Berbicara soal lumba-lumba di Indonesia, orang biasanya akan langsung menunjuk Pantai Lovina dan atraksi lumba-lumba di Taman Impian Jaya Ancol di Jakarta Utara. Kalau kita mau menikmati cengkerama lumba-lumba yang lebih eksotis, perairan Teluk Kiluan di Kecamatan Kelumbayan, Kabupaten Tanggamus, jauh lebih menarik.
Kalau di Pantai Lovina hanya ada puluhan hingga ratusan lumba-lumba dalam satu jenis, di sekitar perairan Teluk Kiluan terdapat ribuan lumba-lumba dalam dua jenis yang siap diajak bercengkerama. Begitu ada kapal melintasi perairan itu, ribuan lumba-lumba akan berloncatan ke atas permukaan air seolah menunjukkan kegirangannya.
Yang dialami Marry Steve, turis asal Kanada, misalnya. Steve tak kuasa menahan rasa suka citanya hingga air matanya mengalir. Dengan perahu kecil, akhir Agustus 2005 lalu, Steve mengunjungi Kiluan dipandu Riko Stefanus dari Yayasan Cinta Kepada Alam (Cikal).Hingga berjam-jam Steve bercengkerama bersama lumba-lumba yang bergantian terus menari di udara.
Pintu masuk teluk berupa selat sempit yang membatasi Selat Sunda dengan perairan teluk. Di Teluk Kiluan berdiam penduduk Dusun Bandung Jaya, Desa Kelumbayan, Kabupaten Tanggamus. Ada sekitar 200-an kepala keluarga mendiami pantai Teluk Kiluan, dengan pekerjaan utama sebagai nelayan dan pekebun. Hasil laut perairan Teluk Kiluan yang melimpah seolah menjadi “ladang emas” bagi warga Bandung Jaya.
Selama ini eksotisme atraksi lumba-lumba nyaris tidak terpublikasi secara luas karena baik Pemda Lampung maupun Pemda Kabupaten Tanggamus belum melirik perairan Teluk Kiluan sebagai obyek wisata yang layak jual. Kalau ada wisatawan lokal maupun wisatawan asing yang datang ke Teluk Kiluan pastilah itu karena informasi dari mulut ke mulut. Padahal, selain atraksi lumba-lumba, di sekitar Teluk Kilauan juga terdapat pantai pasir putih, air terjun, dan tempat berselancar yang menawan. Turis juga bisa berkemah dengan aman sambil mengintip penyu bertelur.
“Tapi, biasanya, wisatawan yang sudah pernah datang ke Teluk Kiluan akan datang lagi. Para turis tidak mau menyia-nyiakan kesempatan untuk menikmati keindahan pantai yang masih sangat perawan,” tutur Riko Stefanus.
Yayasan Cikal menjadi perintis pengembangan usaha pariwisata di Teluk Kiluan. Bersama-sama dengan warga setempat, Yayasan Cikal membentuk beberapa kelompok konservasi alam. Antara lain adalah Formasi Baja (Forum Komunikasi Bandung Jaya), yaitu kelompok masyarakat di daerah Teluk Kiluan yang kini menangani ekowisata di Teluk Kiluan.
Jika ada turis datang, warga setempat yang tergabung dalam kelompok konservasi tak segan-segan menawari turis untuk berkeliling dengan perahu motor yang biasa disewa Rp150 ribu/perahu. Dengan perahu motor itulah nelayan setempat sekaligus menjadi pemandu wisata untuk mengajak para turis bercengkerama dengan lumba-lumba.
Kalau masih pagi biasanya lumba-lumba masih ada di sekitar Teluk Kiluan. Jika sudah siang lumba-lumba itu sudah berada di jauh di tengah laut. Lumba-lumba itu akan menyebar ke beberapa lokasi, seperti perairan Pulau Lengkalit, Teluk Bera, Pulau Legundi, Pulau Rakata, Pulau Tabuan, dan Pulau Hiu. “Para nelayan dengan senang akan mengantarkan para turis untuk menikmati atraksi lumba-lumba,” ujar Riko.
Dengan latar belakang Gunung Tanggang, pesona air terjun, dan pasir putih, Yayasan Cikal berupaya “menjual” Teluk Kiluan kepada para wisatawan dengan melibatkan penduduk desa. Tetapi, paket wisata yang menjadi andalan Yayasan Cikal adalah tur ke Teluk Kiluan untuk melihat lumba-lumba dalam kelompok-kelompok besar. Kalau sedang “untung” para turis akan menyaksikan ribuan lumba-lumba dalam dua jenis muncul mengelilingi perahu yang ditumpangi turis.
Ada dua jenis lumba-lumba di Teluk Kiluan, yaitu lumba-lumba hidung botol (Tursiops truncatus) dan lumba-lumba hidung panjang (Stenella longirostris). Perilaku dan karakter dua jenis lumba-lumba ini berbeda. Tursiops truncatus mempunyai ciri fisik kepala membulat dengan pangkal kepala meninggi.
Lumba-lumba jenis ini cenderung kalem, berenang dengan membuat gerakan naik turun permukaan air laut secara tenang. Jarang sekali terlihat melakukan gerakan atraktif. Meskipun demikian, mereka sering mengikuti perahu nelayan.
Sementara lumba-lumba Stenella longirostris mempunyai gerakan sangat atraktif. Lumba-lumba jenis ini sering terlihat meloncat di udara dan mendekati perahu nelayan tanpa takut.
Gerakan berenang yang dilakukan Stenella longirostris di permukaan air juga lebih variatif. Lumba-lumba jenis ini sering melakukan kombinasi antara meluncur, berenang naik turun di permukaan, dan meloncat di udara. Jenis ini sering disebut juga Spinner Dolphin karena gerakan akrobat di udara yang sering dipertontonkannya.
Sayangnya, perburuan terhadap lumba-lumba berlangsung di Teluk Kiluan sejak beberapa tahun terakhir. Perburuan ini menjadi ancaman bagi keberlangsungan ekowisata di Kiluan karena atraksi dolphin menjadi nilai jual yang menarik bagi wisatawan.
Lumba-lumba diburu sebagai umpan menangkap ikan hiu yang sirip punggungnya mempunyai nilai jual tinggi sebagai bahan dasar sup sirip hiu. Sebagaimana perburuan lumba-lumba di tempat lain, lumba-lumba di Teluk Kiluan diburu untuk diambil dagingnya. Potongan-potongan daging lumba-lumba itu biasanya dicantelkan di ratusan anak pancing untuk memancing ikan hiu di sekitar Selat Sunda.
(Oyos Saroso H.N./LampungReview)
Kalau di Pantai Lovina hanya ada puluhan hingga ratusan lumba-lumba dalam satu jenis, di sekitar perairan Teluk Kiluan terdapat ribuan lumba-lumba dalam dua jenis yang siap diajak bercengkerama. Begitu ada kapal melintasi perairan itu, ribuan lumba-lumba akan berloncatan ke atas permukaan air seolah menunjukkan kegirangannya.
Yang dialami Marry Steve, turis asal Kanada, misalnya. Steve tak kuasa menahan rasa suka citanya hingga air matanya mengalir. Dengan perahu kecil, akhir Agustus 2005 lalu, Steve mengunjungi Kiluan dipandu Riko Stefanus dari Yayasan Cinta Kepada Alam (Cikal).Hingga berjam-jam Steve bercengkerama bersama lumba-lumba yang bergantian terus menari di udara.
Pintu masuk teluk berupa selat sempit yang membatasi Selat Sunda dengan perairan teluk. Di Teluk Kiluan berdiam penduduk Dusun Bandung Jaya, Desa Kelumbayan, Kabupaten Tanggamus. Ada sekitar 200-an kepala keluarga mendiami pantai Teluk Kiluan, dengan pekerjaan utama sebagai nelayan dan pekebun. Hasil laut perairan Teluk Kiluan yang melimpah seolah menjadi “ladang emas” bagi warga Bandung Jaya.
Selama ini eksotisme atraksi lumba-lumba nyaris tidak terpublikasi secara luas karena baik Pemda Lampung maupun Pemda Kabupaten Tanggamus belum melirik perairan Teluk Kiluan sebagai obyek wisata yang layak jual. Kalau ada wisatawan lokal maupun wisatawan asing yang datang ke Teluk Kiluan pastilah itu karena informasi dari mulut ke mulut. Padahal, selain atraksi lumba-lumba, di sekitar Teluk Kilauan juga terdapat pantai pasir putih, air terjun, dan tempat berselancar yang menawan. Turis juga bisa berkemah dengan aman sambil mengintip penyu bertelur.
“Tapi, biasanya, wisatawan yang sudah pernah datang ke Teluk Kiluan akan datang lagi. Para turis tidak mau menyia-nyiakan kesempatan untuk menikmati keindahan pantai yang masih sangat perawan,” tutur Riko Stefanus.
Yayasan Cikal menjadi perintis pengembangan usaha pariwisata di Teluk Kiluan. Bersama-sama dengan warga setempat, Yayasan Cikal membentuk beberapa kelompok konservasi alam. Antara lain adalah Formasi Baja (Forum Komunikasi Bandung Jaya), yaitu kelompok masyarakat di daerah Teluk Kiluan yang kini menangani ekowisata di Teluk Kiluan.
Jika ada turis datang, warga setempat yang tergabung dalam kelompok konservasi tak segan-segan menawari turis untuk berkeliling dengan perahu motor yang biasa disewa Rp150 ribu/perahu. Dengan perahu motor itulah nelayan setempat sekaligus menjadi pemandu wisata untuk mengajak para turis bercengkerama dengan lumba-lumba.
Kalau masih pagi biasanya lumba-lumba masih ada di sekitar Teluk Kiluan. Jika sudah siang lumba-lumba itu sudah berada di jauh di tengah laut. Lumba-lumba itu akan menyebar ke beberapa lokasi, seperti perairan Pulau Lengkalit, Teluk Bera, Pulau Legundi, Pulau Rakata, Pulau Tabuan, dan Pulau Hiu. “Para nelayan dengan senang akan mengantarkan para turis untuk menikmati atraksi lumba-lumba,” ujar Riko.
Dengan latar belakang Gunung Tanggang, pesona air terjun, dan pasir putih, Yayasan Cikal berupaya “menjual” Teluk Kiluan kepada para wisatawan dengan melibatkan penduduk desa. Tetapi, paket wisata yang menjadi andalan Yayasan Cikal adalah tur ke Teluk Kiluan untuk melihat lumba-lumba dalam kelompok-kelompok besar. Kalau sedang “untung” para turis akan menyaksikan ribuan lumba-lumba dalam dua jenis muncul mengelilingi perahu yang ditumpangi turis.
Ada dua jenis lumba-lumba di Teluk Kiluan, yaitu lumba-lumba hidung botol (Tursiops truncatus) dan lumba-lumba hidung panjang (Stenella longirostris). Perilaku dan karakter dua jenis lumba-lumba ini berbeda. Tursiops truncatus mempunyai ciri fisik kepala membulat dengan pangkal kepala meninggi.
Lumba-lumba jenis ini cenderung kalem, berenang dengan membuat gerakan naik turun permukaan air laut secara tenang. Jarang sekali terlihat melakukan gerakan atraktif. Meskipun demikian, mereka sering mengikuti perahu nelayan.
Sementara lumba-lumba Stenella longirostris mempunyai gerakan sangat atraktif. Lumba-lumba jenis ini sering terlihat meloncat di udara dan mendekati perahu nelayan tanpa takut.
Gerakan berenang yang dilakukan Stenella longirostris di permukaan air juga lebih variatif. Lumba-lumba jenis ini sering melakukan kombinasi antara meluncur, berenang naik turun di permukaan, dan meloncat di udara. Jenis ini sering disebut juga Spinner Dolphin karena gerakan akrobat di udara yang sering dipertontonkannya.
Sayangnya, perburuan terhadap lumba-lumba berlangsung di Teluk Kiluan sejak beberapa tahun terakhir. Perburuan ini menjadi ancaman bagi keberlangsungan ekowisata di Kiluan karena atraksi dolphin menjadi nilai jual yang menarik bagi wisatawan.
Lumba-lumba diburu sebagai umpan menangkap ikan hiu yang sirip punggungnya mempunyai nilai jual tinggi sebagai bahan dasar sup sirip hiu. Sebagaimana perburuan lumba-lumba di tempat lain, lumba-lumba di Teluk Kiluan diburu untuk diambil dagingnya. Potongan-potongan daging lumba-lumba itu biasanya dicantelkan di ratusan anak pancing untuk memancing ikan hiu di sekitar Selat Sunda.
(Oyos Saroso H.N./LampungReview)
0 comments:
Post a Comment