728x90 AdSpace

  • Berita Terkini

    Saturday, May 31, 2014

    Iwan Nurdaya Djafar: Penyair, Birokrat, Penyambung Lidah Sastra Timur

    Oyos Saroso H.N.

    Iwan Nurdaya Djafar (Ist)
    Suatu hari pada tahun 1980-an awal, seorang mahasiswa jurusan hukum tata negara Universitas Parahiyangan (Unpar) Bandung, diejek oleh Emanuel Sembiring Meliala, seorang redaktur majalah Top.

    Mahasiswa kutu buku asal Lampung itu diejek karena suka sekali membaca karya-karya sastra terjemahan, baik sastra-sastra Timur maupun sastra Barat. Meliala memang menjadi “guru” sekaligus teman mahasiswa itu berdiskusi tentang sastra dan seni.

    “Hobi kok baca terjemahan. Kenapa tidak dari sumbernya langsung? Lebih afdol baca karya-karya aslinya,” ujar Meliala.

    Ejekan itu tidak hanya membekas di hati mahasiswa itu, tetapi juga menjadi penyemangat untuk lebih tekun menggeluti karya-karya sastra Timur, mulai dari Lebanon, Mesir, Iran, Saudi Arabia, India, Cina, Jepang,  termasuk Indonesia. Iwan Nurdaya Djafar, mahasiswa itu, bahkan sejak tahun 1988 menjadi penerjemah karya-karya sastra Timur.

    Bagi publik sastra di Lampung, Iwan Nurdaya Djafar bukanlah nama asing. Selain dikenal sebagai salah satu pendiri dan ketua Dewan Kesenian Lampung periode pertama (1995-2001), pria berusia 55 tahun yang helai-helai rambutya sudah mulai memutih itu juga dikenal sebagai pemikir sastra sekaligus penyair.

    Meski begitu, di dalam peta sastra Indonesia, selain sebagai penyair, Iwan Nurdaya Djafar hingga kini lebih dikenal sebagai penerjemah karya-karya sastra Timur yang cukup andal. Selain itu, Iwan juga dikenal sebagai “kamus berjalan” karena sangat hafal tentang sejarah sastra Timur.

    “Karier” Iwan sebagai penerjemah bermula dari kecintaannya terhadap dunia sastra. Selain banyak membaca karya-karya sastra Timur, saat kuliah di Bandung Iwan juga bergaul intensif dengan pada penyair dan dramawan Bandung. Misalnya Acep Zamzam Noer, Soni Farid Maulana, dan Diro Aritonang.

    Pergulatannya dengan dunia sastra dan teater, ditambah pergaulannya dengan para sastrawan Bandung, menjadikan Iwan lebih suntuk membaca buku-buku karya sastra ketimbang buku-buku tentang tata negara. Iwan pun makin merasa enjoy ketika karya-karya puisi dan esainya sering dimuat di harian lokal terbitan Bandung.

    Hobi Iwan menekuni dunia kesenian tentu saja membuat  Djafar Hamid, ayah Iwan, berang. Soalnya, mantan Bupati Lampung Selatan itu menginginkan anaknya menjadi seorang politikus atau ahli tata negara. Apalagi profesi sebagai sastrawan atau seniman di Indonesia ketika itu tidak begitu menjanjikan.

    Setelah pulang ke Lampung pada akhir tahun 1980-an, sambil terus berkarya dan menerjemahkan karya-karya sastra Timur, Iwan bekerja sebagai pegawai negeri sipil di Pemda Provinsi Lampung. Profesi sebagai pegawai pemerintah tetap ditekuni hingga kini sambil tetap melanjutkan mempelajari dan menerjemahkan karya sastra Timur.

    Sastrawan Timur yang karyanya paling banyak diterjemahkan Iwan adalah Khalil Gibran (Lebanon). Jauh sebelum hasil terjemahan karya-karya Khalil Gibran jadi booming di Indonesia, pada akhir tahun 1980-an Iwan sudah menerjemahkan karya Khalil Gibran. Antara lain The Prophet (Sang Nabi), Prose-Poem (Prosa-Puisi), Secrets of the Hearts  (Rahasia Hati), Earth Gods (Dewa-Dewa Bumi), Tears and Smile  (Air Mata dan Senyuman),  Bagi Sahabat, Laki-Laki dari Timur, dll. Buku Air Mata dan Senyumantermasuk paling laris. Sejak diterbitkan oleh penerbit Salman (Bandung) pada 1989 lalu, hingga kini sudah 13 kali cetak ulang.

    Sebelum Iwan Nurdaya menjadi penerjemah, karya-karya Khalil Gibran hanya bisa dinikmati pembaca di Indonesia lewat hasil terjemahan penyair Sugiarta Sriwibawa dan akademisi Sri Kusdyantinah. “Dalam menerjemahkan saya tidak mencari untung. Bahkan, kalau dihitung dengan waktu yang saya pakai untuk menerjemahkan saya rugi. Sebab, nilai royaltinya tidak seberapa, yaitu hanya 10 persen dari harga buku,” kata penyair yang mengaku menerjemahkan sastra Timur karena hobi ini.

    Buku-buku karya-karya Gibran yang diterjemahkan Iwan itu sudah beredar di toko-toko  buku jauh sebelum booming penerjemahan karya Gibran terjadi seperti sekarang. “Saya menerjemahkan Prose-Poem tahun 1988 dan diterbitkan Pustaka Salman, Bandung. Sementara karya-karya Gibran lainnya saya terjemahkan dalam rentang tahun 1989—2000,” ujar suami Cut Hilda Rina ini.

    Bagi Iwan, menerjemahkan karya-karya sastra Timur adalah semacam perjuangan untuk menyebarkan nilai-nilai Timur kepada pembaca di Indonesia. Makanya, kata Iwan, karya-karya Timur yang diterjemahkan Iwan tidak terbatas pada karya-karya Khalil Gibran, tetapi juga karya-karya hasil ciptaan sastrawan Timur lainnya seperti karya Tagore Merenungkan Dunia (karya Rabindranath Tagore yang ditulis Amartya Sen),  Bait-Bait Mistis Dalai Lama II (karya Dalai Lama II), Nyanyian Kabir (karya Kabir), dan Hujan Limunan (Unseen Rain: Quatrains of Rumi karya Jalaludin Rumi).

    Karya-karya Jepang klasik dalam bentuk haiku(puisi pendek 17 suku kata), tanka (puisi pendek 31 suku kata), waka(puisi pendek lima baris), dan waki (puisi pendek empat suku kata) juga Iwan terjemahkan.  Sementara karya sastrawan Barat yang diterjemahkan Iwan antara lain Platero dan Sayakarya Juan Ramon Jimenez (pemenang Nobel 1956) dan Soneta-Soneta William Shakespeare

    Meskipun seorang Muslim,  Iwan Nurdaya Djafar menerjemahkan karya Gibran, Shakespeare, dan Dalai Lama yang non-Muslim. “Sebab, agama saya mengajarkan agar manusia tidak melihat siapa yang mengucapkan kebenaran, tetapi lihatlah isi kebenaran itu. Dan saya pikir, Gibran banyak mengajarkan tentang kebenaran dan  cinta. Gibran adalah pelopor reformasi sosial dan humanisme universal,” kata Iwan.

    Iwan lebih tertarik menerjemahkan sastra Timur karena di Indonesia selama ini orang yang mendalami dan menerjemahkan sastra Barat sudah banyak. “Kalau tidak disosialisasikan kepada pembaca, saya khawatir karya-karya Timur nanti bisa ditingalkan. Padahal, karya-karya Timur sangat kaya nilai. Bahkan William Shakespeare pun terilhami karya Timur,” ujar ayah dua anak ini.

    Menurut Iwan, dalam dunia penciptaan karya sastra, Barat dan Timur ternyata saling mempengaruhi. Iwan lalu mencontohkan kenapa di Jerman pada abad ke-19 muncul gerakan ketimuran. Ternyata, kata Iwan, penyair Jerman juga terpengaruh karya penyair tasawuf seperti Kabir (penyair sufi India abad ke-15, 1440--1518).

    “Goethe ternyata juga pernah menulis satu karya berjudul Diwan Timur Barat. Goethe yang nonmuslim ternyata menulis puisi dalam bentuk diwan--satu genre puisi Persia yang sering dipakai para penyair sufi seperti Jalaluddin Rumi dan M. Iqbal. Goethe juga paham benar tarik (penanggalan) Nabi Muhammad. Goethe pernah membuat puisi berjudul Muhamed the Song,” kata Iwan..

    Menjadi penerjemah sastra Timur sekaligus pegawai negeri sipil merupakan tantangan tersendiri bagi Iwan.Apalagi, sejak tiga tahun lalu Iwan bertugas menjadi  kabupaten Lampung Timur, rumah dan keluarganya ada di Bandarlampung.

    Setelah bertugas di Lampung Timur justru banyak waktu bagi Iwan untuk menulis. “Senin sampai Jumat saya berada di Lampung Timur. Siang hari untuk bekerja sebagai pegawai negeri, malamnya saya menulis. Saya punya rumah dinas di Lampung Timur sehingga saya punya banyak waktu juga untuk berkarya, tidak ‘diganggu’ anak-anak dan istri,” ujar kepala bagian Tata Usaha Dinas Pengairan Pemda Kabupaten Lampung Timur ini.

    Iwan Nurdaya Djafar membaca puisi pada sebuah acara kesenian di Lampung. (Ist).
    Iwan mengaku masih punya pekerjaan besar yang harus diselesaikannya. Antara lain menerjemahkan karya-karya sastra klasik Lampung dan menerbitkan anotasi puisi-puisi Ayatullah Khomeini, pemimpin dan tokoh spiritual Iran. Menurut Iwan, karya-karya sastra klasik Lampung juga terancam punah karena umumnya berupa sasta lisan dengan pendokumentasian yang buruk.

    “Bersama Prof. Hilman Hadikusuma, pakar bahasa Lampung, saya sudah menerbitkan Warahan Radin Jambat, yaitu sebuah sastra lisan klasik Lampung. Kalau tidak ada Nyonya Yoshie Yamazaki dari Tsuda College,  Jepang, mungkin karya tersebut tak pernah terbit. Sebab, yang punya naskah justru Yamazaki, bukan orang Lampung atau Indonesia,” ujar Iwan.

    Selain dikenal sebagai penyair dan penerjemah sastra Timur, Iwan Nurdaya Djafar juga seorang birokrat. Sejak beberapa tahun terakhir ia menjabat sebagai pejabat teras di Pemkab Lampung Timur.


    • Blogger Comments
    • Facebook Comments

    0 comments:

    Post a Comment

    Item Reviewed: Iwan Nurdaya Djafar: Penyair, Birokrat, Penyambung Lidah Sastra Timur Rating: 5 Reviewed By: r3nc0n9
    Scroll to Top