728x90 AdSpace

  • Berita Terkini

    Saturday, May 24, 2014

    Canon Printer Bikin 'Writer' Makin Pinter

    Adian Saputra*

    Dalam dunia tulis-menulis, ketelitian itu penting. Karya yang paripurna adalah karya yang–dalam bahasa saya–khusnul khatimah. Katakanlah dalam sebuah artikel yang dikirim ke media massa, diupayakan tidak ada kesalahan sama sekali. Selain koherensi antarparagraf, nol kesalahan dalam penulisan juga utama. Dengan kata lain, jangan sampai ada kesalahan ketik dalam artikel yang dikirim. Termasuk artikel yang diunggah ke Kompasiana ini.

    Kita tentu senang membaca sebuah artikel yang minim kesalahan. Akan tetapi, jika dalam sebuah opini ada banyak kesalahan ketik, tentu mengganggu. Dalam ranah penulisan buku, hal yang sama juga berlaku. Intinya, si penulis mesti menyunting semaksimal mungkin karya yang dibikin. Mengedit tulisan, dalam hal ini adalah kemestian. Namun, praktik di lapangan tidak mudah. Kita mesti punya perangkat teknis agar cita-cita menghasilkan tulisan yang bersih bisa terwujud.
    Satu kebiasaan yang masih saya lakukan sampai dengan sekarang ialah mencetak naskah sebelum dieksekusi. Misalnya, ketika menulis naskah buku, saya mengedit dua kali. Satu kali saya lakukan di komputer, satu kali saya periksa naskahnya. Kadang, saat memeriksa sebuah naskah di komputer, ada saja satu dua kata yang tersilap. Ada saja kalimat yang rancu. Atau ada alinea yang tidak koheren dengan kalimat lainnya.

    Menyunting di layar komputer itu melelahkan. Kadang menjemukan. Apalagi jika masih ada beberapa kalimat yang tidak logis. Akhirnya, menyunting bukan sekadar membenahi tanda baca, penggunaan huruf kecil dan besar, melainkan memperbaiki konstruksi bahasa. Ini yang repot. Apalagi, mengedit tulisan sendiri, berbeda dengan menyunting tulisan orang lain. Kita sulit untuk melakukan pembenahan karena merasa sayang dengan tulisan. Kita tidak tega memangkas tulisan sendiri. Ada rasa sungkan melakukan perbaikan. Sungkan mungkin masih bisa dilawan. Namun, jika yang muncul adalah kemalasan, itu tentu lebih parah. Maka itu, menyunting tulisan dengan membaca edisi cetaknya bisa meminimalkan kesalahan. Terlebih jika naskah yang kita hasilkan jumlahnya relatif banyak. Misalnya, seratusan halaman.

    Nah, andai penyuntingan via cetak ini yang akan kita lakukan, tentu kita butuh printer yang mampu untuk itu. Kita butuh printer yang harganya terjangkau dan ekonomis. Dengan harga yang tidak terlalu tinggi, kita bisa mendapatkan fasilitas yang berkualitas. Termasuk sebuah mesin pencetak yang punya fungsi lainnya.

    Sejilid naskah saya terima beberapa pekan lalu. Isinya sebuah draf buku. Tebalnya minta ampun. Seratusan halaman, nyaris dua ratus halaman. Saya diminta menyunting buku tersebut. Si empunya naskah minta saya merampungkan penyuntingan itu dalam dua pekan. Saya menyanggupi. Pekan lalu, penyuntingan naskah via komputer sudah kelar. Namun, saya tak puas. Saya yakin, pasti masih ada bahan yang belum seutuhnya selesai. Saya kudu melihatnya dalam format tercetak.

    Persoalannya, bagaimana cara saya untuk bisa mencetak naskah itu. Dulu-dulu, saya dengan mudah pergi ke rental komputer. Tapi, kini, keberadaan usaha itu makin minim. Yang jelas saya butuhprinter. Untuk meminjam printer kawan, sebetulnya bisa saja. Namun, ke depan, pekerjaan menjadi editor independen ini bakalan makin sering. Belum lagi jika ada proyek penulisan pribadi. Kebutuhan terhadap printer menjadi urgen. Maka, pilihan kepada Pixma E400 ini bukanlah sebuah kebetulan. Ia terpilih secara sadar lantaran harga yang cocok dengan kapasitas kantong keluarga ekonomi menengah Indonesia.

    Sebelum menguji Pixma E400 ini dengan seratusan lembar naskah yang mesti saya sunting, mesin pencetak ini sudah terbukti lumayan bekerja. Setidaknya, pembaca bisa membaca tulisan awal saya soal produk besutan Canon ini di tulisan pertama. Seperti pengalaman pertama mencetak naskah, seratusan naskah buku ini tak ada kendala apa pun saat diproduksi. Namun, supaya setiap lembaran terjamin tercetak dengan baik, hanya 25 halaman saya masukkan setiap sesinya.

    Dengan kemampuan mencetak naskah delapan lembar per detik, mem-print naskah buku ini tak butuh waktu lama. Memuaskan. Demikian pengalaman menggunakan printer ini. Sebuah kata yang sederhana, dengan segenap makna yang termaktub di dalamnya. Setiap huruf yang tercetak sangat jelas. Gradasinya terbaca paripurna. Titik dan koma, sebagai penanda baca, juga terbaca dengan oke. Dibandingkan dengan hasil cetakan printer lainnya, output Pixma E400 ini pilih tanding juga. Sama sekali tidak mengecewakan.

    Untuk ukuran penulis dan editor yang baru memulai jalan memilih ranah ini sebagai sumber kehidupan, printer ini amat cocok. Ia amat membantu dalam pekerjaan. Tak ada kertas yang rabun terbaca. Tidak ada huruf yang terselip tak tercetak dengan baik. Konsep penebalan huruf, termasuk huruf tebal dalam kondisi tercetak miring pun, sesuai dengan kata hati. Maknanya, hasil cetakan huruf tebal dan miring, pas dengan apa yang diinginkan. 

    Karena ini pekerjaan menyunting, si empunya naskah, bila naskah khusnul khatimah, pasti ingin melihat dan membaca. Apakah hasil pekerjaan saya dalam menyunting ini sesuai dengan keinginan yang bersangkutan. Apakah masih ada bagian yang kudu diperbaiki atau tidak. Ringkasnya, urusan mengedit ini sangat terbantu sekali.

    Saya memang terbiasa mencetak naskah terlebih dahulu ketimbang menyerahkannya kepada penulis. Begitu pula jika posisi saya sebagai penulis, mesti mem-print naskah sebelum diserahkan atau dikirim. Baik itu naskah buku maupun artikel yang hendak dikirim. Hanya untuk keperluan posting di blog saja yang aktivitas ini sedikit saya abaikan. Namun, begitu Pixma E400 ini ada di meja kerja, kebiasaan bain ini saya teruskan. Saya menganggap, pembaca atau bloger di media sosial, Kompasiana, atau blog lainnya juga perlu membaca naskah yang paripurna. Kalau saya sangat teliti untuk urussn menyunting karya orang lain, semestinya hal yang sama saya lakukan untuk karya yang akan diunggah di blog.

    Saya tidak ingin ada stigma bahwa karya di blog diposting seadanya, tapi untuk karya yang dibayar diperhatikan sungguh-sungguh. Di titik inilah urgensi sebuah Pixma E400 ini menemukan momentumnya. Mungkin banyak yang bilang, buat apa sih susah-susah mesti mencetak kertas dan membaca naskahnya untuk disunting. Bukankah mengedit langsung pada layar komputer sudah lebih dari cukup. Bukankah dengan mencetak naskah kita membutuhkan kertas lebih banyak dan tidak ekonomis. Bahkan, boleh jadi, beberapa penggiat lingkungan menganggap ini mubazir karena membutuhkan kertas lebih banyak yang merupakan wujud tidak go green. Namun, sebagai pekerja yang ingin berlaku profesional, pilihan ini tetap saya gunakan.

    Beberapa teman memang geleng-geleng kepala kalau saya sedang memberi tanda berupa arsiran stabilo pada beberapa kata atau kalimat yang saya anggap mesti diperbaiki. Tapi beberapa teman lain sudah mahfum kalau itu memang kebiasaan saya sejak lama. Ada keasyikan tersendiri jika membolak-balik kertas sambil membaca. Sesekali memberikan coretan untuk huruf yang masih salah atau tanda baca yang keliru. Keasyikan secara manual inilah yang tidak saya temukan jika mengedit di komputer. Memang sih, kadang masih ada satu dua kata yang tercetak keliru. Ada tanda baca yang kurang tepat.

    Namun, ini masih lumayan jika saya sekadar mengandalkan bekerja di layar komputer. Bukankah bekerja itu, jika disertai perasaan nyaman, akan memberikan hasil yang maksimal? Dan model kerja seperti ini, menikmati membaca naskah hasil produksi Pixma E400, adalah sebuah pilihan yang entah kapan bisa saya tinggalkan. Ada sebuah ekstasi, keasyikan, kenyamanan, dan suasana klasik ketika bekerja model ini. Perbandingan hiperbolanya mungkin dengan Pramudya Ananta Toer yang konon asyik mengetik dengan mesin tik ketimbang menulis via komputer. Keasyikan yang sama yang barangkali dialami pendiri Kompas Jakob Oetama saat menulis tajuk rencana dengan mesin tim Remington kesukaannya ketimbang mengetik dengan komputer.

    Usai menandai banyak naskah dengan stabilo, kerja berikutnya ialah memperbaiki naskah di komputer. Kini, pekerjaan makin gampang. Saya tinggal memperbaiki naskah sesuai dengan hasil coretan tadi. Ada banyak juga yang mesti diperbaiki. Padahal saat mengedit via komputer, kesalahan-kesalahan tadi tidak ditemukan. Inilah keuntungan jika melihat hasil kerja dengan kondisi tercetak. Mengedit dengan membaca naskah tercetak lebih baik ketimbang secara virtual.

    Setelah yakin bahwa semua naskah telah diperbaiki, pekerjaan berikutnya ialah mencetak naskah lagi. Tentu harapannya tidak ada kesalahan yang betul-betul elementer. Andaipun saat diperiksa si penulis masih ditemukan kesalahan, saya yakin hanya sedikit. Mungkin tinggal dua atau tiga diksi. Maka, Pixma E400 pun kembali bekerja. Masih dengan teknik yang sama, saya memasukkan kertas 25 lembar setiap sesi mencetak. Usai 25 kertas tercetak sempurna, masuk lagi 25 lembar lainnya. Demikian seterusnya sampai seratusan naskah ini siap saji. Waktu pun sama. Cukup sebentar. Usai kerja editing ini kelar, tak mesti saya baca lagi hasilnya. Tinggal dijilid dan besoknya diserahkan kepada si empunya tulisan. Karena sudah janjian, saya hanya menyerahkan saja hasilprint out naskah ini kepada penulisnya. “Boleh juga nih hasil print out-nya,” kata Maya, si penulis yang naskahnya selama sepekan saya sunting. Saya tersenyum.

    “Printer baru keluaran Canon tuh yang ngerjain. Pixma E400,” ujar saya. Lantaran sejak awal penulisan saya memandu si penulis, hasil editing ini pun tak banyak perbaikan. Ia hanya minta beberapa kalimat dalam beberapa bab dipangkas karena berpengaruh pada harga ketika dibikin buku. Ia mau bukunya lebih ramping dan tipis. Saya mengiyakan. Nyaris tidak ada perbaikan dalam hal kata atau kalimat yang saya kerjakan. Ia rupanya puas dengan hasil kerja saya itu. Dan sedikit banyak, Pixma E400 punya andil di dalamnya.

    Jika di atas adalah pengalaman saya menyunting naskah buku dengan bantuan Pixma E400, adanyaprinter anyar keluaran Canon ini mendorong saya mencetak beberapa naskah buku atau fiksi karya pribadi. Jauh sebelum printer ini datang, saya memiliki sebuah novel yang belum diterbitkan. Saya pun bukan tipikal orang yang “ambisius” untuk segera menerbitkan sebuah karya fiksi. Saya sadar, sebagai penulis baru di ranah ini, ada beberapa tahapan yang mesti saya kerjakan. Titik kulminasi dalam dunia menulis akan tercapai jika proses itu dilalui. Naskah novel itu sebelumnya pernah satu dua kali saya tawarkan kepada penerbit mayor label. Alhamdulillah, belum ada yang kesengsem dengan karya itu.

    Naskah saya dinilai masih mentah untuk sebuah karya fiksi berupa novel. Tulisan saya masih dianggap dangkal dan belum nyastra, seperti keinginan penerbit. Terhadap kritik dan masukan itu, saya terima dengan lapang dada. Dua tahun belakangan, beberapa teman di Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Bandar Lampung menaja sebuah penerbitan indie. Namanya Indepth Publishing. Ini ikhtiar beberapa teman agar dunia literasi di Lampung menggeliat. Selama ini, penulis potensial di Lampung terkendala menembus meja redaksi penerbit arus utama, khususnya di Jakarta dan Yogyakarta. Padahal, kemampuan mereka lumayan. Selain itu, mereka juga punya pangsa pasar yang potensial. Setidaknya, di Lampung.

    Dengan melihat ceruk yang potensial semacam itu, Indepth kemudian didirikan untuk mengakomodasi keinginan penulis dan calon penulis dari Lampung untuk melahirkan karya. Dan, alhamdulillah, respons cukup baik. Sampai dua tahun sejak dioperasikan dua tahun lalu, jumlah buku yang dihasilkan nyaris seratus buah. Tempo Inggris edisi minggu ini bahkan menjadikan fenomena Indepth Publishing dan geliat literasi di Lampung sebagai salah satu laporannya.

    Kembali ke saya. Lantaran itu pula, naskah novel yang sempat tersimpan lama di file komputer saya buka lagi. Saya berniat menerbitkan karya itu secara indie. Pengalaman buku perdana dan kedua,Menulis dengan Telinga dan Menjaga Nama Baik, yang direspons baik oleh pembaca, meneguhkan keinginan untuk menerbitkan karya fiksi itu. Judulnya berganti dari awal naskah disusun. Sebagai sebuah naskah yang lama tak dibuka, tentu perlu ada revisi di beberapa bagian. Maka itu, naskah perlu segera diamendemen.

    Namun, mengedit naskah di komputer setelah berbilang tahun tidak disentuh, ternyata butuh perjuangan. Akhirnya, trik manual dipakai. Naskah yang tersimpan itu kemudian saya cetak. Tentu Pixma E400 yang akan membantu saya mencetak naskah seratusan halaman itu. Dan seperti pengalaman sebelumnya, tak ada kendala dalam proses mencetak. Pixma E400 masih digdaya untuk mencetak. Jika dihitung sejak pertama kali digunakan beberapa pekan lalu, tinta dalamcartridge-nya masih cukup untuk menghasilkan seratusan halaman berisi naskah novel.

    Sama seperti pengalaman mencetak sebelumnya, saya juga membagi kertas ke dalam empat sesi. Setiap sesi, saya bagi ke dalam 25 sampai 30 kertas sehingga hasilnya optimal. Kini, pekerjaan berikutnya adalah menyunting sendiri naskah milik pribadi ini. Dan karena ranahnya fiksi, durasi yang dibutuhkan cukup memakan waktu. Tidak seringkas mengedit naskah buku milik penulis lain atau sekadar artikel yang hendak naik siar di media cetak. Maka, hingga tulisan ini diposting di Kompasiana, proses penyuntingan masih berlangsung. Dan andai hasil revisi novel pribadi ini hendak dicetak lagi, Pixma E400 dengan cartridge hitamnya tetap siaga. Dan lantaran kisaran kekuatan mencetak sampai 400 halaman, barangkali inilah sesi terakhir cartridge itu bekerja. Usai ia mencetak hasil revisi novel ini, saya mesti mengisinya dengan yang baru. Harganya? Terjangkau sekali kok, kurang dari Rp90 ribu. Bayangkan, dengan duit sehemat itu, kita bisa mencetak naskah 400-an lembar.

    Jadi, buat kita, para bloger, yang sedang meniti karier menulis, Canon Printer ini memang bikin kita tambah pinterPinter karena karya yang kita buat bisa dievaluasi semaksimal mungkin. Model membaca dan menyunting naskah tercetak, meminimalkan kesalahan dalam naskah. Koherensi antarparagraf juga bisa ditata lebih baik. Dan yang jelas, hasil tulisan dan editing yang kita lakukan insya Allah lebih baik. Canon Printer Pixma E400 ini, buat saya, semakin membuat pinter. Semoga demikian pula dengan Anda. Wallahualam bissawab.

    *Adian Saputra, jurnalis dan penulis buku. Tulisan ini juga dimuat di kompasianacom
    • Blogger Comments
    • Facebook Comments

    0 comments:

    Post a Comment

    Item Reviewed: Canon Printer Bikin 'Writer' Makin Pinter Rating: 5 Reviewed By: r3nc0n9
    Scroll to Top