728x90 AdSpace

  • Berita Terkini

    Saturday, May 24, 2014

    Menunggu Gagasan Orisinal

    Oleh Syamsuddin Haris*

    Setelah memperoleh mandat politik dari Megawati Soekarnoputeri untuk menjadi calon presiden PDI Perjuangan, kini publik menunggu Joko Widodo bicara tentang mimpi-mimpinya untuk Indonesia kita. Tetapi perlukah Jokowi bicara?

    Jawabannya bukan hanya perlu, tetapi harus. Sebagai capres yang akan menjabat kepala negara dan kepala pemerintahan sekaligus, Jokowi harus mempunyai mimpi tentang bangsa ini sekurang-kurangnya untuk lima tahun ke depan. Bagaimana Tanah Air kita yang kaya raya namun terperangkap “salah urus” tak berkesudahan ini dikelola secara benar untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Apa saja resep dan strategi kebijakan yang akan ditawarkan Jokowi sebagai solusi untuk mengatasi misalnya, krisis pangan dan energi, kemiskinan dan kesenjangan sosial ekonomi, daya saing ekonomi bangsa yang rendah, pengelolaan sumberdaya alam yang justru semakin memiskinkan rakyat, korupsi yang masih merajalela, dan seterusnya. 

    Sebagai calon pemimpin nasional yang akan menentukan arah sejarah ke mana bangsa kita hendak menuju, Jokowi harus bicara mimpi-mimpinya tentang Indonesia ke depan. Rakyat di manapun, termasuk di negeri kita, membutuhkan pemimpin yang mampu memberi mereka harapan akan hari esok yang lebih baik dan menjanjikan. Tentu saja bukan mimpi dan janji yang bersifat pepesan kosong belaka, melainkan mimpi yang realistik serta sesuai dengan potensi sumberdaya yang dimiliki bangsa kita. Dukungan rakyat bagi pemimpin yang mampu memberi harapan adalah energi dahsyat yang bisa dikelola, bukan hanya untuk memupuk semangat patriotik mencintai bangsa sendiri, tetapi juga untuk menghadapi rongrongan bangsa lain.

    Pendidikan Politik

    Setelah berbulan-bulan berbagai media dan lembaga survei menyuguhkan potensi elektabilitas setiap capres, termasuk Jokowi, sudah waktunya kita mendorong para capres memformulasikan strategi kebijakan mereka untuk mengatasi aneka persoalan krusial bangsa ini. Publik berhak tahu, bagaimana misalnya, Jokowi memahami dan mengenali masalah krisis pangan dan energi, apa strategi kebijakan yang ditawarkan sebagai solusi, dan seterusnya. Singkatnya, apa dan bagaimana sesungguhnya paradigma atau cara pandang Jokowi sebagai capres dalam soal-soal strategis bangsa kita.

    Atas dasar cara pandang dan strategi kebijakan yang ditawarkan itu, publik bisa memberikan penilaian secara relatif jujur terhadap sosok Jokowi. Secara obyektif, negeri kita tak hanya membutuhkan pendekatan dan gaya kepemimpinan yang merakyat ala Jokowi, tapi juga program dan strategi kebijakan alternatif dalam mengatasi aneka persoalan krusial bangsa kita. Dengan begitu kita semua tak hanya bisa memutuskan untuk memilih calon pemimpin yang benar, melainkan juga turut menjadikan momentum pemilu sebagai sarana pendidikan politik serta pencerdasan masyarakat. 

    Sayangnya, kampanye pendahuluan para capres yang memanfaatkan momentum pemilu legislatif saat ini cenderung tidak mendidik. Forum kampanye menjadi ajang untuk menyerang dan menyindir capres dari parpol lain ketimbang meyakinkan publik bahwa program politik yang ditawarkan benar-benar realistik bagi masa depan Indonesia yang lebih baik. Ada pula capres yang mencitrakan diri sebagai wong cilik dengan cara berpura-pura menjadi pedagang kecil, tukang becak, dan seterusnya. Seolah-olah rakyat kita mudah tertipu oleh cara pencitraan diri seperti itu. 

    Ironisnya, massa pendukung para capres pun turut saling memburukkan lawan politik idola mereka masing-masing. Sebagaimana terekam melalui berbagai media sosial seperti twitter dan facebook, pertarungan antarpendukung capres tak jarang emosional, sehingga berbagai informasi sampah pun dikunyah dan dijadikan dasar argumen.

    Bicara “Utuh”

    Dalam beberapa kesempatan pascadeklarasi pencapresan di rumah Si Pitung, Marunda, Jakarta Utara, Jokowi memang sudah bicara beberapa soal strategis seperti upaya klarifikasi kebijakan Presiden Megawati tentang penjualan aset negara PT Indosat. Namun pada umumnya penjelasan Jokowi lebih merupakan respons atas pertanyaan para jurnalis ketimbang suatu cara pandang yang “utuh” atas suatu persoalan. Saya berpendapat, bangsa kita menunggu Jokowi berbicara agak “utuh” tentang tantangan Indonesia ke depan dan berbagai resep yang dianggap mujarab untuk mengantisipasi dan mengatasinya.

    Barangkali benar Jokowi tidak memiliki keterampilan berbicara secara artikulatif di depan publik. Mantan Walikota Solo itu bukanlah seorang orator seperti misalnya Prabowo Subianto, capres Partai Gerindra yang bisa tampil lantang dan berapi-api. Namun demikian tidak berarti Jokowi harus diam seribu basa. Apalagi publik sangat berharap bahwa presiden hasil pilpres mendatang adalah seorang yang lebih tegas dibandingkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang selama hampir 10 tahun ini dikenal lamban, terlampau hati-hati, dan kompromistik.

    Mungkin juga benar, personalitas Jokowi bukanlah sosok yang terlampau suka dengan formalitas, termasuk dalam mengemukakan cara pandang dan pilihan kebijakan bagi Indonesia ke depan. Akan tetapi, adalah keliru jika ada anggapan bahwa bangsa ini tidak membutuhkan suara bergetar para pemimpin yang bisa memberi harapan. Betapapun lirih suara hati yang bisa diberikan Jokowi, saya kira rakyat kita saat ini tengah menunggu untuk mendengarnya.

    Sulit dipungkiri, saat ini sudah banyak harapan dan janji yang disuarakan para capres. Namun sebagian besar janji tersebut cenderung bersifat klise dan sloganistik. Sebut saja misalnya soal ekonomi kerakyatan. Hampir semua kandidat presiden mengangkat isu ekonomi kerakyatan sebagai salah satu program politik utama yang ditawarkan. Namun hampir tidak satupun gagasan yang benar-benar orisinal sekaligus realistik untuk membawa bangsa kita mewujudkan sistem ekonomi kerakyatan.

    Pertanyaannya, apakah Jokowi memiliki gagasan yang lebih orisinal, atau cenderung klise dan sloganistik seperti capres lain? Saya kira disitulah urgensi Jokowi bicara.

    * Prof. Dr. Syamsuddin Haris adalah 
    peneliti senior pada Pusat Penelitian Politik (P2P) LIPI

    Sumber: kompas 10 April 2014


    • Blogger Comments
    • Facebook Comments

    0 comments:

    Post a Comment

    Item Reviewed: Menunggu Gagasan Orisinal Rating: 5 Reviewed By: r3nc0n9
    Scroll to Top