Leon Agusta*
Tak ada yang baru di bawah langit. Begitu sering kita dengar banyak orang mengatakan. Namun, selalu ada cara pandang yang baru tentang apa atau bagaimana adanya sesuatu dibawah langit. Selalu pula ada cara pendekatan baru terhadap sesuatu yang sudah berlalu-terhadap sesuatu-misalnya karya dari masa silam. Dari segala sesuatu yang ada sebagian eleman sudah dieksplorasi, tetapi ini tidak berarti bahwa tidak mungkin ada elemen lain yang dapat dieksplorasi.
Setiap generasi baru dalam seni selalu melihat atau menyiasati apa yang sudah dilakukan oleh seniman gererasi sebelumnya dengan cara pandang yang berbeda. Perbedaan konteks dan pengalaman akan melahirkan berbagai pertanyaan baru dengan fokus pada elemen-elemen tertentu. Semuanya ini mendorong mereka untuk melahirkan sesuatu yang baru di luar paradigm dan wacana lama. Hasilnya adakalanya melahirkan paradigma baru yang pada gilirannya akan menghasilkan karya baru pula.
Dari eksplorasi semacam ini, lahirlah karya Denny JA, Atas Nama Cinta, yang disebut sebagai puisi-esai. Lalu, dari sebutan puisi-esai muncul pertanyaan: bagaimana mendefinisikan esai untuk membedakan dengan puisi? Apakah perbedaannya terletak pada isi, bentuk, persepsi, atau perspektif? Kemudian muncul sebuah pertanyaan lagi: apakah puisi dapat berfungsi sebagai pemicu pemikiran rasional untuk menggerakkan lahirnya sebuah puisi-esai?
Jurnalisme dan statistik serta analisis mampu menghadirkan fakta atau kenyataan dari suatu situasi dan kondisi suatu kehidupan masyarakat di suatu waktu dan tempat tertentu. Hal ini tercermin dalam bentuk tulisan yang didefinisikan sebagai esai. Adapun estetika memiliki potensi untuk mengungkapkan sensitivitas kemanusiaan, kedalaman perasaan, intuisi, dan imajinasi sehingga menghadirkan kesan mendalam terhadap pembaca bagaimana wajah nasib dan penderitaan manusia kedalam rasionalitas melalui empati pada bentuk tulisan yang didefinisikan sebagai puisi. Jadi, apakah mungkin puisi-esai dapat menghantarkan pembaca pada penghayatan dengan warna perasaan yang kaya nuansa?
Dalam konteks di atas, puisi-esai Denny JA berakar pada realitas masyarakat berupa kejadian dan peristiwa dalam berbagai kategori analisis dengan fokus tunggal pada problematik diskriminasi di Indonesia. Sejak awal, bentuk, konteks, dan isi karya Denny JA adalah esai dalam format puisi.
Bukan Baru
Sebenarnya, dalam sejarah sastra Indonesia, upaya mempertemukan atau menggabungkan bentuk-bentuk tulisan yang berbeda dalam satu karya sastra bukan sesuatu yang baru. Dalam hal ini mungkin sebaiknya ada sedikit perbandingan dengan Rendra. “Si Burung Merak” ini menulis puisinya, seperti diakuinya sendiri, dalam bahasa pamflet. Ini dilakukannya untuk merespons kenyataan social politik pada waktu itu. Ungkapan-ungkapannya lugas, sama sekali tidak rumit. Begitu mendengar, maksudnya langsung bisa ditangkap. Pesan politiknya tampak lebih diutamakan ketimbang estetika puisi.
Denny menggali sumber kekuatan estetik lebih dalam pada buku puisi-esainya Atas Nama Cinta yang merupakan gugatan terhadap isu sosial dalam bingkai diskriminasi. Dalam konteks ini, kekuatan estetika dalam narasi akan merupakan jembatan emas untuk menyampaikan pengalaman emosional, sedangkan catatan kaki memperkuatnya dengan pengalaman intelektual. Dengan demikian, ditemukan satu titik temu untuk mencapai keseimbangan antara penghayatan dan pengertian.
Dalam hal ini, pendekatan puisi-esai Denny, merupakan upaya menyatukan pengalaman emosional dan rasional dalam sebuah karya, mungkin bisa dikatakan lebih dekat dengan tehnik penyair Toeti Heraty dalam Calon Arang (Yayasan Obor Indonesia Tahun 2000).Seperti yang ditulis oleh Seno Gumira Ajidarma dalam pengantar buku ini, yang disebut karya “prosa lirik” oleh penulisnya sendiri, tak pelak lagi, ini adalah karya seorang pejuang feminisme. Di awal pengantarnya Seno menulis, “….setidaknya terdapat dua jalan menuju buku ini. Jalan pertama adalah tradisi Calon Arang. Jalan kedua, tentu kedudukan perempuan dalam puisi-puisi Toeti Heraty.”
Jadi prosa lirik Calon Arang karya Toeti Heraty dapat dimasuki melalui pintu dunia kepenyairan Toety Heraty sendiri yang sikap dan pandangannya sudah diungkapkan, misalnya pada kumpulan puisi Sajak-Sajak 33 and Mimpi dan Pretensi.
Dalam buku Calon Arang, Toeti Heraty tidak memakai catatan kaki dalam memunculkan unsur rasional untuk mengimbangi narasi emosional. Dia lebih memilih mengarahkan kesadaran pembaca melalui anak judul “Kisah Perempuan Korban Patriaki” dan mendedikasikan karyanya kepada “setiap perempuan yang meredam kemarahan”. Dengan demikian Toeti Heraty menerapkan bingkai yang kuat dan ketat untuk menjaga agar fokus pembacaan sesuai dengan teks.
Dalam buku Atas Nama Cinta, Denny JA juga member petunjuk mengenai isi intelektualnya dengan anak judul “Sebuah Puisi Esai: Isu Diskriminasi Dalam Untaian Kisah Cinta Yang Menggetarkan Hati”, dengan demikian, isu sentral yang diajukan melalui lima kisah cinta pada buku ini disampaikan sekaligus dengan kriteria puisi esai.
Pemahaman tentang pendekatan dan alasan seorang penyair menulis puisi pamplet, puisi esai, prosa lirik, atau apapun namanya, memang diperlukan. Pemahaman tentang keanekaragaman alasan para penyair dalam menulis puisi dapat membantu kita dalam upaya memahami keberagaman karya yang dihasilkan para penyair dari masa ke masa. Dengan ini, jika ada perbincangan, kita akan berada dalam jalur yang mengasyikan. Konteks zamannya terjaga. Begitu pula dengan otentisitas masing-masing penyair.
Jika terjadi pencampuradukan dalam membandingkan, misalnya karena mengabaikan konteks zamannya atau otentisitas seorang penyair tak diindahkan, perbincangan takkan mengasyikan lagi.
Penamaan puisi-esai, menurut Denny JA, adalah karena kebutuhan ekpresi kisah-kisahnya. Wujudnya adalah puisi dengan cita rasa esai, esai tentang isu sosial yang diungkapkan secara puitis.
Cita Rasa
Untuk lebih mengesankan cita rasa esai, Denny JA juga secara sadar membutuhkan pencantuman catatan kaki, diantaranya ada yang sangat mengejutkan. Misalnya, catatan kaki (4) halaman 164 mengenai “Tafsir Baru atas Nikah Beda Agama” tentang pernikahan Nabi Muhammad SAW dan beberapa sahabat dengan perempuan yang bukan penganut agama Islam (http://icrp-online.org/082008/post-17.html ).. Ada banyak informasi ataupun pengetahuan berharga dari catatan kaki yang dapat menghantarkan pembaca pada pemahaman lebih mendalam tentang puisi-esai. Catatan kaki ini berperan bagaikan paru-paru bagi kisah-kisah yang disajikan sehingga puisi esai hidup dan bernapas bukan hanya sebatas lingkungan masyarakat sastra, melainkan menerobos ke tengah masyarakat luas.
Semua topik yang disajikan Atas Nama Cinta jelas sekali lebih merupakan bahan baku untuk penulisan esai, yakni isu-isu sosial yang relevan dan aktual. Denny JA ingin menyajikan dalam format sebuah esai yang lazim untuk mengisi otak. Dia juga memiliki dorongan kuat untuk memanfaatkan estetika bahasa yang mampu membuat pembacanya masuk ke dunia nyata melalui penghayatan seni.
Dengan demikian Denny JA mempunyai pengalaman dan pandangan yang khas terhadap kehidupan sosial, terutama sastra . Mungkin ia merasa terhina jika dikatakan menjadi sekedar peniru atau seorang murid penurut terhadap fatwa-fatwa para guru. Penulis yakin, Denny JA sama sekali tidak merasa terlalu penting untuk dibandingkan kehadirannya dengan para penyair terdahulu.
Dengan puisi-esai yang disajikannya, Denny JA sudah membuka jendela baru bagi masyarakat sastra Indonesia untuk melihat kenyataan sejarah peradaban dengan cara yang baru pula, kemudian mengungkapkannya dengan pendekatan yang juga baru. Masalah kemanusiaan dan ketidakadilan membelenggu masyarakat kita di mana-mana. Kreativitas seni berupaya membebaskan belenggu itu dengan memberikan pencerahan kesadaran terhadap kompleksitas kondisi zamannya. Disinilah peranan puisi-esai yang dilahirkan Denny JA.
Dalam konteks ini, tampaknya Maman S Mahayana (MSM) tidak terkesan dengan kehadiran puisi-esai Atas Nama Cinta.
Kritik MSM dalam artikel “Posisi Puisi, Posisi Esai” (Kompas, Minggu, 30 Desember 2012, halaman 20) ada satu pertanyaan menarik seputar perbincangan puisi-esai Denny JA: “Lalu bagaimana dengan catatan Ignas Kleden, Sapardi Djoko Damono dan Sutarji Calzoum Bachri dalam antologi itu? Apakah itu sebagai stempel legitimasi tentang konsep puisi-esai?”
Pertanyaan ini langsung dijawabnya sendiri berupa kesimpulan dengan nada terkesan merendahkan: “Catatan mereka adalah bentuk apresiasi yang tentu saja berbeda dengan legitimasi.”
Penulis jadi bertanya-tanya: apakah kehadiran puisi-esai harus dilegitimasi? Apakah puisi-esai mengganggu dunia kelangenan para penyair yang secara kultural harus memelihara tatanan, hierarki, dan kepatuhan?.
Sekarang pertanyaan yang perlu ditambahkan adalah: legitimasi dari siapa? Siapa sesungguhnya yang berhak memberikan “stempel legitimasi” terhadap konsep puisi-esai atau konsep puisi penyair manapun? Dari mana seseorang mendapatkan hak sedemikian? Apakah Denny JA memerlukan legitimasi seperti yang dipahamkan MSM? Sejauh pengenalan saya tentang cara berfikir dan sepak terjang Denny JA dalam dunia perpuisian yang dibangunnya, cara berpikir, pertanyaan, dan kesimpulan MSM sepertinya sudah jauh ketinggalan zaman.
Pertanyaan dan kesimpulan MSM itu membuat penulis terkenang pada satu komentar penyair yang menetap di Padang, Rusli Marzuki Saria (75) dalam satu perbincangan santai di sela-sela Pertemuan Sastrawan Indonesia 2012 di Makasar, akhir November lalu. Ia mensinyalir adanya budaya feodalisme yang menguasai dunia sastra kita”.
*Penyair
**Tulisan pernah dimuat di inspirasi.co
0 comments:
Post a Comment