Oleh M. Arman A.Z.*
KOPI telah menjadi bagian penting dalam kehidupan manusia di muka bumi. Ia bukan lagi sekadar minuman, namun telah menjadi gaya hidup, medium sosialisasi, atau tren pergaulan seluruh lapisan masyarakat. Beberapa dekade belakangan, kafe-kafe yang bermunculan di berbagai negara bahkan menjadikan kopi sebagai menu khusus atau semacam drink-code. Kopi pun disajikan dengan citarasa, style, dan nama unik.
Di sisi lain, kopi kerap jadi “tersangka” pemicu munculnya berbagai jenis penyakit. Mitos negatif kopi yang acap terdengar, misalnya buruk bagi jantung, menghadirkan kecemasan, penyebab dehidrasi, dan lainnya. Pendapat ini tidak selalu benar. Kopi tidak melulu memeram dampak negatif. Dalam buku The Caffein Advantageatau terjemahannya The Miracle of Caffeine karya peneliti dari Universitas Temple (AS) Bennett Alan Weinberg dan Bonnie K. Bealer (2002) dipaparkan sekian manfaat kopi. Ia bukan hanya stimulan agar peminumnya tetap prima, tapi juga berguna bagi intelegensia, menghilangkan jetlag, emosi positif, penurun berat badan, dan dalam banyak kasus justru mencegah penyakit. Berterimakasihlah kepada Friedlieb Ferdinand Runge (1795-1867) yang telah menemukan zat kafein. Kafein yang terkandung dalam kopi dirayakan tiap hari oleh banyak orang dalam berbagai kesempatan.
Para penikmat kopi tentu memiliki memiliki pengalaman pribadi perihal kopi yang pernah direguknya. Tingkat konsumsi yang berbeda, sensasi subyektif saat menikmati, kecenderungan menyukai kopi merek atau jenis tertentu. Lantas, bagaimana mengekalkan ingatan personal tentang nikmatnya menyeruput kopi dalam interval sebuah perjalanan panjang? Gol A Gong merangkumnya lewat kumpulan puisi Air Mata Kopi. Ini semacam catatan perjalanan berbentuk puisi dengan tema spesifik kopi. Buku ini adalah buku puisi ketiga Gol A Gong setelah Dunia Ikan (2010) dan Membaca Diri(2013). Sebagaimana dijelaskan Gol A Gong, ini adalah oleh-olehnya dari tur Sumatera selama Mei-Juni 2013. Tidak seluruhnya dibuat di Sumatera, karena ada juga puisi yang bertitimangsa di Jawa, Natuna, Singapura, dan India.
Traveling ke banyak tempat untuk mencicipi satu hal (kopi) tentu menarik. Ada 49 puisi di dalamnya, semua merujuk pada kopi. Bisa dibayangkan bagaimana melelahkan sekaligus menggairahkan perjalanan menekuri kopi. Dimulai dari titik nol kilometer di Pulau We, menikmati ragam budaya setempat, sembari singgah di kedai-kedai atau rumah sahabat untuk menyeruput segelas kopi.
Ihwal baik buruk kopi bisa ditemukan pada puisi pembuka “Jangan Minum Kopi”. Puisi “Nol Kilometer” berlatar Sabang, kota paling ujung barat Sumatera. Di Aceh, minum kopi, telah lama menjadi “kewajiban” bagi kaum pria. Mereka umumnya berkumpul di kedai, mengobrol ngalor-ngidul, ditemani kopi. Dunia dibuka lewat kedai kopi, begitu perspektif Gol A Gong dalam puisi “Kedai Kopi di Perempatan Jalan” dibuat di Aceh. Kopi pun bisa dijadikan sampiran untuk menyindir pemimpin Banten, domisili Gol A Gong, seperti dalam puisi “Ular Berkepala Ratu”. Puisi-puisi dalam buku ini gamblang, cepat dipahami, tidak perlu menguliti maknanya berkali-kali. Seluruh kalangan bisa menikmatinya tanpa harus berkerut dahi. Maka, siapkanlah segelas kopi sebelum menikmati buku ini.
Kopi juga bagian dari kuliner Indonesia. Di kota-kota yang disinggahi, Gol A Gong mencari kopi khas lokal, yang kadangkala proses menyeduhnya unik, seperti kopi takar di Rantau Prapat, kopi jossdi Yogya, kopi tungtau di Pangkalpinang, kopi tubruk di Jawa, kopi luwak yang ngetren hingga mancanegara. Sayang, Gola A Gong belum sempat bertemu kopi tumbuk lesung yang kian langka karena proses pengolahannya tidak menyentuh besi dan menggunakan tenaga manusia.
Pertanyaan usai membaca buku ini, apakah kopi yang telah menjadi komoditi dan konsumsi dunia turut mengangkat harkat petani kopi itu sendiri? Pengantar singkat dari penyair Fikar W Eda dalam buku ini memberi sedikit gambaran bahwa meski kopi telah jadi kebutuhan global, petani kopi yang hanya menggantungkan hidupnya dari tanaman ini tetaplah miskin. Di balik harum dan nikmatnya kopi yang diseruput banyak orang, di kedai-kedai pinggir jalan hingga kafe-kafe mewah, ada luka tersembunyi para petani kopi.
* Cerpenis, tinggal di Bandarlampung
***
Judul buku : Air Mata Kopi
Pengarang : Gol A Gong
Penerbit : Gong Publishing, Banten
Cetakan : Oktober 2013
Halaman : 80 hlm.
0 comments:
Post a Comment