Sunardian Wirodono |
Kontroversi dalam buku 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh tampak begitu marak di dunia internet akhir-akhir ini. Sontak menenggelamkan kehebohan sebelumnya, yang banyak dihiasi dengan pembicaraan tokoh sastra bernama Sitok Srengenge, berkait kasus pelaporan kekerasan seksual atas mahasiswa sastra Jerman, FIB, UI. Dua keriuhan itu, tetap saja bertumpu pada tokoh sastra, bukan karya sastra. Tulisan ini, ingin mendorong Tim 8, pemrakarsa terbitnya buku kontroversial itu, agar masyarakat pembaca pun bisa diajak serta, dan menjadikan sastra bukan hanya milik kaum sastrawan yang meributkannya.
Karenanya, tulisan ini juga hanya ingin berkonsentrasi pada penilaian atas buku itu, bukan pada hal-hal lainnya. Setidaknya, menurut hemat penulis, ada enam hal berbahaya yang harus dijelaskan pada publik sastra di Indonesia, berkait dengan buku itu.
Enam Bahaya Buku 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh: Pertama, metodologi pemerian 33 tokoh sastra Indonesia dan proses penerbitan buku 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh, sangat berbahaya. Prosesnya yang tidak transparan dan unfairness (lihat komplain Maman S. Mahayana yang kemudian menolak masuknya nama Denny JA dan bagaimana ceritanya tiket pesawat dari Korea Selatan akan diganti panitia, dll, serta pengakuan Ariany Isnamurti, Kepala Pelaksana Pusat Dokumentasi Sastra HB Jassin, yang mengatakan lembaganya tidak punya inisiatif atas hal itu). Antara kerja intelektual dan kerja tipu-tipu di sana (dalam istilah para penyair) berkelindan.
Dua, istilah 'tokoh sastra' dengan berbagai kriterianya, dan kemudian munculnya istilah 'paling berpengaruh' mengindikasikan ini sebagai proyek yang tendensius (terkait dengan point 1). Sesuatu yang sangat berbahaya, karena istilah yang superlatif itu, dalam pengantar pertanggungjawaban Tim 8 diuraikan secara inkonsisten, utamanya berkait 4 kriteria mereka sendiri tentang kepantasan 'tokoh'. Apalagi mengingat masing-masing dari Tim 8 itu menulis dan memilih tokoh-tokoh pilihannya sendiri, kemudian disunting oleh satu dari delapan orang itu yang semua merupakan kegiatan terpisah, kecuali diskusi yang hanya dua hari meski dikatakan sampai berdarah-darah.
Di sisi lain, istilah 'tokoh sastra' itu sendiri, agaknya dirancang sengaja untuk mereduksi kontroversi (yang toh tetap muncul, karena kita memang juga lebih suka ngomongin 'tokoh sastra' daripada 'karya sastra', dan akan menjadi debat kusir dengan memunculkan ranah ego dan etik).
Tiga, penerbitan oleh Gramedia dan PDS HB Jassin, juga harus dilihat sebagai proyek yang tidak bertumpu pada ukuran sastra (atau apa pun) secara akademik. Senyatanya, PDS HB Jassin menyatakan merasa tidak dilibatkan. Dalam pengakuan PDS HB Jassin dinyatakan lembaganya tidak pernah memberikan penghargaan sedemikian besar kepada ke-33 tokoh sastra (yang termaktub dalam buku itu). “Kegiatan ini sama seperti kegiatan peluncuran buku pada umumnya. Kami hanya fasilitator tempat kegiatan dan buku-buku yang dibutuhkan oleh tim 8 sebagai bahan riset/penelitian,” seperti dikatakan Aryani Isnamurti. Sementara, masyarakat awam juga harus sadar, bahwa banyak buku dengan label diterbitkan oleh Gramedia (atau penerbit berkelas lainnya) tapi belum tentu berdasar seleksi redaktur mereka. Ada kepentingan bisnis komersial masuk ke sana. Sekarang ini, lazim penerbit bisa dibeli oleh penaja (sponsor) yang punya kepentingan. Praktik ini banyak dilakukan di Indonesia. Banyak buku biografi tokoh yang 'membeli' penerbit berkelas. Gramedia juga tak tabu melakukan hal itu. Ini berbahaya, karena siapa punya uang bisa membeli 'pride'.
Empat, dalam pengantar dan juga promosinya, dikatakan bahwa buku 33 Tokoh Indonesia Paling Berpengaruh juga di-endors sebagai buku teks sejarah sastra paling sahih sepanjang 100 tahun, adalah menunjukkan tendensi sebenarnya. Dan ini berbahaya bagi dunia sastra Indoesia itu sendiri di masa kini dan mendatang. Tampaknya, oknum-oknum yang berada di balik proyek penerbitan buku ini, punya ancas atau tujuan lain, yakni memakai sastra sebagai proyek ekonomi (mereka), semata dengan menumpang 'nilai-nilai sastra', yang juga akan mereka pakai sebagai lobi-lobi ke Kemendiknas sebagai buku wajib sekolahan, bahkan ke festival buku internasional (salah satunya di Munchen tahun depan). Berbahaya bukan hanya untuk dunia sastra, tetapi pada generasi mendatang dan peradaban Indonesia itu sendiri tentunya.
Lima, dua dari 33 tokoh itu (Goenawan Mohamad dan Remy Sylado) menyatakan keberatan, dengan gaya masing-masing. Hal itu menunjukkan persoalan superlatif yang hendak dipaksakan. Maman S. Mahayana yang tetep tidak setuju dengan terpilihnya Denny JA masuk dalam 33 tokoh sastra, juga masuk dalam kriteria ini. Dissenting opinion Maman S. Mahayana, bisa sebagai pintu masuk membongkar skandal proyek "33 Tokoh Sastra,..." itu.
Enam, secara keseluruhan, proyek penerbitan buku ini sangat berbahaya, karena dengan proses yang unfair (munculnya TIM 8 itu mewakili siapa, atas dasar seleksi seperti apa, siapa yang memposisikan mereka). Jika mereka memakai nilai kepantasan yang netral, maka ketika masuk ke ranah publik pun dengan sikap yang mestinya netral juga. Ketika kemudian mereka masuk ke ranah publik dengan istilah-istilah yang penetratif, seperti "paling berpengaruh" dan "paling sahih", maka di sana akan muncul bahaya permanen, yakni pembodohan publik.
Publik diberi doktrin, dogma, tetapi bukan sebuah uraian yang netral, sebagaimana kerja akademis yang mesti berimbang, fair, tidak berpihak, kecuali pada kedalaman analisis dan kejujuran akademis atau intelektualitas. Di samping 33 tokoh sastra itu, disebut tokoh-tokoh lainnya, tetapi Tim 8 mengatakan "pengaruhnya tidak sebesar" 33 tokoh terpilih. Berarti ada pemeringkatan. Siapa nilai pengaruhnya yang paling kuat? Nomor satu, dua, tiga, dst? Apa pengaruh Ayu Utami di Indonesia, dalam bidang apa, seberapa, terus kemudian dibanding pengaruh Seno Gumira Ajidarma lebih besar siapa, atas ukuran apa, kenapa? Apakah pengaruhnya permanen lintas generasi, atau hanya pada jamannya? Apa saja pengaruhnya, bukti empiriknya, dan apakah referensi serta riset mereka meyakinkan? Sementara dalam pengantar buku itu kemudian di-endors (untuk kepentingan-kepentingan berikutnya dalam hal distribusi, penjualan) dengan mengatakan ini buku teks sejarah sastra paling sahih. Atas dasar apa? Mengapa tidak sekalian menyebar pooling ke publik dengan pertanyaan: "Siapa di antara tokoh sastra ini yang paling berpengaruh?"
Perdebatan Dunia Maya dan Monolog Masing-masing Blog
Jika Tim 8 bisa menjelaskan 6 bahaya di atas, saya kira penerbitan buku ini akan melahirkan diskusi yang lebih produktif. Tentu saja dalam sebuah forum yang terhormat, entah dalam bentuk debat atau diskusi terbuka, atau berani membuat forum sebagaimana "Pengadilan Puisi" di Bandung 1974 dulu. Daripada hanya ribut dalam cyber-war (ini lebih sebagai himbauan untuk Tim 8), yang bisa berkembang kemana-mana. Misal, menurut berita terbaru Cecep Syamsul Hari, redaktur sastra Horison, mulai 16 Januari ini resmi mengundurkan diri berkait kasus buku "33 Tokoh Sastra Indonesia,.."
Apa hubungannya coba? Sementara keriuhan di dunia internet, dengan pembaca beragam, bisa memunculkan fanatisme-fanatisme baru yang sama-sama rapuh (mohon kalimat ini dimengerti dalam konteks sistem kerja pola rating/pemeringkatan top issue yang computerized dan updating secara otomatis berdasar volume netting di dunia internet,isadari). Riuh rendah di dunia internet itu, seolah menguatkan pendapat bahwa kehadiran seorang tokoh, bisa ditengarai dari begitu berjibunnya netting tentang hal itu di dunia maya. Karena memang itulah yang dipakai untuk ukuran, atau sistem pemeringkatan, pengguna media siber.
Sementara kita mati-matian membela bahwa dunia sastra lebih menggeluti nilai daripada jumlah. Sedang tak banyak yang mengetahu perbedaan antara nilai dengan jumlah. Dalam konteks ini, tidak ada maksud penulis untuk mengatakan apa yang riuh berlangsung di dunia internet (dunia maya) tidak layak diperhatikan, namun bagaimana menyelesaikan kasus ini, jika hal itu memang dipandang sebagai kasus atau persoalan?
Apa yang dilakukan dalam Pengadilan Puisi Indonesia Mutakhir 1974 di Bandung, meski terasa sebagai 'konyol-konyolan', toh tak kurang HB Jassin sendiri (sebagai tertuduh dalam peristiwa sastra di Bandung itu) mengatakan bahwa pengadilan itu merupakan perangsang untuk menimbulkan kesungguhan dalam mencari kebenaran material.
Bahkan dalam tanggapan acara di Bandung, muncul beberapa makalah penanggap dari MS Hutagalung (Puisi Kita Dewasa Ini), Sapardi Djoko Damono (Catatan Atas Pengadilan Puisi dan Tuntutan Slamet Sukirnanto), dan pemikiran-pemikiran lain, yang kemudian semuanya itu dibukukan oleh Pamusuk Eneste dalam "Pengadilan Puisi". Sapardi menganggap keputusan pengadilan puisi tidak dapat diterima, karena keberadaan majalah Horison tidak ditentukan oleh Slamet Sukirnanto. Baginya, Slamet Sukirnanto adalah korban kekocakan Darmanto Jatman. Dan adalah kaitannya langsung, dua bulan setelah peristiwa itu, majalah sastra Horison membuat teks lengkap Kredo Puisi Sutardji Calzoum Bachrie.
Banyaknya pembicaraan dan netting buku kontroversial ini di internet, justru bisa dipakai sebagai bukti standar internasional mengenai top ranking issues itu. Bisa membola-liar dan membola-salju. Apalagi pertengkaran di dunia maya itu toh lebih merupakan soliloqui, karena hanya berbalas pantun dalam blog masing-masing. Bandingkan dengan Pengadilan Puisi yang kemudian mengantar pada fase itu, bagaimana majalah sastra Horison mengalami guncangan dan melakukan sedikit perubahan secara tidak langsung. Diskusi pada masing-masing blog, dengan masing-masing follower-nya, tentu saja tidak cukup sehat. Dan hal itu bisa kontra-produktif, karena siapa yang menengahi kalau masing-masing bicara sendiri-sendiri, tanpa mediasi?
Apresiasi sastra kita, semestinya bukan hanya menjadi urusan kaum sastrawan saja. Intinya, ganyang pembodohan masyarakat dari buku-buku bodoh, yang diterbitkan atas dasar nafsu yang juga bodoh. Baik yang pro dan yang kontra, bertemulah, dan carilah bersama sumber material kebenaran itu.
Pertanyaan terpenting saya cuma: Berapa duit dihabiskan untuk proyek penerbitan buku ini, untuk apa saja, dan darimana duitnya. Namun mendapatkan jawaban atau tidak atas pertanyaan itu: saya tetap menunggu, bagaimana polisi menangani kasus pelaporan kekerasan seksual atas mahasiswa sastra Jerman UI bernama RW, 29 November 2013 lalu, yang sampai kini senyap. Meski pun kalau tokoh sastra mengotori, saya juga belum bisa berharap polisi membersihkannya, apalagi dengan pasal pecemaran nama baik. Ta(b)ik!
Sumber: sunardian.blogspot.com
0 comments:
Post a Comment