Oyos Saroso HN
BANDARLAMPUNG, Teraslampung.com - Tiga tahun setelah huru-hara Mei 1998, sebuah kegiatan budaya digelar di Taman Ismail Marzuki (TIM), Jl. Cikini Raya No. 73, Jakarta Pusat. Acara yang dihelat pada Rabu, 19 Juli 2001 itu diberi tajuk “Gerakan Pembangkangan Warga Negara”. Sejumlah aktivis, sastrawan, dan penggiat kebudayaan hadir. Yang menjadi bintang hari itu adalah penyair cum budayawan Rendra.
Meskipun sudah berselang waktu 13 tahun lampau, pokok-pokok pikiran yang disampaikan Rendra pada forum itu masih aktual hingga hari ini.
Berikut pokok-pokok pemikiran Rendra tentang rakyat, negara, dan Indonesia:
Rendra |
Meskipun sudah berselang waktu 13 tahun lampau, pokok-pokok pikiran yang disampaikan Rendra pada forum itu masih aktual hingga hari ini.
Berikut pokok-pokok pemikiran Rendra tentang rakyat, negara, dan Indonesia:
- Kita bukan warga negara! Pada hakikatnya, rakyat belum menjadi warga negara karena belum punya fasilitas untuk itu. Rakyat tidak bisa memilih wakil-wakilnya secara langsung. Dari lokal sampai tingkat nasional, mereka ini tetap dianggap sebagai manusia massa. Itulah keadaan manusia sekarang dipandang dari budaya.
- Sebagai negara, Indonesia selalu dilanda kemelut. Kekuasaan menjadi rebutan karena tidak ada aturan yang jelas. Selama ini peraturan-peraturan yang ada hanya didominasi kepentingan-kepentingan. Status warga negara hanya menjadi sekadar istilah. Akhirnya, rakyat Indonesia sebenarnya hanya manusia massa.
- Keadaan seperti ini sebenarnya bukan baru terjadi. Warga negara hanya diperlakukan sebagai manusia massa sudah sejak zaman Mataram. Pada zaman itu, rakyat Indonesia hanya menjadi kawula alias hamba sahaya. Keadaan seperti itu terus berlanjut. Pada zaman penjajahan Belanda, rakyat dipimpin pamong praja. Lalu dari masa Soekarno hingga Soeharto, rakyat masih dijadikan manusia massa atau manusia politik. Di masa revolusi, rakyat menjadi massa revolusi. Di zaman Soeharto, rakyat menjadi massa pembangunan. Hingga akhirnya di masa sekarang, rakyat menjadi massa reformasi.
- Seniman bukan hanya mengkritik lewat syair-syair. Jika perlu, seniman bisa saja turun ke jalan.
- Krisis kemanusiaan terjadi karena rakyat memang tidak dianggap sebagai insan. Rakyat bukan pula warga negara. Oleh karena itu, rakyat sebenarnya tidak pernah menjadi subjek dari aktivitas elite politik.
- Kita telah hanyut seperti zombie. Kita bukan warga negara. Kita membius diri sendiri, kita membuat yang salah.
- Rakyat Indonesia sebenarnya tidak punya wakil di lembaga perwakilan. Lembaga perwakilan yang ada saat ini cuma lembaga perwakilan partai dan bukan lembaga perwakilan rakyat. Rakyat dihargai sebagai massa. Mereka disuruh-suruh untuk mendukung partai dan menentukan wakilnya.
- Kita compang-camping karena konstitusi. Sejak kita memasuki zaman modern, kita tidak mempunyai konstitusi yang mendorong atau yang memfasilitasi rakyat menjadi warga negara. Undang-Undang Dasar 1945 dianggap belum sempurna karena dibuat oleh ahli hukum tamatan sekolah penjajah yang tidak memahami masyarakat.
- “Gerakan Pembangkangan” bukan diibaratkan seperti obat batuk. “Gerakan pembangkangan” sasarannya adalah kesadaran dan bukan menawarkan jalan pintas. Gerakan itu bukan seperti jalan pendek atau terobosan, melainkan kerajinan jiwa.
- Selama ini ada elite yang menawarkan jalan pintas, seperti pergantian presiden atau perombakan dewan. Namun, ia menilai hal itu tidak akan efektif.
- UUD 1945 sudah diperingatkan oleh pembuatnya sebagai undang-undang sementara. UU tersebut akan diubah dan disempurnakan sambil berjalan. Tetapi dalam perkembangan, lebih dari 50 tahun, UU tersebut juga belum diubah. Elite politik tidak juga sadar. Mereka yang mengatur berdasarkan kekuatan, justru bisa disebut anarki.*
- Seharusnya UUD tersebut tidak boleh dilestarikan apalagi disakralkan. Dia juga menyatakan keberatan dengan menteri atau presiden yang seenaknya membuat peraturan.
- Dari segi kebudayaan, keadaan yang berantakan saat ini terjadi karena tidak ada aturan main yang jelas.
0 comments:
Post a Comment