728x90 AdSpace

  • Berita Terkini

    Tuesday, May 27, 2014

    Di Mana Pendidikan Politik Dibuang?

    Karikatur karya RW Mulyadi
    Aan Frimadona Rosa

    Suhu politik di Indonesia menjelang  Pemilihan Presiden 2014 semakin memanas. Saling serang antartim sukses dan relawan capres makin seru. Kampanye hitam makin banyak berseliweran.

    Pasangan calon presiden pada pemilu pilpres 2014 hanya  ada dua, yakni Joko Widodo-Jusuf Kalla  dan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa.  Sedikitnya pasangan capres-cawapres, tentu saja, sangat berpengaruh terhadap suhu politik. Sebab, hanya ada dua kubu. Polarisasi mudah sekali dilihat. Gesekan  di antara kedua pendukung pasangan capres-cawapres pun menjadi berpeluang lebih keras.

    Fenomena dukung mendukung sudah tampak nyata sejak sebelum dan sesudah Pemilihan Umum Legisltaif. Menjadi makin hangat ketika terjadi lobi-lobi yang dilakukan pimpinan partai untuk berkoalisi guna mengusung calon presiden. Ada pimpinan partai yang tampak sibuk, wira-wiri, bolak-balik dari rumah ketua umum partai A ke rumah ketua partai B, lalu ujung-ujungnya berkoalisi dengan partai B.

    Ada bakal capres yang jauh-jauh hari sering mejeng di koran dan tampil di televisi, dicitrakan sebagai sosok figur publik publik, begitu partai yang mencalonkannya suaranya tak cukup syarat untuk mencalonkan presiden, dia langsung balik kanan. Capres gagal itu pun kemudian mendukung capres B dan seolah-olah anti dengan partai yang dulu mencalonkannya jadi capres pada saat kampanye pemilu legislatif.


    Mesti diakui, media online dan media sosial merupakan salah satu sarana komunikasi publik yang turut menambah seru pertarungan dan persaingan para bakal calon presiden-wakil presiden. Media kerap menjadi acuan masyarakat, bahan ngerumpi di warung kampung atau kantin kampus. Media juga kerap menjadi sasaran empuk bagi tim capres untuk memborbardir lewat informasi-informasi sepihak yang penuh polesan.

    Situs berita tiba-tiba menjamur.  Ada yang masih bersikap objektif dan berimbang, tetapi banyak juga media online yang memang sengaja dibuat untuk kepentingan sesaat Pemilu Presiden. Isinya melulu tentang capres tertentu dan semua berlumur kebaikan. Sebaliknya, pemberitaan tentang capres lain yang dianggap sebagai pesaing berat akan berat sebelah. Seolah capres lain itu berlumur noda dan tidak pantas jadi capres.

    Pada posisi seperti itu, kebenaran seolah menjadi tidak penting.  Logika tidak perlu digunakan, verifikasi pun tak perlu dilakukan. Yang penting capres yang didukung media tersebut selalu bagus citranya di mata publik. Sejarah masa lalunya, sepak terjangnya, dan  hal-hal buruk tentang capres yang dibelanya tidak perlu diungkap. Pokoknya besih tanpa noda. Paling hebat. Paling jago. Suci karena didukung oleh orang-orang dan partai-partai yang mengklaim suci dan ahli surga.

    Di mana letak pendidikan politik?

    Ada hal yang mengkhawatirkan dalam beberapa pekan terakhir masyarakat kita dijejali tontonan yang tak sehat yakni kampanye hitam. Para pendukung calon presiden membabi buta, saling serang dengan menghalalkan segala cara. Beberapa waktu lalu, misalnya, serangan hitam terhadap calon presiden  Joko Widodo, yang diusung PDIP, NasDem, PKB, dan Hanura dilakukan dalam bentuk iklan dukacita kematian Jokowi. Di situ sosok digambarkan beragama dan berlatar belakang suku yang bertentangan dengan fakta sebenarnya.

    Tak hanya dipasang di media nasional. Berita  iklan itu juga disebar di media sosial,dengan maksud  melontarkan fitnah dengan harapan melahirkan sentimen negatif dalam masyarakat. Itulah kampanye hitam, karena faktanya tidak seperti itu.

    Kampanye hitam atau setengah abu-abu juga dialami Prabowo-Hatta Rajasa. Prabowo-Hatta diserang dengan isu penculikan aktivis, pelanggaran HAM, dan kerusuhan Mei 1998. Itu juga termasuk kampanye hitam. Namun,  hitamnya masih agak abu-abu karena masih ada sedkit keraguan antara benar (faktual) dan bohong belaka. Sebabnya adalah, semua fakta yang jadi bahan serangan memang ada. Cuma masalahnya apakah Prabowo benar-benar terlibat dalam serangkaian kekejian yang dituduhkan itu, di situlah masalahnya. Maka, yang seperti itu bisa disebut sebagai kampanye hitam setengah abu-abu.

    Pada musim kampanye, mestinya yang dipikirkan tim pemenangan dan para relawan capres-cawapres tidak semata-mata memenangkan jagoannya.  Segogianya juga ada pendidikan politik sehingga masyarakat yang tadinya masih buta politik menjadi sedikit melek, massa pemilih yang semula tergiur jadi pelaku politik uang berubah menjadi lebih baik.

    Sayangnya, hal seperti itu masih jauh panggang dari api. Tim pemenangan capres-cawapres dan para relawannnya banyak yang lebih mengedepankan okol (otot) urat leher ketimbang akal. Pendidikan politik dianggap merugikan pasangan capres-cawapres, karena kalau publik tahu hak-hak politiknya, warga makin pintar dan rasional,  pemilih tidak rasis dan tidak mengedepankan SARA (SUKU-RAS-AGAMA-ANTARGOLONGAN), nanti capres yang didukungnya akan ditinggalkan calon pemilih.

    Hasil  Pemilu Presiden macam apa yang diharapkan dari capres-cawapres, para politikus, tokoh agama, intelektual, aktivis, dan para tim sukses yang menghalalkan segala cara dengan mempermainkan psikologi rakyat? Di mana letak keindahan demokrasi jika tokoh kehilangan ketokohannya dan pendidikan politik dibuang begitu saja demi meraih kemenangan?

    Di mana pendidikan politik di buang? Siapa yang kelak memungutnya?
    • Blogger Comments
    • Facebook Comments

    0 comments:

    Post a Comment

    Item Reviewed: Di Mana Pendidikan Politik Dibuang? Rating: 5 Reviewed By: r3nc0n9
    Scroll to Top