728x90 AdSpace

  • Berita Terkini

    Wednesday, May 21, 2014

    Che, Leo Krisiti, dan Saya

    Oleh Taufik Wijaya*

    SEKALI lagi saya mau menulis mengenai lagu karya Leo Kristi. Tulisan ini pun sebagai kenangan bagi anak saya Abdurrachman Che Wijaya (11) yang telah berpulang kepada Allah pada 10 April 2014 lalu, karena menderita penyakit leukimia.

    Sejak mendengar lagu Leo Kristi saat sekolah menengah atas (SMA) sekitar tahun 1988, saya langsung jatuh cinta dengan lagu-lagu Leo Kristi. Hampir semua lagu Leo Krisiti saya menyukainya. Yang favorit “Sendiri” dan “Hitam Putih”.

    Saat proses reformasi, tepatnya setelah menikmati album Catur Paramita (1993),  saya sempat tidak pernah mendengar lagu-lagu Leo Kristi, sebab kasetnya hilang. Tapi jika bertemu sejumlah teman pekerja seni di Palembang, seperti Conie Sema, Warman Pluntas, Filuz Mursalim, atau Efvhan Fajrullah, yang pandai bermain gitar dan menyukai lagu-lagu Leo Kristi, saya pun dengan suara fals mencoba menyanyikannya. Dengan menegak sebotol vodka atau kopi hitam yang sedikit gula, kami bernyanyi berjam-jam, hingga larut malam, sehingga istri atau orangtua kami merasa risih.

    Saingan saya, yang tidak pandai bermain gitar, tapi ingin selalu menjadi vocalis, macam aktivis J.J. Polong dan Tarech Rasyid. Juga seniman seperti Anwar Putra Bayu dan Dimas Agoes Pelaz.

    Tahun 2007, saya mendapatkan CD yang berisi semua lagu Leo Kristi dari Conie Sema. Betapa senangnya. Hampir setiap hari saya mendengar lagu-lagunya. Sejumlah kawan di Palembang pun turut mengopinya.
      
    Anak saya yang kedua yakni Che (Abdurrachman Che Wijaya) yang saat itu berumur lima tahun, ternyata juga menyukai lagu-lagu Leo Kristi. Dan kebetulan pula dia menyukai lagu “Sendiri”. Saat saya tanya, kenapa menyukai lagu “Sendiri”? Dia hanya tersenyum dan tertawa, terus menari-nari.

    Setahun kemudian, Che dan kakaknya Kinan (Bachtiar Syahri Wijaya) tengah bersedih karena dimarahi ibunya karena tidak diizinkan menonton panjat pinang dalam perayaan 17 Agustus 2008. Saya mencoba menghibur dengan memotretnya. Lalu, malam itu kami sepakat membuat sebuah video yang kemudian kami upload di youtube. Judul video kami 17 Agustus 2008 (http://www.youtube.com/watch?v=C2H8U0EKtE8), yang berisi lagu “Sendiri” dan foto kesedihan Che dan Kinan.

    Lima tahun kemudian, tepatnya 10 April 2014. Che berpulang di Rumah Sakit Umum Moehammad Husin, setelah hampir setahun berjuang melawan penyakit yang dideritanya leukimia atau kanker darah.

    Dua hari kemudian, saya mencoba membuka youtube buat mengenang Che. Saya dan beberapa sepupunya menonton video “17 Agustus 2008”. Lirik lagu “Sendiri” pun mengalun. Pada lirik ini;  Sejuta genta di dalam hati. Sejuta benang engkau terpisah. Tak terjangkau oleh tangan. Jalinan panjang rambutmu sayang. Engkau sendiri kini. Aku sendiri kini. Slalu kita bersama. Walau hanya di hati....Laylelay lay lay lay....Sampai saatnya tiba, saya tak mampu menahan air mata. Kami pun menangis. Dan, entah kenapa tiba-tiba laptop mati.

    Berdasarkan pemeriksaan dokter saat kali pertama Che dibawa ke rumah sakit, kemungkinan Che terkena leukimia saat dia berusia enam tahun, tepatnya tahun 2008! Tahun kami membuat video “17 Agustus 2008”. Ternyata selama lima tahun, dia berperang dengan penyakitnya dengan menampakan kebahagiaan, kegembiraan bersama kami, seperti saat dia menari dalam video  “Burung Kakak Tua Disenandungkan Anneke Groloh”  di kamar kakaknya, Kinan.

    Malam ini, 40 hari mengenang Che, saya pun kembali mendengarkan lagu tersebut:

    Meja kayu sepasang kursi
    Bunga mawar merah dan putih
    Nyala lilin sinar bintang
    Sonata lembut petikan gitar

    Sejuta genta di dalam hati
    Sejuta benang engkau terpisah
    Tak terjangkau oleh tangan
    Jalinan panjang rambutmu sayang

    Engkau sendiri kini
    Aku sendiri kini
    Slalu kita bersama

    Walau hanya di hati
    Laylelay lay lay lay
    Sampai saatnya tiba



    Saya ikhlas dengan kepergian Che. Tapi saya selalu gemetar jika teringat siang hari pada 10 April 2014, ketika Che mengalami sesak napas sambil memukul kasur sepanjang lorong pedestrian., saat mau dibawa ke ruang IGD dari ruang perawatan anak.

    Perasaan tersebut seakan terwakili lagu “Solus Aegroti Suprema Lexest”, dan merasa ikhlas saat mendengarkan lirik; Serasa tak lagi ada kotor dan perang Karena saat telah dekat jalan Tuhan. Solus Aegroti Suprema Lexest.

    Lirik itu seperti mengingatkan saya bahwa setiap manusia merupakan milik Allah. Che setelah hampir setahun “perang”, dan beberapa hari membersihkan “kotoran” di tubuhnya, akhirnya menuju jalan Allah.

    Lilin putih di tepi taman biru
    Gedung putih luar tenang damai
    Serasa tak lagi ada kotor dan perang
    Karena saat telah dekat jalan Tuhan
    Solus Aegroti Suprema Lexest
    Di lorong pedestrian tunduk melangkah
    Lorong pedestrian basah air mata
    Serasa tak lagi ada kotor dan perang
    Karena saat telah dekat jalan Tuhan
    Solus Aegroti Suprema Lexest
    Di lorong pedestrian tunduk melangkah
    Lorong pedestrian, basah air mata
    Solus Aegroti Suprema Lexest.

    Kini, Alhamdulillah, terima kasih Allah, telah dijadikan Che sebagai safaat kami, yang insyallah akan menuntun kami menuju surgaMu kelak.*



    • Blogger Comments
    • Facebook Comments

    0 comments:

    Post a Comment

    Item Reviewed: Che, Leo Krisiti, dan Saya Rating: 5 Reviewed By: r3nc0n9
    Scroll to Top