Syailendra Arief/Teraslampung.com
BANDARLAMPUNG—Memasuki usia 56 tahun pada 5 Juni mendatang, penyair Isbedy Stiawan ZS meluncurkan buku puisi terbarunya bertajuk Menuju Kota Lama. Buku terbitan Siger Publisher bekerja sama dengan Lamban Sastra, April 2014, ini menghimpun 89 puisi yang ditulis selama 5 tahun. Dibuka oleh puisi “Seseorang Datang” (2009) dan ditutup dengan “Senja yang Tak Biasa” (2014).
Isbedy menjelaskan, buku puisi terbarunya ini merupakan kado untuk hari jadinya yang ke-56 dan dicetak tidak banyak. “Saya ingin mengucapkan rasa syukur dengan meluncurkan buku puisi, karena saya merasa ‘penyair’ dibanding ‘cerpenis’,” ucap Isbedy yang tahun lalu meluncurkan Kitab Cerpen Perempuan di Rumah Panggung.
Konon pada peringatan hari kelahirannya tahun ini, ia berencana menggelar acara “56 Tahun Isbedy Stiawan ZS” sebagai upaya introspeksi atas anugerah umur yang diberikan Tuhan. Perayaan 56 tahun tersebut, rencananya akan di isi testimoni, pembacaan karya, dan diskusi.
“Ya saya memang punya rencana menggelar acara untuk memperingati kelahiran saya. Ide ini muncul dari ngobrol dengan Syaiful Irba Tanpa dan Arya Winanda. Semoga saja terlaksana, meski tidak pada saat 5 Juni,” jelas dia, Sabtu (31/5).
Menurut sastrawan "akumni" Forum Puisi Indonesia '87 ini, menjaga energi dan produktivitasnya karena kesungguhan dan disiplin. “Tanpa disipilin dan sungguh-sungguh, rasanya saya sudah lama ‘mati’ sebagai sastrawan,” tegasnya.
Dia mencintai yang telah menjadi pilihannya, yaitu sebagai sastrawan. Dari sini tak ada lain, jangan main-man. “Saya teringat pesan Budi Darma melalui pesan pendek (SMS), bahwa menjadi penulis jangan sekali berhenti. Karena berhenti sekali, kita akan mati,” katanya mengutip ucapan penulis buku Olenka itu.
Mengenai puisi-puisi dari penyair kelahiran Tanjungkarang (Lampung) ini, kritikus dan pengajar di FIB Universitas Indonesia Manneke Budiman dalam Dongeng Adelia mengatakan, tegangan antarberbagai nuansa batin yang campur-aduk ini dimanifestasikan dengan subtil lewat kata-kata kecil berkekuatan dahsyat yang rupanya menjadi kekhasan Isbedy dalam bersajak.
“Hampir semua sajaknya dibangun di persilangan hubungan antara seorang ‘aku’ dan seorang ‘kau’ yang bisa siapa saja, tetapi tak urung menghasilkan suatu komunikasi yang akrab dan personal antara penyair dan khalayaknya,” tulis Mannek Budiman (2012).
Sementara kritikus dan juga pengajar di FIB UI Maman S. Mahayana menilai cerpen-cerpen Isbedy laksana tarik-menarik model naratif yang berkisah dan ekspresi puitik yang metafortis. “Ada semangat membunikan fiksionalitas dalam konteks lokalitas, ada pula yang (men)coba menempatkan dunia realitas kultural dalam simbolisasi,” kata Maman dalam Perempuan di Rumah Panggung (2013).
Kita, kata Maman yang pernah menjadi dosen tamu di Hankuk University of Foreign Studies, Seoul, Korea, akan menemukan banyak gugatan pada tradisi atau peristiwa sosio-budaya yang seolah-olah sudah semestinya begitu.
Suminto A. Sayuti, kritikus asal Yogyakarta, saat mengulas 100 puisi Isbedy dalam Kota Cahaya (Grasindo, 2005) menilai, sajak-sajak Isbedy umumnya bersuasanakan sunyi ataupun terasing. Sebuah “nyanyi sunyi”.
“Isbedy berupaya memaknai sunyi itu, apa dan di mana pun situasi itu melekat pada sesuatu yang menjadi objek pilihannya,” ucap Siminto A. Sayuti.
Kesunyian, demikian Isbedy, adalah teman paling karib. Menurut Isbedy, pada kesunyian ia leluasa pergi dan pulang membawa dan menerima imajinasi. “Entah kenapa, pada keriuhan pun saya merasakan sunyi,” kata Isbedy.
Ya, sunyi. Memang menjadi kekhasan dari puisi-puisi Isbedy. Seperti puisi “Jika” ini, dalam kumpulan Menuju Kota Lama .
jika aku sepi
kaulau waktu
jika aku rindu
kaulah ombak
jika aku ombak
maukah kau
jadi pantainya?
: di bibirmu
kuhimpun kata
jadi puisi
(10122011)
Isbedy Stiawan ZS, kelahiran Tanjungkarang (Lampung), pada 5 Juni 1958. Menulis sastra pada saat remaja, dan pertama kali dimuat sebuah cerpennya di Swadesi pada 1979. Lebih dari 15 buku puisi dan cerpen telah diterbitkan, baik penerbit indie hingga penerbit besar seperti Gramedia, Grasindo, Bentang (grup MIZAN), bukupop, dan lain-lain.
Sebelum kumpulan puisi terbarunya, penyair yang telah diundang pada Ubud Writer and Reader Festival, Utan Kayu Literary Festival dan sejumlah kegiatan sastra di Tanah Air dan luar negeri ini pada tahun lalu meluncurkan Kitab Cerpen Perempuan di Rumah Panggung, kumpulan puisi Dongeng Adelia, Taman di Bibirmu, Anjing Dini Hari, Seandainya Kau Jadi Ikan, Perempuan Sunyi, Menampar Angin, Aku Tandai Tahilalatmu, dan lain-lain. (*/r)
BANDARLAMPUNG—Memasuki usia 56 tahun pada 5 Juni mendatang, penyair Isbedy Stiawan ZS meluncurkan buku puisi terbarunya bertajuk Menuju Kota Lama. Buku terbitan Siger Publisher bekerja sama dengan Lamban Sastra, April 2014, ini menghimpun 89 puisi yang ditulis selama 5 tahun. Dibuka oleh puisi “Seseorang Datang” (2009) dan ditutup dengan “Senja yang Tak Biasa” (2014).
Isbedy menjelaskan, buku puisi terbarunya ini merupakan kado untuk hari jadinya yang ke-56 dan dicetak tidak banyak. “Saya ingin mengucapkan rasa syukur dengan meluncurkan buku puisi, karena saya merasa ‘penyair’ dibanding ‘cerpenis’,” ucap Isbedy yang tahun lalu meluncurkan Kitab Cerpen Perempuan di Rumah Panggung.
Konon pada peringatan hari kelahirannya tahun ini, ia berencana menggelar acara “56 Tahun Isbedy Stiawan ZS” sebagai upaya introspeksi atas anugerah umur yang diberikan Tuhan. Perayaan 56 tahun tersebut, rencananya akan di isi testimoni, pembacaan karya, dan diskusi.
“Ya saya memang punya rencana menggelar acara untuk memperingati kelahiran saya. Ide ini muncul dari ngobrol dengan Syaiful Irba Tanpa dan Arya Winanda. Semoga saja terlaksana, meski tidak pada saat 5 Juni,” jelas dia, Sabtu (31/5).
Menurut sastrawan "akumni" Forum Puisi Indonesia '87 ini, menjaga energi dan produktivitasnya karena kesungguhan dan disiplin. “Tanpa disipilin dan sungguh-sungguh, rasanya saya sudah lama ‘mati’ sebagai sastrawan,” tegasnya.
Dia mencintai yang telah menjadi pilihannya, yaitu sebagai sastrawan. Dari sini tak ada lain, jangan main-man. “Saya teringat pesan Budi Darma melalui pesan pendek (SMS), bahwa menjadi penulis jangan sekali berhenti. Karena berhenti sekali, kita akan mati,” katanya mengutip ucapan penulis buku Olenka itu.
Mengenai puisi-puisi dari penyair kelahiran Tanjungkarang (Lampung) ini, kritikus dan pengajar di FIB Universitas Indonesia Manneke Budiman dalam Dongeng Adelia mengatakan, tegangan antarberbagai nuansa batin yang campur-aduk ini dimanifestasikan dengan subtil lewat kata-kata kecil berkekuatan dahsyat yang rupanya menjadi kekhasan Isbedy dalam bersajak.
“Hampir semua sajaknya dibangun di persilangan hubungan antara seorang ‘aku’ dan seorang ‘kau’ yang bisa siapa saja, tetapi tak urung menghasilkan suatu komunikasi yang akrab dan personal antara penyair dan khalayaknya,” tulis Mannek Budiman (2012).
Sementara kritikus dan juga pengajar di FIB UI Maman S. Mahayana menilai cerpen-cerpen Isbedy laksana tarik-menarik model naratif yang berkisah dan ekspresi puitik yang metafortis. “Ada semangat membunikan fiksionalitas dalam konteks lokalitas, ada pula yang (men)coba menempatkan dunia realitas kultural dalam simbolisasi,” kata Maman dalam Perempuan di Rumah Panggung (2013).
Kita, kata Maman yang pernah menjadi dosen tamu di Hankuk University of Foreign Studies, Seoul, Korea, akan menemukan banyak gugatan pada tradisi atau peristiwa sosio-budaya yang seolah-olah sudah semestinya begitu.
Suminto A. Sayuti, kritikus asal Yogyakarta, saat mengulas 100 puisi Isbedy dalam Kota Cahaya (Grasindo, 2005) menilai, sajak-sajak Isbedy umumnya bersuasanakan sunyi ataupun terasing. Sebuah “nyanyi sunyi”.
“Isbedy berupaya memaknai sunyi itu, apa dan di mana pun situasi itu melekat pada sesuatu yang menjadi objek pilihannya,” ucap Siminto A. Sayuti.
Kesunyian, demikian Isbedy, adalah teman paling karib. Menurut Isbedy, pada kesunyian ia leluasa pergi dan pulang membawa dan menerima imajinasi. “Entah kenapa, pada keriuhan pun saya merasakan sunyi,” kata Isbedy.
Ya, sunyi. Memang menjadi kekhasan dari puisi-puisi Isbedy. Seperti puisi “Jika” ini, dalam kumpulan Menuju Kota Lama .
jika aku sepi
kaulau waktu
jika aku rindu
kaulah ombak
jika aku ombak
maukah kau
jadi pantainya?
: di bibirmu
kuhimpun kata
jadi puisi
(10122011)
Isbedy Stiawan ZS, kelahiran Tanjungkarang (Lampung), pada 5 Juni 1958. Menulis sastra pada saat remaja, dan pertama kali dimuat sebuah cerpennya di Swadesi pada 1979. Lebih dari 15 buku puisi dan cerpen telah diterbitkan, baik penerbit indie hingga penerbit besar seperti Gramedia, Grasindo, Bentang (grup MIZAN), bukupop, dan lain-lain.
Sebelum kumpulan puisi terbarunya, penyair yang telah diundang pada Ubud Writer and Reader Festival, Utan Kayu Literary Festival dan sejumlah kegiatan sastra di Tanah Air dan luar negeri ini pada tahun lalu meluncurkan Kitab Cerpen Perempuan di Rumah Panggung, kumpulan puisi Dongeng Adelia, Taman di Bibirmu, Anjing Dini Hari, Seandainya Kau Jadi Ikan, Perempuan Sunyi, Menampar Angin, Aku Tandai Tahilalatmu, dan lain-lain. (*/r)
0 comments:
Post a Comment