima seorang manusia, datangnya dari Allah. Islam tidak mengenal keberuntungan. Semua pasti dan detil atas peranan Allah. Para nabi yang ditunjuk Allah tidak dimengerti sebagai manusia betuah. Allah memilihnya dengan perhitungan dan proses yang jelas.
Sementara hari ini, sudah dipastikan Allah tidak menunjuk nabi atau rasul yang baru. Allah pun tidak lagi menurunkan wahyu, dia hanyamemberikan ilham kepada manusia. Manusia yang menerima ilham itu punharus memiliki syaratnya. Yakni kesucian fisik dan jiwanya. Bahkan, manusia yang diciptakan Allah, saat diminta mengambil buah di pohon, tidak asal comot. Pasti akan memilih buah yang baik, tidakbusuk, untuk diambil.
Saya juga percaya dengan partai politik maupun organisasi masyarakatmendukung Jokowi bukan karena dia manusia betuah. “Saya dan kawan-kawan mendukung Jokowi karena dia bersedia menjalankan agenda kepentingan petani yang kami sodorkan. Makanya kami bekerja untukmemenangkannya. Kalau kami tidak bekerja, jelas Jokowi tidak terpilihmenjadi presiden,” kata Anwar Sadat, ketua Seknas Tani Jokowi SumateraSelatan.
Saya juga percaya, para pendukung pasangan Prabowo-Hatta melihatPrabowo maupun Hatta bukan sebagai manusia betuah, tapi karena mereka percaya terhadap karakter dan pemikiran dari pasangan tersebut, sehingga yakin bahwa negara dan bangsa Indonesia akan lebih baik saat dipimpin Prabowo-Hatta.
Dan, saya harap Pilpres 2014 menjadi ajang masyarakat Indonesiamenjadi lebih cerdas. Sehingga mereka lebih paham bahwa kepemimpinanitu berdasarkan alat ukur yang rasional, yang terkait dengan kepentingan negara dan bangsa Indonesia. [*]
*Pekerja Budaya
0 comments:
Post a Comment