Slamet Samsoerizal
“Membaca celoteh, cuit, status, cuap, sampai gombalan hari ini adalah memahami sekaligus menikmati sebagian kecil budaya Indonesia dari warung kaki lima pinggir jalan raya nan macet dan bising di sebuah kota.” Begitu cakap awal Si Pongah sambil menikmati sajian khas warung Mpok Nunung yang menunya menyajikan Kopi dan sarapannya Pakai Ketan (KPK).
“Maksudku, menyimak berita radio, menonton tv, membuka situs online di dunia maya, hingga membaca pemberitaan media massa cetak semua beragam menyoroti pencapresan. Gimana Bang Maja?”
Bang Maja, Satpam sekolah tetangga—sambil memainkan cincin berakik safer, cuma tersenyum. Dengan lahap ia nikmati sarapan pagi bermenu KPU (Kopi Pake nasi Uduk).
“Mas … hasil survei capres BK (Baju Kotak-kotak) masih mengungguli capres berkuda” ujar Bang Maja.
“Survei bisa prediktif bisa spekulatif!” sambut Si Pongah.
“Masa lalu capres juga ngaruh kali, Mas!”
“Iya, dan ini yang jadi beban para penyanjung pendukung capres. Masa lalu dan perjalanan hidup seseorang, mengesankan dipaksa harus mewujud dalam keindahan, bahkan sempurna. Jika sedikit ternoda, itu akan dijadikan celah bagi sang pesaing untuk memasukinya dan membuatnya kocar-kacir.
“Mereka saling metani –ibarat gajah di pelupuk mata tak tampak sementara kuman di seberang lautan malah tampak (tegas dan jelas!). Mulailah sang capres yang seumpama waktu kecil suka nimpukin buah mangga milik tetangga aja dikorek. Capres yang masa lalunya suka ngemplang dan ngampleng teman mainnya disebutnya melanggar HAM (Hak Asasi Manusia).
Persaingan untuk naik tahta ke tampuk kepresidenan membuat orang nanar, mabuk. Ketika zaman berganti dan pemimpin lebih dari satu, beginilah konsekuensinya. Jika pada masa Orde Baru, tiap lima tahun pergantian capres selalu saja adem ayem tak sesemarak kini, karena tiga hal.
Pertama, puluhan partai yang berkoalisi dalam dua partai besar: PPP (Parta Persatuan Pembangunan) dan PDI (Partai Demokrasi Indonesia) serta satu Golongan Karyayang mayoritas, cuma punya satu capres. Kedua, “persyaratan” yang diusung MPR sebagai pemandat pun cukup bikin capres selain incumbent mikir kecut dan mundur seketika.
Mengapa? Karena syaratnya: sang capres harus pernah menjadi Presiden (!) Ketiga, pada masa itu semua bisa dibungkam—jangankan rakyat biasa, pakar hingga lembaga wakil rakyat juga bisa dibikin tak punya nyali. Semua akan setuju dan semua baik-baik saja.
Siapa pun capresnya, berapa pun capresnya pasti akan terpilih satu nama yang berhak presiden. Hiruk-pikuk, hingar-bingar para pendukung yang pro dan kontra, pasti akan kembali sedia kala. Mereka biasa mangkal di tukang ojek akan kembali ngojek, yang biasa mikul dawet akan mencari rejeki halal di lapaknya atau berkeliling ke kampung-kampung. Tokoh dan pakar yang suka cuap-cuap kembali mingkem karena sudah taklagi ada topik sanjung-caci bagi capres yang didukung atau tak didukung.
Para penyanjung yang bernasibbaik, bakal dapat kue nikmat dan kursi empuk. Namun, yang selalu mengenaskan adalah massa penyanjung yang gigih secara rela atau berbayar --kembali menjadi rakyat biasa. Ada hal yang kadang mengerikan, penyanjung fanatik yang frustrasi entah karena sesuatu, berbalik menjadi pemaki.”
“Lalu?” sambar Yanto Caing dan Asep Chepot yang sejak tadi rupanya nguping, bereaks imendengar analisis sok pakar Si Pongah.
“Hmmm, makin seru aja ni obrolan” sela Mas Nakurat, “Gabung … ah. Kopi gak pakaigula, Mpok.”(pintanya kepada Mpok Nunung).
“Biasa Mas, sebagai warga yang baik jangan sampai kalau kita salah pilih, karena nyoblos 300 detik bisa menentukan nasib rakyat selama 60 bulan ke depan. Eh, kata di tv lhoMas.”
Tawa pun meledak di antara mereka. Aria Purbaya yang sejak tadi suntuk dengan notebook-nya, jadi menoleh dan latah ngakak.
“Bagaimana menurut Mas Nakurat?” timbrung Aria.
“Saya lebih suka fokus ngomongin sama yang suka nyanjung dan caci-mencaci. Ya para fanatikus sang capres itu. ”
“Kenapa?” desak Aria menutup notebook-nya.
Kali ini Mas Nakurat membuka notes-nya.
“Persaingan untuk mendapatkan kemuliaan, seharusnya dengan beradu kemuliaan. Penyanjungmu suatu saat bisa menjadi pemakimu. Demikian sebaliknya. Maka, jangan berlebihan menyanjung atau memaki. Begitu petuah K.H A. Mustofa Bisri.” Papar Mas Nakurat serius.
Aria Purbaya, Bang Maja, Yanto Caing, dan Asep Chepot jadi ikut serius. Jalanan makin dikebuli debu dan asap knalpot bajaj dan ojek yang bersliweran. Matahari terasa menggerahkan. Kebisingan semakin menggairahkan kota. ***
0 comments:
Post a Comment