728x90 AdSpace

  • Berita Terkini

    Saturday, May 3, 2014

    Puisi Ahmad Yulden Erwin

    PERAWI REMPAH

    1

    Minggu  pagi  menggigil  di sayap  burung  undan, seperti ratusan
    minggu pagi  lainnya, menyusun  sesatu  kenangan. Kau mencari
    beberapa  onggok pulau  di  Timur dengan wangi  cengkih  tertiup
    angin  muson, dan  kelasi itu  berteriak,  ‘Surga telah  ditemukan!’

    Ketika itu  di anjungan, kau  nampak berdiri menatap  selengkung
    ombak biru, setapak  jejak  sepatu mengutuk layar  kapalmu;  kini
    kaubayangkan putri duyung  berbau  pala  di  ranjang  kabut pagi,
    kaubayangkan  lidah jahe  menjilat  ususmu.  Saat  itu angin mati,

    separuh  kelasi  lapar  dihajar  kudis.  'Bunuh saja aku!’ gerutumu.
    Lalu   kaukenang  janjimu, atau  mimpi  buruk itu:  berkarung  lada
    dan kapulaga bagi tumbung gurita raksasa saat  kembali, delapan
    tentakelnya   membelit  sepeti  koin  emas, tentu  saja bajingan itu 

    keranjingan menuntut  balas andai tiada kautebus  amis mulutnya
    dengan  kayu  manis, plus bebiji lada, dari  ladang rahasia. Maka,
    demi berkah Yesua, kauburu rempah sepanjang bandar antik dan
    teluk  Afrika:  ‘Meski  badai  mendampar  kami  ke tengah pasifik.’

    ‘Surga  telah  dihamparkan!’  kelasi itu  kembali  berteriak, ombak
    mencium wangi  tangkai  cengkih  di puting  pelangi. Kau  terjaga.
    Bagai tak percaya  kaugosok  kedua  matamu  di bawah alis pagi:
    Yesua telah  berbaring nudis di pantai sunyi. ‘Haleluya!’ Alangkah

    bahagia: kau  tengah menapak di pasir  pantainya. Tentulah wajar
    bila  kaupungut  bebulir hitam  terserak di sana, surga akan selalu
    berlimpah. Pantaslah  tamak-tamak  kauisi palka kapalmu dengan
    bebiji  rempah.  Beginilah  hikayat  Nusa Moloku  sebelum dijarah.


    2

    Sesayat mimpi  bersama  irisan daging kering, kutu dan belatung
    pasti  lebih  dulu menyantapnya, begitu  sarapan bagi para kelasi
    hingga  makan siang  dan  makan malam mereka; sesayat mimpi
    demi  setimbun  rempah  eksotis  di pulau  tropika. Mereka bukan

    awak perompak  Selat  Malaka, mereka  lanun  penggila  misteri,
    juru selamat  kaum kafir  dari ketel neraka.  Tiada gentar mereka,
    sebab wahyu  telah  mekar di ladang  nyali  musim  dingin Eropa,
    sebab tukak dihangati lada, sebab  tafsir tertera dalam sabdanya:

    Setiap sebiji rempah kaurampas di tanah ini akan menjelma doa,
    sebab  misi  sempurna, resah  tiada, kaulah wakil kerajaan Bapa.
    Di  pantai itu  kau berdoa:  ‘Undanglah kami, O Yesua,  mencicipi
    lezatnya gurita,  beraroma rempah, semeja-hidang  Ratu Sheba.’

    Fakta cogito akhirnya, bukanlah Yesua undang kalian, melainkan
    diseret  tentara  Sultan:  ‘Kalian  babi  bulai pencuri  pala petani!’
    Randai beriring  mereka  digiring  ke halaman  istana; menanting
    aneka  piring,  panci,  kuali dan peralatan makan lainnya –– juga

    kompas  juru  peta,  juga  Kidung  Cinta Salomo  penakluk dunia: 
    kuasa gaharu  di hidung  surga.  ‘Kenapa Tuan Nakhoda  curi itu
    bebiji  pala?’  murka  Sultan Boalief.  ‘Sebab  di sini tanah Yesua,
    segala bole  dipungut  seturut  kami suka,’ singut Tuan Nakhoda,

    sejenak  kecut,  ditatapnya  merah  jambul   kasuari di pici Sultan
    dandan Persia.  ‘Di Nusa Tarnate  orang  bole  ambil segala suka,
    andailah  bisa  Tuan  ganti  kami  punya!’  Ciutlah  nyali  nakhoda,
    bekal segala habis di Sunda Kelapa, hanya jubah lusuh dan zirah

    besi miliknya semata. Cemas oleh gagal akan misinya, pias akan
    cekik delapan  tentakel gurita, ia letakkan sarung  belati dan kitab
    suci di  duli kaki  sultan Tarnate,  ‘Habis  kini  harta  tersisa.’ Haru
    sebab  siasah begini, setengah tertawa, sultan berbagi jatah pala.


    3

    Mereka  membangun  benteng  kecil  di  tengah  padang   ilalang,
    sebelum  kaum kafir  itu  mengayunkan  pedang,  sebelum  tarian 
    bumbung hantu dikepung tabun perang. Cuaca melesit langit biru
    jadi kelabu, disorot gahar  sebiji mata kucing lapar. Dagumu naik,

    sedikit bergetar, lekas  meracau  kalimat  jemu, ‘Salju tak laik ada
    di lekang pulau tropika.’  Kecuali  batu dan  kepulan debu, musim
    kemarau menyulut pasukan Tidore  membakar  benteng  kecilmu,
    melampuskan  segenap harapmu; begitulah kauputuskan segera

    menikahi gadis  coklat itu, pentil  sepasang teteknya berbau pala.
    Jadi, diam-diam  kautakik   tradisi  membenci, melawan nasibmu
    sembari berburu babi, begitu  jelas taktik  paling minim, sebelum
    fajar kaukirim sepucuk surat itu, sebelum  datang  penjarah baru

    melocok  senapan dengan mesiu. Terayun  dari  moncong buaya
    ke taring singa, begini nasibmu terbantun dikutuk aroma rempah
    serupa kemaruk busuk mulut gurita. Tiada Yesua di pantai surga,
    tiada Bapa, kecuali  sepasang  beruk  keling memanjat sebatang

    pohon cockyane tumbuh subur di ranah mimpimu, mereka kawin
    dan berpinak di sana, merekalah moyang segala penjarah terkeji 
    di  muka  bumi,  pelahir  jadah-jadah  sinting  sejarah, penghasut
    jenial cacing-cacing  pita  penafsir vagina-kedamaian paling suci.

    ‘Jadi begini  saat  paling  tepat buat pembalasan, bukan?’ Begitu
    kaucatat  dalam  suratmu  ke Lisbon, usai  perjanjian  paling oon 
    membelah bumi semata milik dua kerajaan –– seekor paus putih
    resmi melontarkan restu  dari moncongnya menganga kelaparan

    melahap aneka plankton dan ubur-ubur, plus ganggang beracun.
    Teritip di lambung kapalmu makin mengganas, kau tak berharap
    bisa kembali, jadi  kauputuskan  wajib menjarah dan membantai
    sepulau  penduduk  surga ini, meski Yesua mesti disalib dua kali. 

    Catatan:
    1. Cogito: aku berpikir; prinsip filsafat Descartes. 
    2. Bole: boleh.
    3. Oon: dungu.
    4. Gahar: garang.





    KITAB BAKTERI 

    Hei, manusia, tanpa  bakteri: engkau
                        hanyalah atom, buih api yang terkunci
    di balon semesta. Tanpa bakteri: kita

                    cuma  karbon, tanah hitam  tempat naga
    hitam menetaskan telur hitamnya.
                    Beberapa bakteri  adalah anarkhis sejati,

    mereka muak dengan episteme kursi,
                  benci sapu kotor, mereka asyik main band
    di serpihan meteor, di sanalah  Manu

                   memandikan testisnya  dengan  air mata.
    Sebagian bakteri itu aktivis ultra kiri,
                   jadi patogen, namun tergesa menginfeksi

    mimpi-mimpi  antitesa  di usus matahari.
                       Beberapa bakteri bagai mistikus bulan,
    dengan flagela menari di danau air mata,

                  mendadak jadi parasit di tumit pemujanya.
    Tapi, ada banyak juga bakteri liberal,
                  gagal menyangkal asumsi di bibir siluman:

    memakan atau dimakan, itu bukan Tuhan.
                    Seluruh bakteri telah usai membelah diri.
    Tibalah  waktunya  trans-hagemoni.  Kini,

                     setiap bakteri cuma the game of binary.
    Tugas bakteri bukan lagi berpikir, bukan
                     menafsir.  Bakteri  itulah  kitab  terakhir.

    Bakteri itu  mata yang melihat  segalanya.
                     Bakteri itulah testamen yang menjelma.
    O, Putra, bakteri itukah CIA di tubuh kita?


    RUMAH PARA PENCURI

    Akan kulompati pagar samping rumahmu.
                         Ada bangku api di teras hening rumahmu,
    dua kaktus hangus di tengah ruang tamu,

                         satu  pintu  bagi  jalan  pelarianku.  Tentu,
    telah kuhafal kerling sudut kamarmu: aku
                         bayang yang menyaru sebagai kucingmu.

    Aku tahu, ada peta harta lelah meringkuk
                          di laci mejamu. 500 tahun lalu pencuri itu
    mengurungnya di sana. Kini, aku tak sudi

                       menunggu lagi. Aku cuma siput yang telah
    beringsut dari cangkangnya. Aku tak akan
                       mencari rumah kerang yang lain. Rencana

    telah mumpuni: gelap tak bisa lagi menjaga
                      laci mejamu, embun tak mungkin menyapa
    teras rumahmu; segenap pagi  telah kucuri. 

                     Laci meja itu pelan-pelan mendengar suara
    dongkelan pintu. Pencuri itu melangkah santai
                     ke kamar tidurmu, membuka satu laci meja,

    dan mencuri  sendiri  riwayat  hidupnya.
                      Apa kau lupa: 500 tahun lalu, telah mereka       
    curi sejarah bangsanya? Apa kita lupa?


    • Blogger Comments
    • Facebook Comments

    0 comments:

    Post a Comment

    Item Reviewed: Puisi Ahmad Yulden Erwin Rating: 5 Reviewed By: r3nc0n9
    Scroll to Top