Suatu sore,di sebuah warung kopi di bawah rindang sebuah pohon jambu dan pohon munggur, seorang pria bertubuh kurus dan berwajah tirus tampak duduk bersila di atas dipan bambu. Usianya sekitar 35 tahun.
Laki-laki itu sedang membaca sebuah koran terbitan ibu kota edisi Minggu. Sesekali dia membuat coretan di sebuah kertas putih. Lalu, di sela-sela membaca dan membuat coretan, lelaki itu menyeruput kopi kental hangat.
Tak lama kemudian beberapa anak muda usia 20-an datang: dua laki-laki, empat perempuan. Mereka tampak akrab. Sesaat kemudian para anak muda yang baru datang itu juga membaca puisi dalam hati. “Baiklah, sekarang kamu Liza, apa yang bisa kamu tangkap dari puisi tersebut,” kata pria bertubuh kurus itu.
Dengan bahasa dan penafsirannya sendiri, seorang gadis yang disebut Liza pun kemudian menceritakan tentang isi puisi salah seorang penyair Indonesia yang dimuat di sebuah harian edisi minggu terbitan Jakarta.
Diskusi pun tambah seru ketika rekan-rekan Liza turut memberikan tanggapan. Diskusi tentang puisi itu tak menghasilkan kesimpulan. Enam remaja yang ikut belajar menafsirkan puisi itu memiliki penafsiran sendiri-sendiri tentang puisi yang sedang mereka bahas. Tugas pria berwajah tirus itu adalah sebagai fasilitator diskusi, yang sesekali memberikan ilustrasi tentang makna yang dikandung puisi yang sedang mereka bahas.
Pemandangan seperti itu nyaris terjadi setiap hari Minggu sore di warung Bang Muslim, di kompleks Taman Budaya Lampung, Jl. Cut Nyak Dien, Bandarlampung. Itu mereka lakukan sebelum mereka berlatih teater. Pria berwajah tirus dan bertubuh kerempeng itu adalah Iswadi Pratama, seorang sutradara terkenal di Lampung yang juga seorang penyair romantik.
Seperti halnya penyair Umbu Landu Paranggi yang banyak “melahirkan penyair” di Yogyakarta pada era 1970-an hingga 80-an dan di Bali di era 1990-an hingga 2000-an, Iswadi Pratama adalah seorang empu sastra. Iswadi layak disebut sebagai seorang empu lantaran dia tidak hanya berkarier di dunia sastra dan teater untuk dirinya sendiri, tetapi juga “melahirkan” para penyair. Ayah seorang putri ini juga menularkan gairah bersastra dan berteater kepada komunitas siswa SMU dan mahasiswa.
Berkat aktivitas bersastra yang makin marak di kalangan pelajar dan mahasiswa di Lampung, muncullah sebuah generasi sastra baru di Lampung yang kemudian karya-karyanya membanjiri media massa di Jakarta. Mereka umumnya lahir pada pertengahan tahun 1970-an dan awal tahun 19980-an. Hampir tiap minggu para sastrawan generasi baru—di samping generasi awal seperti Isbedy Stiawan ZS—dimuat di sejumlah media massa di Jakarta yang memiliki rubrik puisi, cerpen, dan esai. Hal itulah yang memposisikan Lampung sebagai daerah yang paling subur perkembangan penyairnya di Indonesia dalam tiga tahun terakhir.
Sementara esais-budayawan Nirwan Dewanto menjuluki generasi penyair Lampung sebagai Homo Lampungensis. “Beberapa nama penyair muda Lampung sangat menjanjikan. Karya-karya mereka akan dahsyat jika diasah lebih baik,” ujar Nirwan, saat membedah karya delapan penyair Lampung di Taman Ismail Marzuki, pertengahan September 2005 lalu.
Proses pelahiran penyair ala Iswadi, salah satunya, adalah dengan model diskusi dan bedah karya dengan peserta yang terbatas. Semua peserta dibiarkan menafsirkan sebuah teks puisi atau cerpen menurut penafsirannya sendiri.
Bersama dengan komunitas Teater Satu dan Komunitas Rumah Panggung yang dipimpinnya, Iswadi telah menularkan bakat bersastra dan berteater kepada generasi yang lebih muda. Bahkan, dia tak segan-segan untuk menjaring bibit-bibit penyair dan dramawan di Lampung dengan mendatangi sekolah-sekolah, terutama Sekolah Menengah Umum (SMU).
Para siswa yang sering mengikuti diskusi sastra dan ikut aktif di teater sekolah, biasanya ketika sudah kuliah akan melanjutkan hobinya dengan aktif di teater kampus. Siswa SMU dan SMK yang kebetulan kuliah di Universitas Lampung dan aktif di teater kampus dipastikan akan kembali bertemu dengan Iswadi. Sebab, Iswadi merupakan salah satu pendiri dan pembina teater kampus Universitas Lampung. Namanya teater Kurusetra. Pengelolanya adalah para anggota dan pengurus Unit Kegiatan Mahasiswa Bidang Seni (UKMBS).
Dari ketekunannya menyambangi sekolah-sekolah dan kampus, Iswadi Pratama kemudian “menemukan” sejumlah penyair dan dramawan berbakat, yang kemudian memperkaya khazanah kesusasteraan modern Indonesia. Di antara penyair generasi tahun 2000-an yang sedikit-banyak lahir karena campur tangan Iswadi, antara lain adalah Ari Pahala Hutabarat, Jimmy Maruli Alfian, Inggit Putria Marga, Lupita Lukman, Renata Renalsya, dan Hendri Roosevelt. Sementara cerpenis Lampung yang kemudian karya-karyanya banyak merambah media Jakarta pada generasi ini adalah Dyah Indra Mertawirana.
Karya-karya penyair muda kelahiran tahun 1975-an hingga 1980-an yang semuanya berbasis perguruan tinggi itu sudah dipublikasikan di sejumlah media bergengsi, seperti Kompas, Media Indonesia, Republika, Majalah Sastra Horison, Jurnal Puisi, Jurnal Cerpen, jurnal Kalam, serta beberapa antologi puisi bersama. Bahkan, selain sering memenangkan lomba cipta puisi, Jimmy Maruli Alfian—yang juga seorang hakim muda di Pengadilan Negeri Kotabumi, Lampung Utara—juga pernah diundang dalam pertemuan penyair internasional di Bali dan Lampung.
Tentang perannya turut melahirkan penyair generasi baru, Iswadi mengaku sebenarnya tak tepat kalau dirinyalah yang disebut telah melahirkan penyair. “Penyair tak pernah dilahirkan atau diciptakan. Saya hanya merangsang bakat mereka tumbuh secara wajar,” kata Iswadi.
Selain sebagai seniman, Iswadi sebenarnya dikenal sebagai seorang jurnalis. Sejak 1997, dia menjadi wartawan di Lampung Post. Pada tahun 2003 lalu, dia terpaksa mundur sebagai wartawan Lampung Post karena lebih memilih untuk menekuni dunia teater.
“Sejak tidak menjadi wartawan, praktis sumber nafkah keluarga hanya dari teater dan sastra. Namun, alhamdulillah semuanya berjalan lancar. Apalagi sejak, 2003 lalu Teater Satu mulai menerapkan manajemen modern. Sebagai penulis naskah dan sutradara saya mendapatkan honorarium. Sedikit-sedikit saya juga dapat job dari penyair Sitok Srengenge sebagai editor lepas di penerbit Kata Kita,” ujar Iswadi.
Selain belajar sebagai jurnalis, Iswadi mengajari para siswa SMU membuat puisi, cerpen,esai, dan menulis resensi pertunjukan seni. “Para pelajar ketika sangat antusias mengirimkan naskah. Lampung Post tidak memberi honor. Tapi, saya merangsang pelajar untuk menulis yang bagus lalu dikirimkan ke redaksi Lampung Post. Kalau tulisan itu dimuat, honornya dipakai mereka untuk biaya operasional. Beberapa di antara mereka sekarang benar-benar menjadi penulis dan penyair,” kata Iswadi.
Forum Teater Halaman, yaitu sebuah ajang diskusi dan workshop teater yang diikuti sejumlah kelompok teater Sekolah Menengah Umum (SMU) dan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK). Sebelum membentuk Forum Teater Halaman, Iswadi terlebih dulu membantu beberapa sekolah membentuk kelompok teater. Setelah ada belasan SMU dan SMK di Lampung yang memiliki grup teater, pada 2000 mulailah digelar Liga Teater Pelajar di Taman Budaya Lampung.
Sejak mendirikan Teater Satu pada tahun 1996, Iswadi telah menulis enam lakon teater: tiga lakon berisi protes sosial terhadap budaya tradisi, sementara dua lainnya berisi tentang protes sosial terhadap hilangnya ruang publik. Naskah lakon karya Iswadi yang berbicara tentang protes terhadap tradisi Lampung adalah Si Aruk (1998), Ikhaw (2000), dan Perempuan Pilihan (2004). Sementara naskah yang bercerita tentang hilangnya ruang publik adalah Penyakit Dalam Dan Lain-Lain (1996), Di Luar Panggung (2000), Nak (2001), Repertoar tentang Hujan (2004), dan Nostalgia Sebuah Kota (2004).
Selain mementaskan naskah karya sendiri, bersama Teater Satu, Iswadi lebih banyak mementaskan naskah-naskah asing. Misalnya Waiting For Godot (Samuel Becket), Lysistrata (Aristophanes), Impian di Tengah Musim (William Shakespeare), Jerit Tangis di Malam Buta (Ralf Lauckner), Pinangan (Anton Chekov), Penagih Utang (Anton Chekov), Pelayan (Jean Janet) dan Kucing Hitam (Edgar Allan Poe). Sementara naskah penulis Indonesia yang sering dijadikan bahan workshop Teater Satu adalah Kapai-Kapai, Umang-Umang, Prita Istri Kita karya Arifin C. Noer dan Monolog Nol karya Putu Wijaya.
Selama menjadi sutradara di Teater Satu, Iswadi telah menggarap lebih dari 50 pertunjukan dan melakukan pementasan di sejumlah kota di Indonesia. Selain pentas di Lampung, bersama Teater Satu Iswadi juga pernah pentas di Jakarta, Surabaya, Denpasar, Lombok, Makasar, Padang Panjang, Yogyakarta, Solo, Bandung, Tasikmalaya, Jambi, Bengkulu, Pekanbaru, dan Medan.
Iswadi mengaku, lebih enjoy menulis dan mementaskan naskah lakon ketimbang menulis puisi. Sebab, kata Iswadi, dengan menulis lakon dan mementaskannya terbuka peluang begitu lebar untuk melakukan kritik sosial. “Sementara kalau puisi itu daya jangkaunya terbatas. Artinya, komunikasi lewat teater lebih bisa menjaungkau publik yang lebih luas karena teater lebih mudah dipahami dan bisa lebih intim dengan penonton,” kata sarjana politik dari Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (Fisip) Universitas Lampung ini.
Berbeda dengan puisi-puisinya yang romantis, naskah lakon yang diciptakan Iswadi semuanya berisi tentang kritik sosial, baik kritik terhadap budaya tradisi maupun terhadap budaya modern. Dalam lakon Ikhaw, misalnya, Iswadi Pratama mengritik tradisi nenek moyang penduduk Lampung asli yang biasa melakukan upacara penyembelihan anak gadis pada saat bulan purnama.
Tradisi yang ada pada zaman Hindu itu, kata Iswadi, memposisikan perempuan sebagai korban para kepala adat atas nama dewa-dewa. “Mungkin hanya di Lampung pernah ada tradisi penyembelihan kepala gadis. Ironisnya, para gadis yang menjadi korban dan keluarganya bangga jika menjadi korban yang akan disembelih. Sebab, menurut kepercayaan mereka, dengan disembelih berarti mereka dipilih oleh dewa,” kata Iswadi.
Kritik terhadap nilai tradisi juga dilontarkan Iswadi Pratama dalam naskah lakon monolog berjudul Perempuan Pilihan. Naskah yang memenangkan penghargaan sebagai naskah terbaik, pemeran terbaik, dan artistik terbaik dalam acara Pesta Monolog yang digelar Dewan Kesenian Jakarta, tahun lalu, itu juga menyoroti soal ketertindasan perempuan.
Lantaran ketekunannya, berbagai prestasi pernah diraih Iswadi di bidang seni. Pada tahun 2003 lalu, misalnya, bersama Teater Satu, Iswadi mendapatkan empat penghargaan dalam Gedung Kesenian Jakarta (GKJ) Award dalam Festival Teater Alternatif masing-masing untuk kategori sutradara terbaik, naskah terbaik, grup terbaik, dan aktris terbaik dalam lakon Nostalgia Sebuah Kota.
Pada Juni 2005 lalu naskah yang sama yang digarap Iswadi juga mendapat penghargaan dari Kementerian Parisisata dan diundang dalam Indonesia Performing Art Nart (IPAM), di Nusa Dua, Bali.
(Oyos Saroso HN)
Laki-laki itu sedang membaca sebuah koran terbitan ibu kota edisi Minggu. Sesekali dia membuat coretan di sebuah kertas putih. Lalu, di sela-sela membaca dan membuat coretan, lelaki itu menyeruput kopi kental hangat.
Tak lama kemudian beberapa anak muda usia 20-an datang: dua laki-laki, empat perempuan. Mereka tampak akrab. Sesaat kemudian para anak muda yang baru datang itu juga membaca puisi dalam hati. “Baiklah, sekarang kamu Liza, apa yang bisa kamu tangkap dari puisi tersebut,” kata pria bertubuh kurus itu.
Dengan bahasa dan penafsirannya sendiri, seorang gadis yang disebut Liza pun kemudian menceritakan tentang isi puisi salah seorang penyair Indonesia yang dimuat di sebuah harian edisi minggu terbitan Jakarta.
Diskusi pun tambah seru ketika rekan-rekan Liza turut memberikan tanggapan. Diskusi tentang puisi itu tak menghasilkan kesimpulan. Enam remaja yang ikut belajar menafsirkan puisi itu memiliki penafsiran sendiri-sendiri tentang puisi yang sedang mereka bahas. Tugas pria berwajah tirus itu adalah sebagai fasilitator diskusi, yang sesekali memberikan ilustrasi tentang makna yang dikandung puisi yang sedang mereka bahas.
Pemandangan seperti itu nyaris terjadi setiap hari Minggu sore di warung Bang Muslim, di kompleks Taman Budaya Lampung, Jl. Cut Nyak Dien, Bandarlampung. Itu mereka lakukan sebelum mereka berlatih teater. Pria berwajah tirus dan bertubuh kerempeng itu adalah Iswadi Pratama, seorang sutradara terkenal di Lampung yang juga seorang penyair romantik.
Seperti halnya penyair Umbu Landu Paranggi yang banyak “melahirkan penyair” di Yogyakarta pada era 1970-an hingga 80-an dan di Bali di era 1990-an hingga 2000-an, Iswadi Pratama adalah seorang empu sastra. Iswadi layak disebut sebagai seorang empu lantaran dia tidak hanya berkarier di dunia sastra dan teater untuk dirinya sendiri, tetapi juga “melahirkan” para penyair. Ayah seorang putri ini juga menularkan gairah bersastra dan berteater kepada komunitas siswa SMU dan mahasiswa.
Berkat aktivitas bersastra yang makin marak di kalangan pelajar dan mahasiswa di Lampung, muncullah sebuah generasi sastra baru di Lampung yang kemudian karya-karyanya membanjiri media massa di Jakarta. Mereka umumnya lahir pada pertengahan tahun 1970-an dan awal tahun 19980-an. Hampir tiap minggu para sastrawan generasi baru—di samping generasi awal seperti Isbedy Stiawan ZS—dimuat di sejumlah media massa di Jakarta yang memiliki rubrik puisi, cerpen, dan esai. Hal itulah yang memposisikan Lampung sebagai daerah yang paling subur perkembangan penyairnya di Indonesia dalam tiga tahun terakhir.
Sementara esais-budayawan Nirwan Dewanto menjuluki generasi penyair Lampung sebagai Homo Lampungensis. “Beberapa nama penyair muda Lampung sangat menjanjikan. Karya-karya mereka akan dahsyat jika diasah lebih baik,” ujar Nirwan, saat membedah karya delapan penyair Lampung di Taman Ismail Marzuki, pertengahan September 2005 lalu.
Proses pelahiran penyair ala Iswadi, salah satunya, adalah dengan model diskusi dan bedah karya dengan peserta yang terbatas. Semua peserta dibiarkan menafsirkan sebuah teks puisi atau cerpen menurut penafsirannya sendiri.
Bersama dengan komunitas Teater Satu dan Komunitas Rumah Panggung yang dipimpinnya, Iswadi telah menularkan bakat bersastra dan berteater kepada generasi yang lebih muda. Bahkan, dia tak segan-segan untuk menjaring bibit-bibit penyair dan dramawan di Lampung dengan mendatangi sekolah-sekolah, terutama Sekolah Menengah Umum (SMU).
Para siswa yang sering mengikuti diskusi sastra dan ikut aktif di teater sekolah, biasanya ketika sudah kuliah akan melanjutkan hobinya dengan aktif di teater kampus. Siswa SMU dan SMK yang kebetulan kuliah di Universitas Lampung dan aktif di teater kampus dipastikan akan kembali bertemu dengan Iswadi. Sebab, Iswadi merupakan salah satu pendiri dan pembina teater kampus Universitas Lampung. Namanya teater Kurusetra. Pengelolanya adalah para anggota dan pengurus Unit Kegiatan Mahasiswa Bidang Seni (UKMBS).
Dari ketekunannya menyambangi sekolah-sekolah dan kampus, Iswadi Pratama kemudian “menemukan” sejumlah penyair dan dramawan berbakat, yang kemudian memperkaya khazanah kesusasteraan modern Indonesia. Di antara penyair generasi tahun 2000-an yang sedikit-banyak lahir karena campur tangan Iswadi, antara lain adalah Ari Pahala Hutabarat, Jimmy Maruli Alfian, Inggit Putria Marga, Lupita Lukman, Renata Renalsya, dan Hendri Roosevelt. Sementara cerpenis Lampung yang kemudian karya-karyanya banyak merambah media Jakarta pada generasi ini adalah Dyah Indra Mertawirana.
Karya-karya penyair muda kelahiran tahun 1975-an hingga 1980-an yang semuanya berbasis perguruan tinggi itu sudah dipublikasikan di sejumlah media bergengsi, seperti Kompas, Media Indonesia, Republika, Majalah Sastra Horison, Jurnal Puisi, Jurnal Cerpen, jurnal Kalam, serta beberapa antologi puisi bersama. Bahkan, selain sering memenangkan lomba cipta puisi, Jimmy Maruli Alfian—yang juga seorang hakim muda di Pengadilan Negeri Kotabumi, Lampung Utara—juga pernah diundang dalam pertemuan penyair internasional di Bali dan Lampung.
Tentang perannya turut melahirkan penyair generasi baru, Iswadi mengaku sebenarnya tak tepat kalau dirinyalah yang disebut telah melahirkan penyair. “Penyair tak pernah dilahirkan atau diciptakan. Saya hanya merangsang bakat mereka tumbuh secara wajar,” kata Iswadi.
Selain sebagai seniman, Iswadi sebenarnya dikenal sebagai seorang jurnalis. Sejak 1997, dia menjadi wartawan di Lampung Post. Pada tahun 2003 lalu, dia terpaksa mundur sebagai wartawan Lampung Post karena lebih memilih untuk menekuni dunia teater.
“Sejak tidak menjadi wartawan, praktis sumber nafkah keluarga hanya dari teater dan sastra. Namun, alhamdulillah semuanya berjalan lancar. Apalagi sejak, 2003 lalu Teater Satu mulai menerapkan manajemen modern. Sebagai penulis naskah dan sutradara saya mendapatkan honorarium. Sedikit-sedikit saya juga dapat job dari penyair Sitok Srengenge sebagai editor lepas di penerbit Kata Kita,” ujar Iswadi.
Selain belajar sebagai jurnalis, Iswadi mengajari para siswa SMU membuat puisi, cerpen,esai, dan menulis resensi pertunjukan seni. “Para pelajar ketika sangat antusias mengirimkan naskah. Lampung Post tidak memberi honor. Tapi, saya merangsang pelajar untuk menulis yang bagus lalu dikirimkan ke redaksi Lampung Post. Kalau tulisan itu dimuat, honornya dipakai mereka untuk biaya operasional. Beberapa di antara mereka sekarang benar-benar menjadi penulis dan penyair,” kata Iswadi.
Forum Teater Halaman, yaitu sebuah ajang diskusi dan workshop teater yang diikuti sejumlah kelompok teater Sekolah Menengah Umum (SMU) dan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK). Sebelum membentuk Forum Teater Halaman, Iswadi terlebih dulu membantu beberapa sekolah membentuk kelompok teater. Setelah ada belasan SMU dan SMK di Lampung yang memiliki grup teater, pada 2000 mulailah digelar Liga Teater Pelajar di Taman Budaya Lampung.
Sejak mendirikan Teater Satu pada tahun 1996, Iswadi telah menulis enam lakon teater: tiga lakon berisi protes sosial terhadap budaya tradisi, sementara dua lainnya berisi tentang protes sosial terhadap hilangnya ruang publik. Naskah lakon karya Iswadi yang berbicara tentang protes terhadap tradisi Lampung adalah Si Aruk (1998), Ikhaw (2000), dan Perempuan Pilihan (2004). Sementara naskah yang bercerita tentang hilangnya ruang publik adalah Penyakit Dalam Dan Lain-Lain (1996), Di Luar Panggung (2000), Nak (2001), Repertoar tentang Hujan (2004), dan Nostalgia Sebuah Kota (2004).
Selain mementaskan naskah karya sendiri, bersama Teater Satu, Iswadi lebih banyak mementaskan naskah-naskah asing. Misalnya Waiting For Godot (Samuel Becket), Lysistrata (Aristophanes), Impian di Tengah Musim (William Shakespeare), Jerit Tangis di Malam Buta (Ralf Lauckner), Pinangan (Anton Chekov), Penagih Utang (Anton Chekov), Pelayan (Jean Janet) dan Kucing Hitam (Edgar Allan Poe). Sementara naskah penulis Indonesia yang sering dijadikan bahan workshop Teater Satu adalah Kapai-Kapai, Umang-Umang, Prita Istri Kita karya Arifin C. Noer dan Monolog Nol karya Putu Wijaya.
Selama menjadi sutradara di Teater Satu, Iswadi telah menggarap lebih dari 50 pertunjukan dan melakukan pementasan di sejumlah kota di Indonesia. Selain pentas di Lampung, bersama Teater Satu Iswadi juga pernah pentas di Jakarta, Surabaya, Denpasar, Lombok, Makasar, Padang Panjang, Yogyakarta, Solo, Bandung, Tasikmalaya, Jambi, Bengkulu, Pekanbaru, dan Medan.
Iswadi mengaku, lebih enjoy menulis dan mementaskan naskah lakon ketimbang menulis puisi. Sebab, kata Iswadi, dengan menulis lakon dan mementaskannya terbuka peluang begitu lebar untuk melakukan kritik sosial. “Sementara kalau puisi itu daya jangkaunya terbatas. Artinya, komunikasi lewat teater lebih bisa menjaungkau publik yang lebih luas karena teater lebih mudah dipahami dan bisa lebih intim dengan penonton,” kata sarjana politik dari Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (Fisip) Universitas Lampung ini.
Berbeda dengan puisi-puisinya yang romantis, naskah lakon yang diciptakan Iswadi semuanya berisi tentang kritik sosial, baik kritik terhadap budaya tradisi maupun terhadap budaya modern. Dalam lakon Ikhaw, misalnya, Iswadi Pratama mengritik tradisi nenek moyang penduduk Lampung asli yang biasa melakukan upacara penyembelihan anak gadis pada saat bulan purnama.
Tradisi yang ada pada zaman Hindu itu, kata Iswadi, memposisikan perempuan sebagai korban para kepala adat atas nama dewa-dewa. “Mungkin hanya di Lampung pernah ada tradisi penyembelihan kepala gadis. Ironisnya, para gadis yang menjadi korban dan keluarganya bangga jika menjadi korban yang akan disembelih. Sebab, menurut kepercayaan mereka, dengan disembelih berarti mereka dipilih oleh dewa,” kata Iswadi.
Kritik terhadap nilai tradisi juga dilontarkan Iswadi Pratama dalam naskah lakon monolog berjudul Perempuan Pilihan. Naskah yang memenangkan penghargaan sebagai naskah terbaik, pemeran terbaik, dan artistik terbaik dalam acara Pesta Monolog yang digelar Dewan Kesenian Jakarta, tahun lalu, itu juga menyoroti soal ketertindasan perempuan.
Lantaran ketekunannya, berbagai prestasi pernah diraih Iswadi di bidang seni. Pada tahun 2003 lalu, misalnya, bersama Teater Satu, Iswadi mendapatkan empat penghargaan dalam Gedung Kesenian Jakarta (GKJ) Award dalam Festival Teater Alternatif masing-masing untuk kategori sutradara terbaik, naskah terbaik, grup terbaik, dan aktris terbaik dalam lakon Nostalgia Sebuah Kota.
Pada Juni 2005 lalu naskah yang sama yang digarap Iswadi juga mendapat penghargaan dari Kementerian Parisisata dan diundang dalam Indonesia Performing Art Nart (IPAM), di Nusa Dua, Bali.
(Oyos Saroso HN)
0 comments:
Post a Comment