OPINI
Ridwan Saifuddin*
Wacana politik selalu sarat dengan kepentingan. Termasuk wacana pemimpin muda dalam pemilu. Pemimpin muda diasosiasikan figur yang secara usia relatif muda. Batasan usia muda bervariasi. Ada yang menyebut 17–30 tahun, ada juga yang diatas 30 tahun. Tentu katagori usia muda ini tidak untuk yang sudah 60 tahun.
Pemimpin muda tidak hanya ramai di kancah politik. Dalam dunia bisnis orang-orang muda kini pun semakin berkibar. Kiprahnya tak bisa dipandang sebelah mata. Semakin banyak eksekutif muda dan manajer papan atas lahir dari kalangan gen-y. Mereka mampu mengartikulasikan kreatifitas dan progresifitasnya sebagai ciri kaum muda, dan mereka sukses memimpin serta mengelola bisnis.
Pascareformasi wacana pemimpin muda muncul di setiap pemilu. Secara kuantitas segmen ini menggiurkan, karena lebih dari 60 juta penduduk termasuk dalam katagori pemilih muda menurut sensus 2010. Baik dalam pemilihan calon legislatif maupun calon eksekutif, konstituen muda selalu menantang.
Publik tentu boleh berharap dengan kamu muda. Bahkan perlu dan harus. Sebab siapa lagi kalau bukan generasi muda yang akan melanjutkan estafeta peradaban. Sudah cukup banyak kiprah dan karya kaum muda untuk pembangunan bangsa ini sejak sebelum kemerdekaan hingga kini, dalam berbagai bidang. Kepala daerah terpilih hasil pemilukada di beberapa tempat juga berhasil direbut kaum muda. Anggota legislatif orang muda pun semakin banyak.
Namun, wacana pemimpin muda masih condong bersifat eforia. Belum ramai kiprah perjuangan idealismenya. Munculnya pemimpin politik dari kaum muda masih belum sepenuhnya diimbangi kapasitas, kreativitas, dan kemampuannya yang baik. Sosok muda yang muncul diantaranya lebih terkesan dipaksakan, karena faktor keturunan, kekayaan, atau kepopularan. Soal kapasitas pemikiran, visi, atau kapabilitas kepemimpinan condong masih menjadi nomor sekian.
Bahkan, diantara tokoh muda yang kemudian terjun ke politik menjadi anggota Dewan, misalnya, yang tadinya idealis, alih-alih tidak mampu mengekspresikan idelaismenya itu dalam karya politik yang nyata. Celakanya, idealisme itu kemudian sedikit demi sedikit luntur.
Birren dan Jenner (1997) membedakan usia menjadi tiga dimensi, yaitu usia biologis yang merujuk jangka waktu sejak seseorang lahir. Kemudian usia psikologis yang menunjuk kemampuan sesorang untuk mengadakan penyesuaian-penyesuaian pada institusi yang dihadapi atau dikelolanya, dan usia sosial yang menunjukkan peran-peran yang diharapkan oleh masyarakat terhadap seseorang terkait dengan usianya.
Sayangnya sosok muda yang muncul dalam ruang publik dan politik praktis tidak semua mampu menampilkan keseimbangan kematangan usia tersebut. Beberapa diantaranya bahkan gagal dalam membangun kerja publik dengan bekal idealismenya. Akhirnya, publik belum melihat bukti ada nilai lebih yang ditawarkan dan dikerjakan dengan hadirnya sosok muda di dunia praktis sekarang ini.
Bahkan, sosok muda yang secara pendidikan relatif lebih tinggi, juga tidak menampakkan kematangan dan kebijaksanaan yang lebih baik. Pendidikan formal yang dienyam dan gelar yang disandang para sosok muda tidak juga menghasilkan kinerja dan manfaat yang lebih tinggi ketika ia menduduki jabatan publik. Publik justru disajikan kenyataan sosok muda di kancah politik ikut-ikutan membuat catatan buruk semisal korupsi; seperti menghapus bersih kosep idealismenya.
Banyak lagi catatan yang bisa kita sajikan seputar kinerja pemimpin muda yang tidak sesuai harapan. Apa yang salah?
Tidak bermaksud menjawab tuntas pertanyaan di atas, tetapi faktor eksternal terasa sangat kuat dalam kemunculan pemimpin muda akhir-akhir ini. Baik sebagai politisi di parlemen maupun kepala daerah.
Munculnya caleg-caleg muda yang diusung partai sebagian besar adalah bukan produk kaderisasi ideologis partai. Mereka sebagian adalah kerabat dari elite-elite partai yang belum teruji kiprahnya menjalankan amanah publik. Sebagian lagi adalah hasil dari rekrutmen tanpa pengkaderan yang matang dan relevan dengan kebutuhan sekarang secara konsepsi maupun ideologi. Ini tentu hanya untuk menunjuk kasus per kasus, bukan sebagai generalisasi.
Begitu juga dalam pemilihan kepala daerah, dimana muncul calon-calon muda, yang kebanyakan kemunculannya bukan atas dasar kapasitas pribadi. Melainkan lebih karena faktor keturunan, kekayaan, atau popularitas keartisan. Mereka muncul dengan beragam cara rekayasa, marketing politik, dan manipulasi citra dengan memanfaatkan back up kekerabatan dan materi. Karena itu pula muncul fenomena dinasti politik.
Tulisan ini bukan hendak menyoal kemampuan orang muda untuk tampil memimpin. Kegalauan kita adalah kenapa tampilnya orang muda dalam kancah politik dewasa ini bukan karena kapasitas dan kemampuan pribadinya, tetapi lebih karena faktor luar yang tentu tidak bisa diharapkan akan bisa mendorong lahirnya kinerja yang prima dan relevan dengan yang dibutuhkan rakyat. Faktor luar yang tidak mungkin membuat kaum muda bisa melakukan perubahan.
Pada saat yang sama kita juga dibuat galau dengan praktik politik kita yang padat modal. Seperti tidak memberikan ruang bagi hadirnya idealisme kaum muda—atau siapa pun—yang tak punya latar belakang modal finansial yang kuat.
Terlepas itu semua, pemimpin muda yang ideal tentu yang punya kekuatan dari dalam dirinya sendiri untuk tampil. Bukan sekedar tampil, tetapi mampu menerjemahkan idealismenya, kreatifitasnya, progresifitasnya, serta pemikiran-pemikiran segarnya untuk menghela perubahan yang diimpikan rakyat. Seperti pesawat, yang hanya akan terbang karena dorongan tenaga yang kuat dari dalam dirinya, bukan karena didorong-dorong atau ditarik-tarik oleh kekuatan luar.
Yang pasti, wacana pemimpin muda bukan alasan untuk mengorbitkan pemimpin secara instan. Bukan seperti buah muda yang dikarbit supaya cepat matang; sebab rasanya pasti kurang enak. Kalau demikian adanya, kasian pemimpin muda itu. Ciyuus...
* Penulis, berhikmat di Lampung Media Center (LMC)
Ridwan Saifuddin*
Wacana politik selalu sarat dengan kepentingan. Termasuk wacana pemimpin muda dalam pemilu. Pemimpin muda diasosiasikan figur yang secara usia relatif muda. Batasan usia muda bervariasi. Ada yang menyebut 17–30 tahun, ada juga yang diatas 30 tahun. Tentu katagori usia muda ini tidak untuk yang sudah 60 tahun.
Pemimpin muda tidak hanya ramai di kancah politik. Dalam dunia bisnis orang-orang muda kini pun semakin berkibar. Kiprahnya tak bisa dipandang sebelah mata. Semakin banyak eksekutif muda dan manajer papan atas lahir dari kalangan gen-y. Mereka mampu mengartikulasikan kreatifitas dan progresifitasnya sebagai ciri kaum muda, dan mereka sukses memimpin serta mengelola bisnis.
Pascareformasi wacana pemimpin muda muncul di setiap pemilu. Secara kuantitas segmen ini menggiurkan, karena lebih dari 60 juta penduduk termasuk dalam katagori pemilih muda menurut sensus 2010. Baik dalam pemilihan calon legislatif maupun calon eksekutif, konstituen muda selalu menantang.
Publik tentu boleh berharap dengan kamu muda. Bahkan perlu dan harus. Sebab siapa lagi kalau bukan generasi muda yang akan melanjutkan estafeta peradaban. Sudah cukup banyak kiprah dan karya kaum muda untuk pembangunan bangsa ini sejak sebelum kemerdekaan hingga kini, dalam berbagai bidang. Kepala daerah terpilih hasil pemilukada di beberapa tempat juga berhasil direbut kaum muda. Anggota legislatif orang muda pun semakin banyak.
Namun, wacana pemimpin muda masih condong bersifat eforia. Belum ramai kiprah perjuangan idealismenya. Munculnya pemimpin politik dari kaum muda masih belum sepenuhnya diimbangi kapasitas, kreativitas, dan kemampuannya yang baik. Sosok muda yang muncul diantaranya lebih terkesan dipaksakan, karena faktor keturunan, kekayaan, atau kepopularan. Soal kapasitas pemikiran, visi, atau kapabilitas kepemimpinan condong masih menjadi nomor sekian.
Bahkan, diantara tokoh muda yang kemudian terjun ke politik menjadi anggota Dewan, misalnya, yang tadinya idealis, alih-alih tidak mampu mengekspresikan idelaismenya itu dalam karya politik yang nyata. Celakanya, idealisme itu kemudian sedikit demi sedikit luntur.
Birren dan Jenner (1997) membedakan usia menjadi tiga dimensi, yaitu usia biologis yang merujuk jangka waktu sejak seseorang lahir. Kemudian usia psikologis yang menunjuk kemampuan sesorang untuk mengadakan penyesuaian-penyesuaian pada institusi yang dihadapi atau dikelolanya, dan usia sosial yang menunjukkan peran-peran yang diharapkan oleh masyarakat terhadap seseorang terkait dengan usianya.
Sayangnya sosok muda yang muncul dalam ruang publik dan politik praktis tidak semua mampu menampilkan keseimbangan kematangan usia tersebut. Beberapa diantaranya bahkan gagal dalam membangun kerja publik dengan bekal idealismenya. Akhirnya, publik belum melihat bukti ada nilai lebih yang ditawarkan dan dikerjakan dengan hadirnya sosok muda di dunia praktis sekarang ini.
Bahkan, sosok muda yang secara pendidikan relatif lebih tinggi, juga tidak menampakkan kematangan dan kebijaksanaan yang lebih baik. Pendidikan formal yang dienyam dan gelar yang disandang para sosok muda tidak juga menghasilkan kinerja dan manfaat yang lebih tinggi ketika ia menduduki jabatan publik. Publik justru disajikan kenyataan sosok muda di kancah politik ikut-ikutan membuat catatan buruk semisal korupsi; seperti menghapus bersih kosep idealismenya.
Banyak lagi catatan yang bisa kita sajikan seputar kinerja pemimpin muda yang tidak sesuai harapan. Apa yang salah?
Tidak bermaksud menjawab tuntas pertanyaan di atas, tetapi faktor eksternal terasa sangat kuat dalam kemunculan pemimpin muda akhir-akhir ini. Baik sebagai politisi di parlemen maupun kepala daerah.
Munculnya caleg-caleg muda yang diusung partai sebagian besar adalah bukan produk kaderisasi ideologis partai. Mereka sebagian adalah kerabat dari elite-elite partai yang belum teruji kiprahnya menjalankan amanah publik. Sebagian lagi adalah hasil dari rekrutmen tanpa pengkaderan yang matang dan relevan dengan kebutuhan sekarang secara konsepsi maupun ideologi. Ini tentu hanya untuk menunjuk kasus per kasus, bukan sebagai generalisasi.
Begitu juga dalam pemilihan kepala daerah, dimana muncul calon-calon muda, yang kebanyakan kemunculannya bukan atas dasar kapasitas pribadi. Melainkan lebih karena faktor keturunan, kekayaan, atau popularitas keartisan. Mereka muncul dengan beragam cara rekayasa, marketing politik, dan manipulasi citra dengan memanfaatkan back up kekerabatan dan materi. Karena itu pula muncul fenomena dinasti politik.
Tulisan ini bukan hendak menyoal kemampuan orang muda untuk tampil memimpin. Kegalauan kita adalah kenapa tampilnya orang muda dalam kancah politik dewasa ini bukan karena kapasitas dan kemampuan pribadinya, tetapi lebih karena faktor luar yang tentu tidak bisa diharapkan akan bisa mendorong lahirnya kinerja yang prima dan relevan dengan yang dibutuhkan rakyat. Faktor luar yang tidak mungkin membuat kaum muda bisa melakukan perubahan.
Pada saat yang sama kita juga dibuat galau dengan praktik politik kita yang padat modal. Seperti tidak memberikan ruang bagi hadirnya idealisme kaum muda—atau siapa pun—yang tak punya latar belakang modal finansial yang kuat.
Terlepas itu semua, pemimpin muda yang ideal tentu yang punya kekuatan dari dalam dirinya sendiri untuk tampil. Bukan sekedar tampil, tetapi mampu menerjemahkan idealismenya, kreatifitasnya, progresifitasnya, serta pemikiran-pemikiran segarnya untuk menghela perubahan yang diimpikan rakyat. Seperti pesawat, yang hanya akan terbang karena dorongan tenaga yang kuat dari dalam dirinya, bukan karena didorong-dorong atau ditarik-tarik oleh kekuatan luar.
Yang pasti, wacana pemimpin muda bukan alasan untuk mengorbitkan pemimpin secara instan. Bukan seperti buah muda yang dikarbit supaya cepat matang; sebab rasanya pasti kurang enak. Kalau demikian adanya, kasian pemimpin muda itu. Ciyuus...
* Penulis, berhikmat di Lampung Media Center (LMC)
0 comments:
Post a Comment