728x90 AdSpace

  • Berita Terkini

    Saturday, May 24, 2014

    Kang Wowok dan Politik Rinso

    Oleh Jauhari Zailani*

    ©nefosnews
    WAJAH Kang Wowok berkerut-kerut. Lehernya terasa kaku-kaku, kemeng-kemeng kenceng. Wajahnya tak kalah seru. Dahinya berhias kerut lintang kiri-kanan. Terlihat lipatan yang lain, kerut mengeras tegak dari atas hidungnya, membelah antara kedua mata. Kulit wajahnya berminyak. Mukanya yang cakep bersegi empat tampak menahan lelah. Menahan sakit dari denyut di pelipisnya. Suatu hari ia menggerutu “...ada saja yang kupikirkan, dari harga cabe, sampai soal capres” katanya kepada diri sendiri. Peci hitam yang memahkotai, tak mampu membuatnya melembut.

    Pagi itu, kami duduk di Teras. Sebagai temannya, serba salah. Kepada temanku Wowok yang nampak stress itu, tak ada dapat yang kukatakan. Kata tak cukup mereda ketegangan. Getar-getar bibir, keluarkan senandung lagu riang “Dunia ini panggung sandiwara, semuanya mudah berubah”. Potongan bait yang kudendangkan meniru gaya Ahmad Albar. Kang Wowok melirikku, mendengar lagu yang populer puluhan tahun yang lalu itu. Lagu yang digemarinya juga.

    Sejenak kemudian, kami diam lagi. Kami, Wowok dan aku tercenung. Masing-masing diri ini menelisik dan merenungi bait-bait pada lagu berjudul “Panggung Sandiwara” tersebut. Kini, Wowok sensitif, karena sedang “perform” di atas panggung. Bukan panggung sandiwara yang sesungguhnya, tetapi “panggung politik” di negeri impian. Lakonnya, Wowok dan Joko berebut kekuasaan.

    Peran ini yang membuatnya lelah. Dunia politik dan kekuasaan, Wowok harus dapat mengubah wajah dan peran. Dunia penuh basa-basi, dan kepura-puraan. Pagi hari ini, Wowok bersama temannya bemesraan dengan ulama. Sore harinya ia saksikan temennya itu menjadi sangkaan badan anti ruswah. Kemarin, ia dan “awak kapalnya” harus menampung tumpangan partai rimbun. Padahal penghuni pohon itu, kemarin masih nampak gagah dan bersikukuh tetap menjadi calon presiden. Hari ini, menjelang pagi hari, dia harus puntang-panting cari tumpangan yang mengarah ke istana. Di sana ditolak, disini dipatok. Itulah panggung politik, dunia yang penuh sandiwara. Tidak gratis.

    Di tengah sulitnya memahami makna di balik akting para politisi negeri ini, Kang Wowok teringat sebuah buku, karangan Erving Goffmann. Buku yang dibacanya sambil lalu, ingatkan pada teori dramaturgi. Sungguh, sadar atau tidak, setiap kita selalu melakukan “pertunjukkan” bagi orang lainnya. Setiap hari kita berakting, bertopeng atau tidak. Berganti topeng, berganti peran, sungguh melelahkan. Kali ini, Kang Wowok baru percaya teori itu, ternyata kini aku adalah aktor yang sesungguhnya. Tak hanya, aktor dalam kehidupan sehari-hari. Yang cerita tentang manusia sedih dan bahagia, yang silih berganti.

    Kini, ia menjadi aktor politik. Sesungguhnya, tak cukup menjadi aktor saja, karena peran yang begitu besar. Setiap hari, ia harus bertopeng ria dalam berakting. Setiap hari Kang Wowok harus menjadi sutradara bagi dirinya. Agar selalu  prima “perform” pribadi dan timnya, harus selalu dipelihara dan dijaga kesan “Si Kuat”. Setiap orang adalah aktor kehidupan, dalam sebuah panggung besar bernama dunia. Kali ini, Kang Wowok bukan saja aktor dalam dunia politik. Tetapi sutradara, dan pemilik perusahaannya.

    Kini, Kang Wowok harus melayani orang-orang yang dibencinya. Muka-muka tikus dan monyet, tak segan dan malu di sekitarnya. Susahnya, sandiwara itu tak lagi dapat ditutupi. Dengan enaknya penonton saksikan sandiwara politik, setiap saat setiap hari. Kang Wowok harus meladeni, mulut-mulut jahil “kuli tinta”, sesuatu yang dibencinya, tetapi untuk saat ini amat sangat dibutuhkan. Televisi di mana saja ada. Di rumah, di dalam mobil. Dengan “smartphone”, tontonan itu ada di genggaman. Dunia terus berubah. Teringat masa, ketika orang hendak menikmati panggung sandiwara, harus menunggu musim panen. Tonil, ketoprak, ludrug dan “sandiwara rakyat” tampil menunggu musim “panen”.

    Kini, begitu dekatnya media-media itu dengan Kang Wowok. Ia harus sajikan menu yang kian beragam. Kini, tersadar ia. Menjadi politisi itu, siap menjadi selebritis. Dunia politik, memang mencetak orang dari bukan siapa-siapa, menjadi orang terkenal. Kini, banyak orang yang beredar dari panggung ke panggung seminar. Menjadi pembicara masalah pendidikan, padahal sekolahnya entah bagaimana. Menjadi pembicara kesehatan, padahal tak pernah ke puskesmas. Pokoknya ngomong di depan corong dan kamera.

    Selebritas politik memiliki penggemar dan pembenci sekaligus. Ucapannya di simak, dicatat, disimpan. Catatan kelakuannya, dengan bangga disimpan oleh pengagumnya. Tetapi juga oleh musuh-musuhnya. Politisi sekelas Kang Amin, tentu saja ucapan dan kelakuannya disimak, disimpan dan dipelajari. Musim panen berselang, Kang Amin mencak-mencak dengan Kang Sutris. Gara-gara Kang Sutris bertandang ke rumah Kang Wowok. Kang Amin gusar. Kang Sutris pun memilih bebas dan melepas jaket.

    Dasar politik. Benci dan cinta, beda tipis. Setipis kulit bawang. Kini dalam musim panen 2014, Kang Amin yang rajin bertandang ke rumah Kang Wowok. Dalam taraf tertentu, Kang Amin bertindak sebagai benteng, alias “satpam” moral. Ia memberi peringatan “...jangan lagi ungkit-ungkit masa lalu Kang Wowok”. Itulah politisi. Sekaliber Kang Amin seenak jidatnya bermanuver. Kang Amin pasti memiliki alasan yang kuat untuk mengubah dari pembenci menjadi pengagum. Tapi membingungkan dan meresahkan pengagumnya.

    ***

    Pagi ini, masih di tempat tidur, Wowok pencet “klik” di “tuts” di “smartphone”. Sebagai politisi, ucapan dan tindakannya ditafsirkan dan dimaknai tak lepas dari motif politik. Bisik pada dirinya “mampus lo, gue kerjain”. Tahun lalu, ia ingat saat Kang Amin gencar menyerang Kang Joko “ Bagi kalian, dia hebat. Tapi, maaf dia gagal. Prestasinya di kota Bengawan, lebih karena wakilnya.”

    Mengingatnya, Kang Wowok tersenyum, meredakan regang kulit wajahnya. Serangan Kang Amin, kian sistematis sejak kang Joko dipopulerkan sebagai calon Raja. Ini kata-kata ajaib dari kang Amin, yang disenangi Kang Wowok dan pengikutnya. Kata Kang Amin “jangan memilih Raja, hanya karena populer. Nanti seperti Bintang film yang menjadi presiden. Kisah negeri tetangga, yang oleh people power pada 2001 dipaksa lengser dari kursi Kerajaan.


    Dan, kini Wowok berdecak kagum. Kang Amin telah dalam dekapanya. Partai Gergaji, merasa di dholimi oleh penyepakat perjanjian “Batu Tulis”. Kecewa berat. Kini terhibur dengan bukan saja oleh Kang Amin. Tetapi Amin dengan gerbongnya. Kini, Kang Amin masuk jebakan, sedang menjalankan politik Laundry, dengan “rinso” ditangannya, Kng Amin siap menjadi “pencuci” dosa-dosa. Ah, politik.

    * Dr. Jauhari Zailani, dosen Universitas Muhammadiyah Lampung (UML)
    • Blogger Comments
    • Facebook Comments

    0 comments:

    Post a Comment

    Item Reviewed: Kang Wowok dan Politik Rinso Rating: 5 Reviewed By: r3nc0n9
    Scroll to Top