728x90 AdSpace

  • Berita Terkini

    Saturday, May 31, 2014

    Puisi-puisi Arya Winanda

    KEJORA

    ia karam di sana, berkedip-kelip
    seperti suar kapal
    mengirim tanda kepada mata

    tapi tiada yang sudi
    menerjemahkan isyaratnya

    atau mengajukan tanda-tanda balasan
    sebagai pertanyaan kepada kabarnya

    bagi mata, ia karib sedemikian cemerlang
    begitu dekat, hingga lupa mengapa
    ia mengibas-ngibaskan ekor cahaya
    serupa anjing menyambut tuannya

    ia kepalang menjelma bunga
    kepalang dimekarkan kelopaknya
    agar hidung mengendus wangi
    hingga dada memuja-muji

    tapi mana mata yang perlu tahu
    mengapa ia mengibas-ngibaskan ekor

    tanda pada tuannya

    ia mengucap selamat tinggal
    sebab ia gesit berlalu

    lebih tangkas ketimbang pandangan
    yang amat suka terpaku

    antara ia dan mata tuannya
    terhampar selembar selimut hitam
    sebenarnya, mereka tiada berjumpa
    hingga ia mengirim ekor cahaya

    agar tuannya amat tahu
    mereka tak pernah saling ketemu

    mata gemar menatapnya
    tak lebih

    sebagai masa lalu

    sebab selalu
    jarak memerlukan waktu

    Kompas, 2010


    SARAPAN


    demi pagi dan bebutir nasi
    dan cekcok antara diri dengan diri

    selembar paras
    memucat di tingkap jendela
    sepenuh malam mengira
    bulan berlari menjauhi langit
    padahal, mataku pencurinya

    seandainya engkau tak terkunyah
    geraham dan tercecap lidah
    di muka meja makan
    maka ia tak sempat memejam
    hingga mampu membaui
    serumpun pandan ditinggalkan wangi
    sekelebat ia didaulat bunyi

    terpujilah dirimu
    yang damai terkunyah
    di pintu mulutku

    2010


    DI BELAKANG MUKA, DI DEPAN PUNGGUNG

    mata ditumbuhi segunduk lumut
    dari tangkai hidung hingga tepi pelipis
    tempat kulit dilukai keriput
    sempurna, tiga lengkung garis

    asap tumbuh dari daging dan urat kayu
    sisa kunyahan api
    dari abu bersalin abu
    berpuluhtahun terkurung, berputar-putar cuma
    di antara pusar
    dan tangkai khuldi
    sedikit ke arah pusat matahari,
    dengung silang berganti
    di mahkota:
    kabut penyamar, membiak
    dengan rupa-rupa warna

    maka bangkit bermacam debu
    meluncur di sulur-sulur angin
    liar mendarat di ujung rerumput alis
    serupa sehabis badai salju
    dan matahari kelabu
    yang tampak menampik terbit 

    hati, dengan hati-hati
    lewat pucuk jari merahnya
    pelan membuka daun pintu mata
    merasai cuaca yang mesti tiba:

    langit sewarna janggut jagung
    padang rumput semacam ganggang laut
    dengan pinggul yang lancang

    menggoyang tatapan
    membukit kepayang

    serak getar ranting renyah
    menumbuk daunan, riuh rendah
    dikayuh angin, ditiupi  angan
    tertarik tanah
    tersuruk ke arah sekelompok semak

    kemudian reruntuhan mahkota bunga,
    batu, dan sesayup suara

    kabar cemas
    dari paruh burung
    senantiasa terlepas
    menimpa kepala

    2011

    LELAKI PENYIMPAN
    TANGKAI KHULDI


    dari pusat pinggang
    tangkai itu tak henti melelerkan
    getah

    liar api berkobar, memanaskan bebiji purba
    ia terbakar dongeng yang sama

    saat nama-nama yang tertiup di bibir
    tawar, tercampur liur asmara

    rusukkiri umpama duri, benar ia tulangku sendiri
    tapi bagai anggur pekat tertuang ke kerongkongan
    begitu sepat, membuat cekat, kata-kata punah menjadi decak
    dan desah, tubuhku licin serupa ular menggelepar
    di liang tanah 

    ingatan itu begitu binal
    sebagai pencuri
    ia mencium debu
    mengenali lempung muasal

    dan sulur sunyi yang merayapinya
    tak ia kenal laiknya awal, sebelum
    rusukkiri tercabut dari dadanya
    sebelum rakus ia memamah putik dada

    begitu riuh, ribuan duri logam
    terjun, melenting, meriap, berdenting
    meluncur di sekujur daging

    pandangannya pekat-lebam
    bagai mata karam di lumpur
    sungai, sebab kini suara dirinya
    begitu asing

    dimanakah tangkai khuldi ini kusembunyikan
    bagaimana muasal cemas ini kulenyapkan

    dari telinga ia mendengar
    desis terlontar

    bagimu kini, api mula terang
    dan gelap adalah gerbang

    sebagai juru kunci nama-nama
    lidahnya yang lihai
    kini bercecabang
    membelukar, penghalang rimbun
    bagi jalan pulang

    dari celah-celah
    yang tersingkap udara
    terkadang berhamburan
    bulu cahaya

    2009

    6 BAIT RAYUAN GOMBAL

    dingin yang terhampar di waktu subuh
    menjelma di bulu dedaun bambu
    beningnya menitis di mata kamu
    karenanya,
         saya mengagumi
         mata embun itu

    embun yang menitik di matamu
    terasa asin dan asing
    ia umpama laut
    dan saya tenggelam
        sebab lidah ombaknya
                      melempar ludah ke muka
        bila mau bertaut, menyurut

    dengan cara yang sama saya memahami:
    di lengkung petang, burung-burung parkit
    menghambur ke lenggang padang
    meluncur licin di pinggang bebukit

    begitu juga senyummu: lapang
    namun terang

    menggigit pahit

    sebab itulah
    saya menjatuhkan diri
    dan  berusaha sungguh
    bangkit sendiri

    2010


    Arya Winanda
    BIODATA SINGKAT

    Arya Winanda, lahir di Kotabumi, Lampung Utara, 14 Juli 1980. Pada tahun 2008 ia memulai debut menulis puisi setelah tiga cerita mininya masuk dalam nominasi dan salah satunya meraih penghargaan dalam acara Sayembara Fiksi Kilat yang ditaja Dewan Kesenian Lampung pada tahun yang sama. Karya-karya puisinya terhimpun dalam kumpulan puisi tunggal Desis Ular (Dewan Kesenian Lampung, 2010) dan kumpulan puisi dan cerpen Hilang Silsilah (Dewan Kesenian Lampung, 2013). Sejumlah puisinya yang lain juga dimuat di media cetak Jakarta dan daerah: Lampung Post, Koran Tempo, dan Kompas. 

    • Blogger Comments
    • Facebook Comments

    0 comments:

    Post a Comment

    Item Reviewed: Puisi-puisi Arya Winanda Rating: 5 Reviewed By: r3nc0n9
    Scroll to Top