Isbedy Stiawan ZS
HIRUK-pikuk, gaduh-genderang menjelang pemilihan presiden tiap menit makin keras. Setiap “congor” sepertinya punya hak dan seakan mendapat perlindungan, untuk berkata-berpendapat-dan berhujat masalah politik ini.
Reformasi membuat setiap individu seperti mendapat kartu bebas untuk berkata apapun. Ditambah lagi, media sosial yang bisa diakses setiap detik dan dari mana pun, kian memperkuat “kebebasan” bersuara.
Maka tidak heran, menjelang pertarungan antara Jokowi-JK dengan Prabowo-Hatta setiap wajah mdia sosial dipenuhi iklan—putih dan hitam—tentang kedua “jagoan” yang akan bertarung itu. Bahkan, “Mata Nazwa” juga ikut “mengadu” kedua kubu itu. Dimulai dari di dudukkannya masing-masing ketua tim pemenangan, ketua partai pengusung, hingga politisi pengusung.
Saya semakin nyesek apabila membaca atau mendengar kampanye dalam berbagai versi tersebut. Sebab, sudah dari bilik privasi: televisi menayangkan para calon presiden (capres), bahkan sejak tahun silam, diskusi, debat dan sejenisnya. Intinya saling memuji jagoannya dan menjelekkan lawannya.
Para aktivis yang sebelum reformasi selalu berjarak dengan kekuasaan, kini terang-terangan merangkul atau menolak (calon) kekuasaan. Mereka juga semakin terang-terangan mencalonkan diri untuk menjadi anggota Dewan, tim sukses, kuasa hukum, dan sejenisnya.
Para aktivis pada masa Soeharto berkuasa berdiri di tengah rakyat dan menganggap pemerintah (baca: penguasa) mesti dikontrol, dan bila salah berkuasa maka “hanya satu kata: lawan” (kata Widji Tukul). Kini seakan “hanya satu kata: kawan.”
Begitulah euforia politik di Tanah Air. Kalau pada masa berkuasa Orde Baru, orang tak berani terang-terangan mengatakan pilihan (partai)nya atau presiden, apalagi adanya rambu-rambu “rahasia, selain jurdil” sehingga yang tahu pilihannya hanya dirinya sendiri—setelah Tuhan.
Kini “kerahasiaan” seperti dicoret. Orang-orang sudah menanggalkan privasi pilihannya. Sehingga antara memilih pilihan dengan menjadi pendukung alias tim sukses, sangatlah tipis. Tengok saja di status dalam media sosial semacam facebook ataupun twitter. Hanya untuk menyebut bahwa mereka sudah punya pilihan dalam pilpres kelak, ditulis sambil menyebut kehebatan yang dipilihnya. Berarti yang bukan dipilih, tentu tak hebat.
Ini sama saja sudah kampanye. Kata-kata seperti itu sama artinya bagian dari tim sukses. Kalau bukan, siapa pilihan hanya hati yang tahu. Kalau bukan bagian dari kampanye, kenapa tidak dikatakan setelah keluar dari bilik pencoblosan kertas suara?
Ya, tanpa disadari, sejatinya mereka sudah bagian dari tim sukses. Hanya, mereka tak mendapat apa-apa dari orang yang dipilih. Sayangnya, mereka masih gengsi: dikatakan tim sukses.
0 comments:
Post a Comment