Oleh Taufik Wijaya*
BILA dibandingkan dengan dua sahabatnya yakni Gombloh dan Franky Sahilatua, Leo Kristi dapat dikatakan kalah popular. Ketiganya pernah mendirikan sebuah kelompok musik di Surabaya, bernama Lemon Tree’s. Tapi lagu-lagu Leo Kristi lebih menggetarkan hati saya. Liriknya jauh lebih jujur membaca Nusantara. Yang disajikan dalam irama folk dan country.
Mungkin, seperti yang banyak berpendapat, kekuatan Leo terjaga sebab dia tidak pernah terjun ke bisnis musik, yang lebih kompromi dengan penggemar musik Indonesia, seperti dilakukan Franky dan Gombloh, meskipun keduanya tetap menyampaikan kritik sosial, nasionalisme, dan tentang alam.
Dalam melakukan proses kreatif, Leo yang kini berusia 64 tahun (8 Agustus 1949) mengembara Nusantara. Dia membaca tiap denyut air sungai, air laut, air danau, getaran pohon, gunung, bukit, serta kesunyian yang riuh dari hujan tropis.
Kita beruntung memiliki Leo Kristi, yang bernama lengkap Leo Imam Sukarno, seorang muslim, tapi banyak belajar musik dari bapaknya Raden Ngabei Iman dan gereja saat di sekolah dasar.
Bagaimana tidak, hampir semua keindahan Nusantara terekam dari sejumlah albumnya mulai Nyanyian Fajar (1975), Nyanyian Malam (1976), Nyanyian Tanah Merdeka(1977), Nyanyian Cinta (1978), Nyanyian Tambur Jalan (1980), Lintasan Hijau Hitam (1984), Biru Emas Bintang Tani (1985) yang gagal beredar, Deretan Rel Rel Salam Dari Desa(1985, aransemen baru), (Diapenta) Anak Merdeka (1991), Catur Paramita (1993) dan Tembang Lestari (1995, yang direkam pada CD terbatas). Yang terakhir album Warm, Fresh and Healthy (diluncurkan 17 Desember 2010).
Artinya, jika kita rindu Nusantara sebelum hutannya rusak, dusunnya hilang, sungai dan lautnya rusak, petaninya miskin dan menjadi korban dari eksploitasi sumber daya alam, maka dengarkanlah lagu-lagu Leo Kristi.
Mendengarkan lagu-lagu Leo Kristi, kita seakan lupa jika 32 juta dari 104,9 juta hektar hutan Indonesia rusak. Rusak oleh berbagai aktifitas yang akan menjadikan daratan Indonesia berupa padang pasir atau padang rumput, seperti pertambangan batubara, emas, timah, nikel, kelapa sawit, migas, dan industri lainnya.
Dan, sesuatu yang diharapkan—pasti juga yang dimimpikan Leo Kristi—kita bergerak menjaga lingkungan hidup Indonesia.
Saya pun saat mendengarkan lagu-lagu Leo Kristi membayangkan air jernih yang mengaliri ratusan anak Sungai Musi yang tersisa, ikan-ikan berenang bersama girangnya anak-anak yang mandi.
Perahu pak nelayan
Laju memecah ombak
Perahu Pak nelayan
(buih-buih memercik di kiri-kanan, buih-buih memercik di kiri-kanan)
Perahu…
Lihat-lihat nelayan rentang jala pukat
Tarik-tariklah tambang
Umpan sudah lekat
(ikannya melompat-lompat, ikannya melompat-lompat)
Riang riaaang…
Jauh di kaki langit terbentang layarmu
Kadang naik
Kadang turun
Dimainkan oleh ombak
Badai laut biru
Gulagalugu suara nelayan
Berayun-ayun laju
Berayun-ayun laju…
Gulagalugu suara nelayan
Berayun-ayun laju
Berayun-ayun laju…
Leo Kristo (foto: sekaringpengabdian.blogspot.com) |
Mungkin, seperti yang banyak berpendapat, kekuatan Leo terjaga sebab dia tidak pernah terjun ke bisnis musik, yang lebih kompromi dengan penggemar musik Indonesia, seperti dilakukan Franky dan Gombloh, meskipun keduanya tetap menyampaikan kritik sosial, nasionalisme, dan tentang alam.
Dalam melakukan proses kreatif, Leo yang kini berusia 64 tahun (8 Agustus 1949) mengembara Nusantara. Dia membaca tiap denyut air sungai, air laut, air danau, getaran pohon, gunung, bukit, serta kesunyian yang riuh dari hujan tropis.
Kita beruntung memiliki Leo Kristi, yang bernama lengkap Leo Imam Sukarno, seorang muslim, tapi banyak belajar musik dari bapaknya Raden Ngabei Iman dan gereja saat di sekolah dasar.
Bagaimana tidak, hampir semua keindahan Nusantara terekam dari sejumlah albumnya mulai Nyanyian Fajar (1975), Nyanyian Malam (1976), Nyanyian Tanah Merdeka(1977), Nyanyian Cinta (1978), Nyanyian Tambur Jalan (1980), Lintasan Hijau Hitam (1984), Biru Emas Bintang Tani (1985) yang gagal beredar, Deretan Rel Rel Salam Dari Desa(1985, aransemen baru), (Diapenta) Anak Merdeka (1991), Catur Paramita (1993) dan Tembang Lestari (1995, yang direkam pada CD terbatas). Yang terakhir album Warm, Fresh and Healthy (diluncurkan 17 Desember 2010).
Artinya, jika kita rindu Nusantara sebelum hutannya rusak, dusunnya hilang, sungai dan lautnya rusak, petaninya miskin dan menjadi korban dari eksploitasi sumber daya alam, maka dengarkanlah lagu-lagu Leo Kristi.
Mendengarkan lagu-lagu Leo Kristi, kita seakan lupa jika 32 juta dari 104,9 juta hektar hutan Indonesia rusak. Rusak oleh berbagai aktifitas yang akan menjadikan daratan Indonesia berupa padang pasir atau padang rumput, seperti pertambangan batubara, emas, timah, nikel, kelapa sawit, migas, dan industri lainnya.
Dan, sesuatu yang diharapkan—pasti juga yang dimimpikan Leo Kristi—kita bergerak menjaga lingkungan hidup Indonesia.
Saya pun saat mendengarkan lagu-lagu Leo Kristi membayangkan air jernih yang mengaliri ratusan anak Sungai Musi yang tersisa, ikan-ikan berenang bersama girangnya anak-anak yang mandi.
Banyak pohon tropis berjajar
Padang rumput yang menghijau
Kebun mawar merah mengharum
Basah dengan pancuran air segar
Padang rumput yang menghijau
Kebun mawar merah mengharum
Basah dengan pancuran air segar
Semua impian beludru
Sutera dusunku
Sentausalah negeri
Bahagia dusunku
Sutera dusunku
Sentausalah negeri
Bahagia dusunku
Jembatan kayu cantik mungil
Air sungai yang jernih dingin
Dentang lonceng gereja sayup
Bagai musik yang sengit semarak
Air sungai yang jernih dingin
Dentang lonceng gereja sayup
Bagai musik yang sengit semarak
Semua impian beludru sutera dusunku
Sentausalah negeri; Bahagia dusunku
Sentausalah negeri; Bahagia dusunku
(Aaaaaaahhhhh aaaaaa)
Duhai, lirik dari lagu “Beludru Sutera Dusunku” yang diambil dari album Nyanyian Fajar (1975) serasa mengiris hati. Sebab perekaman Leo pada kondisi dusun, dan harapan kondisi itu bertahan selamanya, sudah hilang saat ini. Hanya 39 tahun dari lagu tersebut diluncurkan semuanya telah hilang atau rusak. Entah apa yang terjadi pada 5-10 tahun mendatang.
Getaran yang sama juga dirasakan dari lagu “Salam Dari Desa”, sebuah lagu yang cukup popular di kalangan aktifis lingkungan hidup dan agraria. Lagu yang menggambarkan masyarakat desa, para petani yang kini hidupnya kian sensara.
Kalau ke kota esok pagi sampaikan salam rinduku
Katakan padanya padi-padi telah kembang
Ani-ani seluas padang roda giling berputar-putar
Siang malam tapi bukan kami punya
Kalau ke kota esok pagi sampaikan salam rinduku
Katakan padanya tebu-tebu telah kembang
Putih-putih seluas padang
Roda lori berputar – putar siang malam
Tapi bukan kami punya
Anak-anak kini telah pandai menyanyikan gema merdeka
Nyanyi - nyanyi bersama-sama di tanah-tanah gunung
Anak-anak kini telah pandai menyanyikan gema merdeka
Nyanyi - nyanyi bersama-sama tapi bukan kami punya
Tanah pusaka tanah yang kaya
Tumpah darahku di sana kuberdiri
Di sana kumengabdi dan mati dalam cinta yang suci
Kalau ke kota esok pagi sampaikan salam rinduku
Katakan padanya nasi tumbuk telah masak
Kan kutunggu sepanjang hari
Kita makan bersama-sama berbincang-bincang
Di gubuk sudut dari desa
Katakan padanya padi-padi telah kembang
Ani-ani seluas padang roda giling berputar-putar
Siang malam tapi bukan kami punya
Kalau ke kota esok pagi sampaikan salam rinduku
Katakan padanya tebu-tebu telah kembang
Putih-putih seluas padang
Roda lori berputar – putar siang malam
Tapi bukan kami punya
Anak-anak kini telah pandai menyanyikan gema merdeka
Nyanyi - nyanyi bersama-sama di tanah-tanah gunung
Anak-anak kini telah pandai menyanyikan gema merdeka
Nyanyi - nyanyi bersama-sama tapi bukan kami punya
Tanah pusaka tanah yang kaya
Tumpah darahku di sana kuberdiri
Di sana kumengabdi dan mati dalam cinta yang suci
Kalau ke kota esok pagi sampaikan salam rinduku
Katakan padanya nasi tumbuk telah masak
Kan kutunggu sepanjang hari
Kita makan bersama-sama berbincang-bincang
Di gubuk sudut dari desa
BUKAN hanya petani atau masyarakat dusun yang menjadi bacaan Leo Kristi, kehidupan para nelayan pun digambarkan dengan indah dan dramatis, seperti dalam lagu “Gulagalugu Suara Nelayan”.
Lagu ini mungkin yang paling popular di kalangan penggemar musik balada rock di Indonesia.
Berayun-ayun lajuPerahu pak nelayan
Laju memecah ombak
Perahu Pak nelayan
(buih-buih memercik di kiri-kanan, buih-buih memercik di kiri-kanan)
Perahu…
Lihat-lihat nelayan rentang jala pukat
Tarik-tariklah tambang
Umpan sudah lekat
(ikannya melompat-lompat, ikannya melompat-lompat)
Riang riaaang…
Jauh di kaki langit terbentang layarmu
Kadang naik
Kadang turun
Dimainkan oleh ombak
Badai laut biru
Gulagalugu suara nelayan
Berayun-ayun laju
Berayun-ayun laju…
Gulagalugu suara nelayan
Berayun-ayun laju
Berayun-ayun laju…
Sebenarnya apa yang diinginkan Leo Kristi maupun rakyat Nusantara ini, kita hidup merdeka, dan bebas membangun kemakmuran bangsanya di negeri yang kaya ini. Ini tercermin dalam liriknya di lagu “Nyanyian Tanah Merdeka”.
Seperti satu meriam kala meledak
Seribu bedil adakah berarti
Kalau laras - laras sudah berbalik
Apalagi kau tunggu saudara
Ayo nyalakan api hatimu
Seribu letupan pecah suara
Sambut dengan satu kata “ Merdeka ! “
Merah putih mawar melati
Merah putih bara hati
Merah putih mawar hati
Merah putih setiap hati
Bunga-bunga berguguran
Di sana di bawah panji
Tanah airku tanah merdeka
Bunga-bunga berguguran
Di sana di bawah panji
Tanah airku tanah merdeka
Seribu bedil adakah berarti
Kalau laras - laras sudah berbalik
Apalagi kau tunggu saudara
Ayo nyalakan api hatimu
Seribu letupan pecah suara
Sambut dengan satu kata “ Merdeka ! “
Merah putih mawar melati
Merah putih bara hati
Merah putih mawar hati
Merah putih setiap hati
Bunga-bunga berguguran
Di sana di bawah panji
Tanah airku tanah merdeka
Bunga-bunga berguguran
Di sana di bawah panji
Tanah airku tanah merdeka
Sebenarnya begitu banyak yang dapat dikupas dari lirik lagu milik Leo Kristi, tapi setidaknya tulisan ini dapat membuat kita kembali mendengarkan lagu-lagu Leo Kristi, sehingga jiwa menjadi tenang. Terkhusus para pemusik Indonesia, tampaknya perlu mengambil spirit Leo Kristi, sehingga pada masanya hanya karya yang akan dikenang, bukan perilaku buruknya yang membuat generasi muda jauh dari persoalan bangsa dan negara ini.
* Pekerja budaya
0 comments:
Post a Comment