728x90 AdSpace

  • Berita Terkini

    Tuesday, May 20, 2014

    Jokowi, Revolusi Mental, dan Strategi Kebudayaan*

    Oleh Satrio Arismunandar*

    Sungguh menyegarkan, mengetahui bahwa di antara sekian bakal calon presiden yang namanya disebut-sebut di media, ternyata ada juga yang memiliki perhatian khusus pada soal-soal besar kebudayaan. Inilah kesan pertama saya terhadap tulisan Joko Widodo (Jokowi), calon presiden dari PDI Perjuangan, di harian Kompas (Sabtu, 10 Mei 2014). Artikelnya yang berjudul Revolusi Mental itu merupakan uraian yang lebih sistematis dari cetusan pernyataannya di media massa beberapa waktu lalu.

    Tulisan Jokowi pada intinya ingin menjelaskan, mengapa meski Indonesia sudah 16 tahun melakukan reformasi sejak berhentinya pemerintahan Presiden Soeharto pada Mei 1998, nyatanya kegalauan, keresahan, bahkan kemarahan rakyat tetap terasa. Kebebasan politik dan berekspresi, pertumbuhan ekonomi yang tinggi, dan tersedianya berbagai sarana demokrasi -seperti Pemilihan Umum yang diadakan secara rutin setiap 5 tahun- ternyata gagal menjawab persoalan-persoalan mendasar yang dihadapi bangsa ini.

    Menurut Jokowi, hal itu terjadi karena reformasi yang dilakukan belum bersifat menyeluruh, yakni hanya sebatas perombakan yang sifatnya institusional. Ia belum menyentuh paradigma, mindset, atau budaya politik kita dalam rangka pembangunan bangsa (nation building). Padahal inti pembangunan adalah pada perombakan manusianya dan sifat mereka yang menjalankan sistem ini.

    Karena pembenahan itu tidak mencakup perubahan manusianya, maka berbagai tradisi atau budaya yang tumbuh dan berkembang di era rezim Orde Baru tetap bertahan sampai sekarang. Seperti budaya korupsi, intoleransi terhadap perbedaan, kecenderungan melakukan kekerasan dalam memecahkan masalah, pelecehan hukum, sikap mau enaknya sendiri, dan sifat oportunistik. Maka reformasi yang cuma menyentuh kulit permukaan ini tidak akan sanggup membawa bangsa kita untuk mencapai cita-cita proklamasi.

    Sebagai jalan keluarnya dan langkah korektif, Jokowi menyarankan perlunya dilakukan revolusi mental. Penggunaan istilah “revolusi” ini tidak berlebihan, sebab Indonesia memang memerlukan terobosan budaya politik untuk memberantas setuntas-tuntasnya segala praktik buruk, yang sudah sekian lama dibiarkan merajalela dari era Orde Baru.

    Perubahan Sikap Mental

    Menanggapi tulisan Jokowi, pertama perlu dinyatakan bahwa gagasan Jokowi sebenarnya tidaklah benar-benar baru. Beberapa pemikir sudah menyatakan ide yang pada dasarnya serupa. Jokowi sendiri memang tidak mengklaim pemikirannya sebagai ide orisinal. Namun, pemikiran Jokowi, yang diakuinya lebih berangkat dari hasil pengamatan dan pengalaman pribadi selama ini, patut kita apresiasi.

    Hal ini karena Jokowi seperti telah mengingatkan kita kembali bahwa persoalan krusial yang dihadapi bangsa ini sebetulnya adalah soal kebudayaan dalam arti luas. Jadi, bukan kebudayaan dalam arti yang direduksi, yang secara gampangan sering diterjemahkan sekadar sebagai keris, batik, seni ukir, tari-tarian daerah, dan atraksi seni pertunjukan, yang dikomodifikasikan untuk industri pariwisata.

    Ada ratusan definisi tentang kebudayaan. Namun, untuk menyederhanakan, kita kutip pendapat Koentjaraningrat (2003), yang menyarankan agar kebudayaan dibeda-bedakan sesuai dengan empat wujudnya. Wujud kebudayaan, mulai dari tampilan luar yang paling mudah dilihat, ke pusat atau inti yang paling dalam, berturut-turut adalah sebagai berikut: artifacts atau benda-benda fisik, sistem tingkah laku dan tindakan yang berpola, sistem gagasan, dan sistem gagasan yang ideologis.

    Bagaimana peran kebudayaan, yang menyangkut aspek mentalitas manusia dalam pembangunan nasional? Untuk itu, saya mengutip pemikir masalah pembangunan, Myron Weiner. Ia menegaskan: “Pembangunan menuntut perubahan sikap mental manusia, yang selain merupakan sarana untuk mencapai tujuan-tujuan pembangunan, ia juga merupakan tujuan utama dari pembangunan itu sendiri.”

    Oleh karena itu, jelas bahwa kegagalan gerakan reformasi dalam membawa perubahan yang signifikan bagi kemajuan Indonesia disebabkan karena gerakan itu belum menyentuh aspek yang mendasar, yaitu sikap mental dari manusianya sendiri. Aspek manusia sering diperlakukan lebih sebagai penunjang atau aspek pinggiran (periferal), dalam mengejar tujuan-tujuan pembangunan yang dianggap “lebih besar” atau “lebih penting.” Tujuan yang diagung-agungkan itu adalah pertumbuhan ekonomi, atau lebih tepatnya, pertumbuhan ekonomi yang memusat pada kelompok kecil tertentu, yang seringkali juga mengabaikan aspek pemerataan.

    Jokowi menunjukkan bahwa upaya merombak budaya korupsi, misalnya, yang merupakan sistem tingkah laku dan tindakan yang berpola dalam kebudayaan, harus dilakukan lewat revolusi mental. Maka berdasarkan konsep Koentjaraningrat, hal ini berarti, kita masuk lebih dalam ke inti kebudayaan, yaitu sistem gagasan dan sistem gagasan yang ideologis. Implikasinya, pernyataan sejumlah kalangan bahwa sekarang ini masalah ideologi (baca: ideologi Pancasila) sudah tidak relevan lagi dibicarakan atau dijadikan acuan, jelas-jelas keliru.

    Orientasi Pada Masa Depan

    Justru sistem gagasan yang ideologis, kini menjadi salah satu wahana kebudayaan terpenting untuk melakukan perubahan besar bagi pembangunan bangsa. Upaya pemberantasan korupsi tidak akan bisa dituntaskan hanya dengan mengandalkan institusi KPK atau lembaga-lembaga penegakan hukum yang sudah ada (kejaksaan, kehakiman, atau kepolisian). Untuk bisa berhasil, pemberantasan korupsi itu juga harus diperjuangkan dalam perspektif strategi kebudayaan. Itulah penerjemahan dari ide “revolusi mental” yang dicetuskan Jokowi.

    Strategi kebudayaan yang bagaimana? Di sini saya akan meminjam konsep strategi kebudayaan Van Peursen (1988). Van Peursen menyarankan cara mendekati kebudayaan yang tidak lagi terpaku pada definisi-definisi teoretis, yang sudah begitu banyak. Pertanyaannya sekarang bukan lagi tentang apakah gerangan kebudayaan itu, melainkan apa yang dapat kita perbuat dengan kebudayaan. Filsafat kebudayaan modern meninjau kebudayaan terutama dari sudut policy tertentu, sebagai suatu strategi kebudayaan atau masterplan bagi masa depan.
    Jadi, filsafat kebudayaan bukan lagi sekadar aktivitas teoretis, namun ia adalah alat atau sarana yang membantu kita merumuskan suatu strategi kebudayaan untuk hari depan. Manusia Indonesia modern hendaknya disadarkan tentang kebudayaannya, dan hal ini berarti ia secara aktif diharapkan turut memikirkan dan merencanakan arah, yang akan ditempuh oleh kebudayaan yang manusiawi.

    Kini kebudayaan dipandang sebagai sesuatu yang lebih dinamis, bukan sesuatu yang kaku atau statis. “Kebudayaan” bukan lagi kata benda tetapi lebih sebagai kata kerja, dan terutama dihubungkan dengan kegiatan manusia. Termasuk di dalamnya, adalah upaya pemberantasan korupsi dan upaya mewujudkan demokrasi yang substansial di negeri ini.

    Van Peursen mengakui, kebudayaan juga termasuk tradisi, dan “tradisi” dapat diterjemahkan sebagai pewarisan atau penerusan norma-norma, adat istiadat, atau kaidah-kaidah dari masa lalu. Namun, tradisi itu bukanlah sesuatu yang tidak dapat diubah. Tradisi justru diperpadukan dengan aneka ragam perbuatan manusia. Manusia membuat sesuatu dengan tradisi itu: ia bisa menerimanya, menolaknya, atau mengubahnya. Itulah sebabnya mengapa kebudayaan merupakan cerita tentang perubahan-perubahan.

    Jadi, di sinilah kata kuncinya. Revolusi mental yang dicanangkan Jokowi harus ditempatkan sebagai bagian dari strategi kebudayaan kita. Strategi kebudayaan itu memposisikan kebudayaan sebagai suatu yang dinamis, yang tidak sekadar menerima dan mewarisi tradisi masa lalu, namun ia bisa menolak, bahkan mengubahnya. Dengan demikian, strategi kebudayaan kita memilih untuk berorientasi ke masa depan, dengan penekanan pada semangat perubahan untuk membentuk Indonesia yang lebih baik.

    * Tulisan ini juga dimuat di www.nefosnews.com

    **Satrio Arismunandar, mahasiswa Program S3 Departemen Ilmu Filsafat, FIB-UI. 


    • Blogger Comments
    • Facebook Comments

    0 comments:

    Post a Comment

    Item Reviewed: Jokowi, Revolusi Mental, dan Strategi Kebudayaan* Rating: 5 Reviewed By: r3nc0n9
    Scroll to Top