BANDARLAMPUNG—Rendahnya angka partipasi kasar (APK) Sekolah Menengah Atas di Lampung tahun membuat para akademisi dan warga Lampung mencemaskan masa depan Lampung. Selain dikhatirkan akan berdampak pada rendahnya kualitas sumber daya manusia, rendahnya APK SMA juga dikhawatirkan bisa menjadi benih-benih masalah sosial pada masa mendatang.
Menurut data Fakultas Ilmu Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Lampung pada 2010-2011 APK anak usia SMA di Lampung 58,04 persen atau terendah di Indonesia. APK sebesar itu menunjukkan bahwa hanya 58,04 persen anak yang seharusnya bersekolah di SMA bisa bersekolah. Sebelihnya ada 41,96 persen anak usia SMA yang tidak bersekolah karena putus sekolah atau tidak melanjutkan sekolah ke SMA setelah lulus SMP.
“Fakta ini sangat memprihatinkan sekaligus mencemaskan. APK anak usia SMA di Lampung bahkan lebih rendah dibanding dua daerah paling timur yang kabarnya paling tertinggal pendidikannya, yaitu Papua,Papua Barat, dan Nusa Tenggara Timur,” kata Gino Vanolie, Ketua Farum Guru Independen Indosia (FGII), Senin (21/10).
Gino mengakui Lampung termasuk provinsi termiskin ketiga di Pulau Sumatera. Namun, kata Gino, hal itu harus memacu para kepala daerah untuk meningkatkan mutu pendidikan dan sumber daya manusia di daerahnya.
“Pemerintah Provinsi Lampung dan pemerintah kabupaten dan kota di Lampung segera mengatasi masalah rendahnya APK SMA. Untuk apa Pemerintah Provinsi Lampung membangun Jembatan Selat Sunda dan jalan tol lintas Sumatera kalau pada masa mendatang sumber daya manusianya hanya lulusan Sekolah Menengah Pertama?” ujarnya.
“Di Lampung hanya Bupati Lampung Barat Mukhlis Basri yang berani menggratiskan pendidikan hingga SMA. Artinya, semua anak usia SMA di Lampung Barat bersekolah sehingga APK SMA di Lampung Barat mencapai 100 persen,” kata dia.
Pembantu Dekan Bidang Pendidikan FKIP Universitas Lampung, Muhammad Thoha Sampurnajaya, mengatakan APK SMA menunjukkan masih banyak anak yang seharusnya belajar di SMA tetapi sudah tidak sekolah. Menurut Thoha para anak usia SMA itu tidak sekolah karena beberapa alasan. Antara lain putus sekolah karena orang tuanya tidak mampu membiayai sekolah atau terpaksa bekerja untuk membantu orang tua mencari nafkah.
“APK menunjukkan jumlah anak yang masih bersekolah formal dibandingkan dengan total anak usia sekolah yang seharusnya menempuh pendidikan formal. Rendahnya APK anak usia SMA di Lampung bisa mempengaruhi kualitas sumber daya manusia. Padahal, peningkatan kualitas sumber daya manusia itulah yang bisa meningkatkan kesejahteraan,” kata Thoha.
“Berbeda dengan APK SMA, APK SD dan SMP di Lampung sangat bagus, yaitu 100 dan 98 persen. Artinya semua anak usia SD di Lampung bersekolah dan hanya 2 persen anak usia SMP yang tidak bersekolah,” tambahnya.
Ketua Musyawarah Kerja Kepala Sekolah (MKKS) SMK Provinsi Lampung Komar Ranudiputra mengatakan rendahnya APK pendidikan menengah atas di Indonesia dan Lampung pada umumnya bukan disebabkan faktor mahalnya biaya pendidikan di SMA maupun SMK.
“Rendahnya APK pendidikan menengah lebih besar dipengaruhi latar belakang ekonomi keluarga, kesadaran orang tua maupun anak untuk sekolah, serta tingkat usia SMA/SMK yang sudah memasuki masa produktif. Jadi jika digratiskan sekalipun, APK pendidikan menengah belum tentu meningkat,” ujarnya
Muhammad Yunus, Direktur Komite Anti Korupsi Lampung yang juga aktivis Forum Masyarakat Peduli Pendidikan, mengatakan pemerintah daerah di Lampung selama ini mengabaikan amanat Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional yang mengharuskan dana pendidikan di APBD per tahunnya setidaknya mencapai 20 persen dari total anggaran.
“Dana pendidikan sebesar 20 persen di APBD Provinsi Lampung dan 13 kabupaten dan kota di Lampung sebagian besar untuk biaya rutin, yaitu gaji pegawai dan operasional kantor. Pemerintah daerah juga hanya konsentrasi pada program pendidikan sembilan tahun, yaitu tiap anak harus sekolah SD hingga SMP,” kata Yunus.
Menurut Yunus alokasi anggaran untuk pendidikan sebesar 20 persen dari total APBN sebenarnya sudah bisa memenuhi kebutuhan operasional pendidikan. Pemerintah pusat merencanakan APBN 2013 sebesar Rp 1.500 triliun, di mana sebesar Rp 300 triliun di antaranya untuk anggaran pendidikan. Apabila dibagi ke-33 provinsi, maka setiap provinsi seharusnya mendapakan anggaran pendidikan rata-rata Rp 9,09 triliun.
Pemerintah pusat melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan akan memberikan dana bantuan operasional sekolah (BOS) Sekolah Menengah Atas pada 2013 mendatang. Untuk membantu biaya operasional sekolah 10 juta siswa SMA dan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) pemerintah pusat akan menganggarkan dana sebesar Rp 17 triliun.
Alin/Karsono Hardjo
Menurut data Fakultas Ilmu Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Lampung pada 2010-2011 APK anak usia SMA di Lampung 58,04 persen atau terendah di Indonesia. APK sebesar itu menunjukkan bahwa hanya 58,04 persen anak yang seharusnya bersekolah di SMA bisa bersekolah. Sebelihnya ada 41,96 persen anak usia SMA yang tidak bersekolah karena putus sekolah atau tidak melanjutkan sekolah ke SMA setelah lulus SMP.
“Fakta ini sangat memprihatinkan sekaligus mencemaskan. APK anak usia SMA di Lampung bahkan lebih rendah dibanding dua daerah paling timur yang kabarnya paling tertinggal pendidikannya, yaitu Papua,Papua Barat, dan Nusa Tenggara Timur,” kata Gino Vanolie, Ketua Farum Guru Independen Indosia (FGII), Senin (21/10).
Gino mengakui Lampung termasuk provinsi termiskin ketiga di Pulau Sumatera. Namun, kata Gino, hal itu harus memacu para kepala daerah untuk meningkatkan mutu pendidikan dan sumber daya manusia di daerahnya.
“Pemerintah Provinsi Lampung dan pemerintah kabupaten dan kota di Lampung segera mengatasi masalah rendahnya APK SMA. Untuk apa Pemerintah Provinsi Lampung membangun Jembatan Selat Sunda dan jalan tol lintas Sumatera kalau pada masa mendatang sumber daya manusianya hanya lulusan Sekolah Menengah Pertama?” ujarnya.
“Di Lampung hanya Bupati Lampung Barat Mukhlis Basri yang berani menggratiskan pendidikan hingga SMA. Artinya, semua anak usia SMA di Lampung Barat bersekolah sehingga APK SMA di Lampung Barat mencapai 100 persen,” kata dia.
Pembantu Dekan Bidang Pendidikan FKIP Universitas Lampung, Muhammad Thoha Sampurnajaya, mengatakan APK SMA menunjukkan masih banyak anak yang seharusnya belajar di SMA tetapi sudah tidak sekolah. Menurut Thoha para anak usia SMA itu tidak sekolah karena beberapa alasan. Antara lain putus sekolah karena orang tuanya tidak mampu membiayai sekolah atau terpaksa bekerja untuk membantu orang tua mencari nafkah.
“APK menunjukkan jumlah anak yang masih bersekolah formal dibandingkan dengan total anak usia sekolah yang seharusnya menempuh pendidikan formal. Rendahnya APK anak usia SMA di Lampung bisa mempengaruhi kualitas sumber daya manusia. Padahal, peningkatan kualitas sumber daya manusia itulah yang bisa meningkatkan kesejahteraan,” kata Thoha.
“Berbeda dengan APK SMA, APK SD dan SMP di Lampung sangat bagus, yaitu 100 dan 98 persen. Artinya semua anak usia SD di Lampung bersekolah dan hanya 2 persen anak usia SMP yang tidak bersekolah,” tambahnya.
Ketua Musyawarah Kerja Kepala Sekolah (MKKS) SMK Provinsi Lampung Komar Ranudiputra mengatakan rendahnya APK pendidikan menengah atas di Indonesia dan Lampung pada umumnya bukan disebabkan faktor mahalnya biaya pendidikan di SMA maupun SMK.
“Rendahnya APK pendidikan menengah lebih besar dipengaruhi latar belakang ekonomi keluarga, kesadaran orang tua maupun anak untuk sekolah, serta tingkat usia SMA/SMK yang sudah memasuki masa produktif. Jadi jika digratiskan sekalipun, APK pendidikan menengah belum tentu meningkat,” ujarnya
Muhammad Yunus, Direktur Komite Anti Korupsi Lampung yang juga aktivis Forum Masyarakat Peduli Pendidikan, mengatakan pemerintah daerah di Lampung selama ini mengabaikan amanat Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional yang mengharuskan dana pendidikan di APBD per tahunnya setidaknya mencapai 20 persen dari total anggaran.
“Dana pendidikan sebesar 20 persen di APBD Provinsi Lampung dan 13 kabupaten dan kota di Lampung sebagian besar untuk biaya rutin, yaitu gaji pegawai dan operasional kantor. Pemerintah daerah juga hanya konsentrasi pada program pendidikan sembilan tahun, yaitu tiap anak harus sekolah SD hingga SMP,” kata Yunus.
Menurut Yunus alokasi anggaran untuk pendidikan sebesar 20 persen dari total APBN sebenarnya sudah bisa memenuhi kebutuhan operasional pendidikan. Pemerintah pusat merencanakan APBN 2013 sebesar Rp 1.500 triliun, di mana sebesar Rp 300 triliun di antaranya untuk anggaran pendidikan. Apabila dibagi ke-33 provinsi, maka setiap provinsi seharusnya mendapakan anggaran pendidikan rata-rata Rp 9,09 triliun.
Pemerintah pusat melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan akan memberikan dana bantuan operasional sekolah (BOS) Sekolah Menengah Atas pada 2013 mendatang. Untuk membantu biaya operasional sekolah 10 juta siswa SMA dan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) pemerintah pusat akan menganggarkan dana sebesar Rp 17 triliun.
Alin/Karsono Hardjo
0 comments:
Post a Comment