M. Arman AZ
Semua yang telah dikerjakan untuk bahasa-bahasa Nusantara sama sekali tidak berharga dan tidak akan ada perubahan, selama orang tidak mempelajarinya untuk kepentingan bahasa-bahasa itu sendiri. Orang tidak akan berhasil di segala bidang selama melakukan pekerjaan itu tanpa cinta.(Surat H.N. van der Tuuk kepada P.J. Veth, 14 April 1867)
Sejak beberapa tahun silam, didorong kebanggaan terhadap bahasa Lampung dan kekhawatiran sejumlah kalangan bahwa bahasa Lampung terancam punah beberapa generasi ke depan, ditempuhlah beragam strategi dan upaya untuk mendongkrak minat dan kepedulian terhadap bahasa Lampung. Seminar, diskusi, edukasi, penerbitan, sampai regulasi pemakaian bahasa Lampung di instansi pemerintah, adalah serangkaian upaya yang telah dilakukan berbagai pihak.
Slogan jangan melupakan sejarah dan generasi muda mesti melestarikan budaya kerap kita dengar. Ini cenderung jadi retorika dan jualan semata. Kesadaran sejarah tentu berkaitan erat dengan pengetahuan sejarah. Dalam suatu seminar tentang bahasa Lampung, seorang pembicara (notabene birokrat di Lampung) jumawa menggeneralisir bahwa kaum penjajah datang ke Lampung hanya untuk menanam kopi dan mengeruk hasil bumi di Lampung. Ironis mendengarnya, namun pernyataan itu bisa dimaklumi. Minimnya minat baca membuat masyarakat -pejabat sekali pun- jadi fakir wawasan sejarah. Tidak semua orang dari bangsa penjajah meninggalkan dosa sejarah bagi bangsa ini. Banyak juga yang dengan caranya sendiri justru berjasa bagi pelestarian sejarah dan budaya.
Bahasa adalah bagian dari peradaban dan kebudayaan. Dalam konteks inilah yang melatarbelakangi tulisan saya. Ketika banyak pihak menabuh gendang tentang pentingnya pengembangan dan pelestarian bahasa Lampung, atau cemas membayangkan bahasa daerah (Lampung) akan punah beberapa generasi mendatang, saya lebih memilih perspektif berbeda yang bisa jadi diabaikan atau justru tidak diketahui oleh para penabuh gendang itu.
Mungkin hanya segelintir warga Lampung yang tahu tentang orang Belanda bernama Herman Neubronner van der Tuuk. Ia orang pertama yang membuat kamus bahasa Lampung. Kamus 600 halaman itu dibuatnya ratusan tahun silam, tepatnya 1868-1869, saat ia menetap di Lampung. Kini kamus tersebut tersimpan di Perpustakaan Universitas Leiden, Belanda. Kamus itu terdiri dari dua versi. Versi kedualah (revisi versi pertama) yang terdiri dari 600 halaman. Kamus itu tidak sempat dicetak atau dipublikasikan dalam bentuk buku. Selain bahasa Lampung, ia juga orang pertama yang membuat kamus bahasa Batak dan Bali.[1]
Kemungkinan besar belum ada warga Lampung yang pernah melihat kamus itu. Meski pejabat-pejabat dari instansi pemerintah hilir mudik ke negeri kincir angin mengusung misi seni budaya, saya pesimis mereka tahu perihal kamus ini, apatah lagi berniat melihat dan membawanya sebagai oleh-oleh berharga dan bersejarah buat Lampung.
H.N. van der Tuuk tidak ikut menjajah, tapi justru meninggalkan karya besar untuk negeri ini. Ia tidak “merampas” harta budaya Lampung, tapi justu menggali dan menyelamatkannya sebelum punah ditelan zaman. Meski orang Belanda, ia membenci penjajahan Belanda terhadap Indonesia. Ia bahkan menyebarkan semangat perlawanan terhadap Belanda kepada masyarakat di tempat-tempat ia menetap.
H.N. van der Tuuk adalah sosok legendaris yang dilupakan, termasuk oleh mereka yang berkutat di bidang linguistik. Ia ilmuwan bahasa yang mengabdikan nyaris seluruh hidupnya untuk bahasa-bahasa daerah. Ia perintis penelitian ilmiah tentang bahasa di Nusantara, termasuk Lampung. Ia wariskan dua dalil tentang peralihan konsonan dalam bahasa-bahasa Austronesia, dimana bahasa Lampung termasuk di dalam rumpun bahasa tersebut. Dalil pertama mengenai pergeseran antara bunyi /r/, /g/, dan /h/, kedua mengenai pergeseran konsonan antara /r/, /d/, dan /l/. Ia yang pertama kali merumuskan kekerabatan bahasa Lampung dengan bahasa daerah lain di Indonesia. William Marsden juga membahas kemiripan kosakata sejumlah daerah di Indonesia[2]. Namun Van der Tuuk meneliti dan membahasnya lebih detail dan rinci.
Van der Tuuk seorang linguis (ahli bahasa) dan leksikografer (pekamus) ulung. Ia telah membuktikan bahwa bahasa-bahasa Nusantara memang serumpun, yaitu rumpun Austronesia (Madagaskar sampai kepulauan di Samudera Pasifik). Ini kerja “gila”. Ratusan tahun silam, dengan infrastruktur teknologi minim, bukan mudah meneliti dan membuat kamus tata bahasa. Prof. H. Kern, ahli bahasa-bahasa Asia Tenggara menjulukinya sebagai ahli terbesar mengenai bahasa-bahasa di Indonesia[3]. Sayang, bangsa ini memang mengidap amnesia sejarah.
Dialek bahasa Lampung yang sekarang dipahami ada 2 jenis, yaitu dialek Nyow (O) dan dialek Api (A). Dua dialek ini dipopulerkan oleh Prof. H. Hilman Hadikusuma, SH, setelah sebelumnya Walker dan Van Royen pun lebih dulu membaginya ke dalam dua jenis tersebut. Hal ini bisa dibaca dalam buku Kamus Dwibahasa Lampung-Indonesia, terbitan Kantor Bahasa Propinsi Lampung, tahun 2009. Sementara Van der Tuuk, dalam penelitiannya kala itu, membagi dialek Lampung menjadi empat, yaitu: Abung, Paminggir, Bumi Agung, dan Pubian.
Penelitian ilmiah tentang bahasa dan aksara Lampung dipublikasikan Van der Tuuk melalui artikel “Een Vergelijkende Woordenlijst van Lampongsche Tongvallen” (Daftar perbandingan kata-kata bahasa Lampung) dalam jurnal ilmiah Tijdschrift Bataviaasch Genootschap (TBG), volume 17, 1869, hal. 569-575, serta artikel “Het Lampongsch en Zijne Tongvallen” (Orang Lampung dan dialeknya), dalam TBG, volume 18, 1872, hal. 118-156. Selain itu masih ada beberapa hasil penelitian tentang bahasa Lampung yang dilakukan orang luar negeri, semisal yang dilakukan C. A. van Ophuijsen dalam artikel Lampongsche Dwerghertverhalen (Dongeng Kancil dari Lampung) yang dimuat dalam jurnal Bijdragen Koninklijk (1896) halaman 109-142.
Titik tekan tulisan ini adalah biografi dan jasa Van der Tuuk di Lampung, mengingat minimnya informasi tentang van der Tuuk di daerah ini. Ia memang lebih lama tinggal di Batak (6 tahun) dan Bali (25 tahun). Buku Een vorst onder de taalgeleerden: Herman Neubronner van der Tuuk, Afgevaardigde voor Indie van het Nederlandsch Bijbelgenootschap yang setebal 965 halaman itu, hanya 60 halaman (Bab IV) berisi riwayat van der Tuuk di Lampung. Cukup beralasan karena ia hanya sekitar setahun mukim di Lampung. Dalam buku ini dimuat 264 dokumen primer dan 10 dokumen suplemen, juga korespondensi van der Tuuk dengan NBG dan beberapa individu.
Biografi
Herman Neubronner van der Tuuk lahir di Malaka, 24 Oktober1824[4]. Dia sulung dari 4 bersaudara. Ayahnya, Sefridus van der Tuuk, berasal dari Friesland (Belanda Utara) dan ibunya Louise Neubronner lahir di Malaka. Leluhur mereka berasal dari kota Ulm di Jerman. Saat itu Malaka masih menjadi koloni Belanda.
Keluarga van der Tuuk pindah ke Surabaya tahun 1825. Ini sebagai dampak dari Traktat London (1824), perjanjian antara Belanda-Inggris yang direalisasikan 1825, dan melibatkan Malaka dan Bengkulu. Van der Tuuk tumbuh di Surabaya. Selain berbahasa Belanda di Europese Lagere School (Sekolah Dasar Eropa), pergaulan membuatnya bisa berbahasa Melayu, Jawa, dan Madura.
Usia 12 tahun (1836) dia ke Belanda melanjutkan pendidikan. Empat tahun kemudian dia menempuh ujian masuk Fakultas Sastra dan Hukum di Universitas Groeningen. Dia mulai tekun mempelajari bahasa Inggris, Persia, Arab, Portugis, dan Sansekerta. Awal tahun 1846 dia tinggal di Leiden, dan mulai mempublikasikan kajiannya tentang bahasa. Mungkin belum percaya diri, ia kerap menggunakan nama samaran S.B. (singkatan dari Surabaya). Dalam usia 20 tahun, ia telah menanggapi telaah mengenai naskah Melayu yang ditulis J.J. de Hollander, dosen bahasa Melayu di Breda. Tahun 1847 dia tinggal di Delft dan mulai menjalin komunikasi dengan Nederlandsch Bijbelgenootschap (NBG), membahas kemungkinannya bekerja di lembaga itu sebagai utusan bahasa (taalafgevaardigde).
NBG/Dutch Bible Society/Persekutuan Alkitab Belanda, berdiri tahun 1814, adalah lembaga yang bertugas menangani penyebaran alkitab di semua koloni Belanda. Van der Tuuk bekerja untuk NBG dari 1847 hingga 1873. Ia tidak tertarik dengan urusan politik dan agama. NBG dijadikannya jembatan untuk memuluskan minatnya mempelajari bahasa-bahasa daerah di Nusantara.
Tahun 1845 NBG berencana membuat terjemahan alkitab ke dalam bahasa Dayak, Makasar, Bugis, dan Batak. Van der Tuuk ditugaskan ke Batak tahun 1849. Ia jadi “utusan bahasa”, tugasnya menerjemahkan alkitab ke dalam bahasa Batak. Awal Juni 1849, van der Tuuk berangkat dari pulau Texel menuju Hindia-Belanda dengan menaiki kapal Princess Sophia. Setelah tiga bulan menempuh perjalanan lintas benua, ia tiba di Batavia 2 September 1949. Dua tahun kemudian, tepatnya awal 1851, ia baru berangkat ke Batak. Menaiki kapal dari Batavia menuju Padang, kemudian berjalan kaki ke Batak.
Van der Tuk di Batak
Di Batak, van der Tuuk tinggal di Sibolga dan Barus; juga menyambangi banyak daerah (Mandailing, Padang Sidempuan, Sipirok, dan lainnya). Di setiap tempat itu ia kumpulkan semua hal yang berkaitan dengan Batak (catatan, lagu, anekdot, folklor, mantra, pustaha atau buku dari kulit kayu), bahkan menyambangi kuburan dan hal-hal menyangkut mitos dan mistis di Batak.
Oleh warga Batak, ia dijuluki Si Pan Dor Toek (Pandortuk), Si Radja Toek atau Si Balga Igung[5](Si Hidung Besar). Ia fasih bicara bahasa Batak. Rumahnya terbuka buat warga. Sepanjang hari dia mengobrol dengan mereka. Malam hari mencatat dan esoknya dibicarakan kembali untuk selanjutnya diperbaiki. Hingga akhirnya dia berhasil menyusun kamus bahasa Batak-Belanda pertama Over Schrift en Uitspraak der Tobasche Taa dan Tobasche Spraakkunst, eerste stuk (Tulisan dan pelafalan bahasa Batak, cetakan pertama) dan kemudian menyusun revisinya.
Van der Tuuk adalah orang Eropa pertama yang mengunjungi Danau Toba dan Samosir, wilayah suci penduduk Batak kala itu; juga berkesempatan bertemu raja Batak, Sisingamangaraja[6]. Perjalanan itu nyaris merenggut nyawanya. Dua kali ia hampir dibunuh penduduk setempat. Meski demikian, dalam surat-suratnya ke beberapa lembaga di Belanda dan Batavia, dia senantiasa membela kepentingan rakyat Batak.
April 1857 dia tinggalkan Batak. Jalan kaki dari Barus ke Padang, naik kapal ke Batavia dan tiba di Belanda 1 Oktober 1857. Seluruh catatan dan hasil penelitiannya tentang bahasa dan budaya Batak sekitar 6000 halaman!
Di Amsterdam dia tak berhenti mempelajari berbagai bahasa daerah. Makin banyak ilmunya tentang bahasa daerah dan negara lain, seperti Nias, Aceh, Rejang, Mentawai, Minang, Dayak, Bugis, Makasar, Tagalog, Cina, Vietnam, dan Thailand.
Di lain sisi, H.N. van der Tuuk ibarat “trouble maker” dalam NBG, lembaga tempatnya bekerja. NBG tidak suka dengan cara van der Tuuk yang keras, kasar, dan blak-blakan mengkritik pihak lain. Namun, kecerdasan dan pengetahuan bahasanya tidak bisa diabaikan. Bukan sekali dua, ia berselisih pemikiran dengan NBG. Dia berani berpolemik lewat tulisan dengan sesama peneliti bahasa, termasuk para seniornya di Belanda. Salah satu ketegangan antara NBG dan van der Tuuk terjadi tahun 1864. Van der Tuuk ingin mempublikasikan tulisannya pada sebuah lembaga atheis, namun dilarang keras oleh NBG.
Van der Tuuk di Lampung
Mei 1868, van der Tuuk kembali ke Hindia-Belanda. Ia berangkat dari Marseille, setelah mengunjungi Roma dan Florence. Semula NBG menugaskannya ke Bali. Namun setibanya di Batavia (23 Juli 1868), ia urung ke Bali karena sedang terjadi pemberontakan dan kolera sedang mewabah di sana[7]. Untuk mengisi waktu, dia melawat sejumlah tempat (Buitenzorg/Bogor, Bandung, dan Garut). Di Bandung dia menemui Engelmann, sahabat diskusinya mengenai bahasa-bahasa daerah. Usia Engelman 12 tahun lebih muda dari van der Tuuk. Di Garut dia mengunjungi penasihat pemerintah K.F. Holle di perkebunan teh Waspada. Saat kembali ke Batavia, atas dukungan temannya, A.B. Cohen Stuart, dia ditawari melakukan studi bahasa selama lima bulan di Lampung. Van der Tuuk menyambut tawaran itu.
Van der Tuuk berangkat dari Batavia menuju Telukbetung, 25 Agustus 1868. Dia Telukbetung dia tinggal di rumah Bataviaasch Genootschap[8]. Tiga bulan kemudian (akhir November 1868) dia menuju Lehan (Terbanggi), membawa dua pembantu (jongos, istilah lama) bernama Sandi dan Abdullah[9]. Kedua pembantu tersebut adalah rekomendasi D.W. Schiff, Residen Distrik Lampung kala itu.
Van der Tuuk tinggal di tepi sungai Way Seputih. Informasi mengenai tempat tinggal itu diketahui dari suratnya kepada NBG: “Saya duduk di sini, di sebuah ruang terbuka di seberang sungai Seputih. Tempat tinggal saya adalah rumah tanpa pintu depan dan belakang. Bagian tengah rumah yang memisahkan dua ruangan yang suram, yang saya tinggali bersama dua pembantu saya, menyala sebuah pipa yang terbuat dari daun pisang dan damar...”
Selama di Lehan ia mengumpulkan informasi tentang bahasa dan budaya setempat. Dua folklor atau cerita rakyat beraksara Lampung, Tetimbai sai Dayang Rindu dan Tetimbai Anak Dalom, yang tersimpan di Perpustakaan Universitas Leiden, merupakan koleksi dan hasil penelitian van der Tuuk[10]. Dua folklor ini menarik karena Dayang Rindu berlatar Palembang dan Anak Dalom berlatar Bengkulu, Thailand, dan Malaysia; namun keduanya ditulis dalam aksara Lampung.
Manuskrip Dayang Rindu lainnya tersimpan di School of Oriental and African Studies (London), merupakan koleksi William Marsden. Juga ada yang tersimpan di Perpustakaan Chester Beatty (Dublin, Irlandia) dan Munich. Manuskrip Dayang Rindu di Dublin inilah yang bertitimangsa Lehan 28 Oktober 1847, terdiri dari 16 halaman, dan banyak kosakata Melayu dan Jawa di dalamnya.[11]
Akhir 1868, didorong hasratnya mempelajari berbagai dialek Lampung, van der Tuuk mengirim surat kepada NBG, meminta untuk dapat tinggal lebih lama di Lampung. Keinginannya direstui. Ia mendapat perpanjangan enam bulan dan kemudian diperpanjang sekali lagi. April 1869 dia pergi lebih jauh ke arah barat Lampung dan terus berjalan sampai Muara Dua. Seluruh perjalanan itu ditempuhnya dengan jalan kaki.
Selama di Lampung, dia mengirim beberapa laporan panjang lebar tentang penelitiannya terhadap bahasa Lampung. Laporan itu atas permintaaan Bataviaasch Genootschaap[12]dan dipublikasikan di Batavia. Ia juga mengumpulkan dan menyusun kamus bahasa Lampung. Kamus tersebut diboyong van der Tuuk ke Bali. Tidak sempat disunting dan dipublikasikan karena ia sibuk menyusun kamus Bali dan saat itu belum ada cetakan aksara Lampung yang cocok[13]. Cetakan percobaannya ditolak van der Tuuk. Sementara 19 inskripsi (piagem) yang baru bisa dicetak tahun 1884.
Beberapa artikel van der Tuuk tentang bahasa Lampung dan komparasinya dengan bahasa daerah lain (Batak, Melayu, Kawi, Dayak, Sunda, Makasar) ada di beberapa artikelnya, seperti Proeve van een Vergelijkende Woordenlijst van Lampongsche Tongvallen (Bukti Perbandingan Daftar Kata dan Dialek Lampung) . Artikel pendek ini memuat beberapa kosakata Telukbetung dan Abung. Kemudian, artikel Het Lampongsch en Zijne Tongvallen (Orang Lampung dan dialeknya) dibuat di Bogor 23 November 1869. Dalam artikel ini van der Tuuk memetakan sejumlah kosakata Lampung dalam dialek Abung, Telukbetung, Peminggir, Bumi Agung, dan Pubian.
Termasuk juga Brieven van H.N. van der Tuuk, Betreffende het Lampongsch (Surat-surat H.N. van der Tuuk, mengenai Lampung) kumpulan hasil penelitian tentang bahasa Lampung yang ditulis di beberapa tempat: Lehan (3 Maret 1869, 20 Maret 1869, dan 18 April 1869), Telukbetung (30 Juli 1869 dan 15 Agustus 1869), Bogor (3 September 1869 dan 1 November 1869). Kumpulan artikel ini memuat sastra lisan Lampung yang dibacakan dalam acara adat, surat-surat beberapa pihak di Lampung, juga terjemahan dalam aksara Jawi.
Van der Tuuk juga menerbitkan uraian mengenai koleksi naskah-naskah berbahasa Lampung atas permintaan mantan Gubernur Jenderal M. le Baron van de Beele, berjudul Les Manuscripts Lampongs (1868). Naskah itu berbahasa Prancis, sebagian besar dalam aksara Lampung kuno dan aksara Jawi. Ada yang berupa mantra-mantra, bubandung, dan simbol-simbol. Ada juga prosa dalam bahasa Lampung, berjudul Bandoeng Tangis Lampung, Tjarita Badan Miskin, Bandoeng Lampong, Soerat Sama Moelie. Ia menyalin naskah-naskah itu dari bambu, rotan, kulit pohon, kertas. Disebutkan juga muasal sebagian naskah itu, seperti Krui dan Lehan. Juga daftar 19 alfabet Lampung dan cara pemakaiannya. Terjemahan dalam bahasa Prancis di bagian akhir manuskrip ini nampaknya tidak lengkap.
Juni 1869, Van der Tuuk kembali ke Telukbetung. Ia merasa cukup meneliti bahasa Lampung. Ditawari bekerja sebagai pegawai pemerintah Belanda, ia menyanggupi jika ditugaskan di Bali. Sejak Juni pula ia mengeluhkan demam dan disentri. Akhir Agustus 1869 ia kembali ke Batavia dan meneruskan perjalanan ke Bogor untuk memulihkan kesehatan.
Di Bogor, ia menekuni bahasa Sunda bersama S. Coolsma, yang setelah Engelmann meninggal dan atas saran van der Tuuk diangkat NBG untuk menerjemahkan alkitab dalam bahasa Sunda. Di Bogor pula, ia mengerjakan beberapa publikasi tentang bahasa Lampung yang dikirimkannya kepada Bataviaasch Genootschap.
Karena janji pemerintah Belanda untuk mengangkatnya sebagai pegawai tak kunjung ditepati (baru terlaksana tahun 1873), dia kembali bekerja untuk NBG sejak 1 Desember 1869. Setelah benar-benar sembuh, akhir Desember 1869 dia pergi ke Surabaya untuk selanjutnya tinggal di Bali hingga akhir hayat.
Setelah H.N. van der Tuuk menulis kamus bahasa Lampung, tahun-tahun berikutnya mulai banyak penulis kamus Bahasa Lampung, seperti Proeve van Een Lampongsch-Hollandsch, bepaald voor het dialect van Kroe (Kamus dwibahasa Lampung-Belanda, dialek Krui), disusun oleh O.L. Helfrich[14] di Batavia tahun 1891.
Kemudian, Kamus Bahasa Lampung-Indonesia, Pusat Bahasa, Departemen Pendidikan Nasional, BP No. 5311, terbitan Balai Pustaka 2001, disusun Junaiyah H.M. dkk. Dalam Pengantar/Pendahuluan buku ini dijelaskan bahwa “Kamus ini mengkhususkan pada pencatatan bahasa Lampung dalam dialek O saja”.[15]
M. Noeh dengan judul Kamus Bahasa Lampung, Hilman Hadikusuma menyusun Kamus Bahasa Lampung (Mandar Maju, Bandung, 1994), Fauzi Fattah dkk. menerbitkan Kamus Bahasa Lampung (Gunung Pesagi, Bandar Lampung, 1998)[16]. Kamus susunan Hilman Hadikusuma dan Fauzi Fattah meliputi bahasa Lampung dialek O dan A. Dari segi jumlah entri, yang terbanyak adalah susunan Hilman Hadikusuma.
Admi Syarif menyusun Kamus Lengkap Indonesia-Lampung, Lampung-Indonesia (Unila,2008). Kamus ini hanya memuat dialek O. Kelebihan kamus ini, dilengkapi dengan aksara/had Lampung dan kamus elektronik yang mampu menerjemahkan kata atau kalimat dalam bahasa Lampung dialek O menjadi kata atau kalimat dalam bahasa Indonesia.
Kantor Bahasa Propinsi Lampung juga membuat Kamus Dwibahasa Lampung-Indonesia (2009) yang memuat dialek A dan dialek O. Ada juga Kamus Bahasa Lampung yang dibuat oleh Iskar (cetakan ketiga dan keempat dibuat tahun 2012)[17].
Saya mencoba membandingkan beberapa kosakata dalam artikel-artikel van der Tuuk dengan kamus bahasa Lampung dialek “O” (Admi Syarif, 2007) dan kamus terbitan Kantor Bahasa Propinsi Lampung (KBPL) edisi 2009.
Pertama, seluruh kamus bahasa Lampung yang ada saat ini, tidak memuat sejarah atau risalah penulisan kamus bahasa Lampung, berikut ihwal van der Tuuk. Kedua, ada sejumlah kata (untuk tidak menyebut banyak) dalam artikel-artikel van der Tuuk yang tidak saya temukan dalam kamus-kamus terbaru. Ada juga yang mengalami pergeseran makna. Dengan kalimat lain, bisa jadi kata-kata itu luput dari penelitian para pembuat kamus, atau memang kata-kata sudah tidak terdengar atau digunakan lagi (punah).[18]
Beberapa tahun belakangan, pemerintah dan lembaga kebudayaan di Lampung acap memberi gelar (adok) kepada orang-orang yang dianggap berjasa bagi daerah ini. Sah-sah saja sepanjang memang layak. Masyarakat Lampung tentu berharap pemberian gelar atau penghargaan selanjutnya -untuk siapa pun- lebih fair dan objektif. Dan, apa pun motif plus tendensi dibalik pemberian gelar tersebut, seyogianya adat istiadat, sejarah, dan kebudayaan Lampung tidak dijadikan kuda tunggangan untuk kepentingan sesaat. Masih banyak pihak yang layak menerima gelar atau penghargaan, menilik rekam jejak pengabdian mereka bagi sejarah dan masa depan kebudayaan Lampung. Problemnya, mungkin sangat minimnya informasi mengenai sosok-sosok tersebut, termasuk ihwal Herman Neubronner van der Tuuk ini.
Tanpa menafikan jasa dan kontribusi para penyusun kamus bahasa Lampung lainnya, saya meyakini Herman Neubronner van der Tuuk adalah penyusun kamus bahasa Lampung pertama kali, sekaligus pionir penelitian ilmiah bahasa dan aksara Lampung[19].
Van der Tuuk di Bali
Van der Tuuk tinggal di Bali selama 25 tahun. Ia berangkat ke Bali membawa seorang jongos berusia tiga belas tahun dari Batavia (Jakarta) dan seorang babu bersama suaminya dari Surabaya. Mereka berempat tiba di Buleleng awal April 1870, sempat menumpang di rumah R. Van Eck, orang Belanda yang telah menetap di pulau itu sejak tahun 1866, sebelum akhirnya van der Tuuk memutuskan tinggal di Kampung Baratan yang letaknya beberapa kilometer dari Singaraja.
Di sana ia menekuni bahasa Bali-Kawi. Dari Pulau Dewata itu, beberapa hasil pemikirannya tentang bahasa-bahasa di Nusantara ditulis menggunakan nama samaran Nicodemus van der Plas. Hidupnya lebih nyentrik, menjelma jadi orang Bali di sebuah gubug di Buleleng. Ia jadi semacam ketua adat. Rumahnya selalu terbuka untuk penduduk pribumi dan dia kerap diminta pendapat mengenai berbagai hal tentang adat dan bahasa Bali. Bahkan, Raja Badung kala itu berkata: “Hanya ada satu orang di seluruh Bali yang mengerti dan memahami bahasa Bali, yaitu Gusti Dertik[20](van der Tuuk).”
17 Agustus 1894, dalam usia 70 tahun, van der Tuuk meninggal di Rumah Sakit Militer di Surabaya. Ia dimakamkan di pemakaman Belanda, Peneleh (Surabaya). Hingga akhir hayatnya van der Tuuk tidak menikah. Sebuah kebetulan, 51 tahun kemudian tanggal kematiannya jadi tanggal kemerdekaan Indonesia.
Van der Tuuk mewariskan ribuan kertas surat dan catatan yang tergeletak dalam rumahnya di Singaraja. Hampir 4000 halaman itu akhirnya jadi posthumous[21]dalam bentuk kamus Kawi-Bali-Belanda terlengkap.
Tiga dekade setelah kematian van der Tuuk, digelar pertemuan di Kintamani. L.J.J Caron (Residen Belanda di Bali-Lombok kala itu), para raja, tokoh agama, dan masyarakat Bali bertemu. Untuk menghargai jasa van der Tuuk terhadap karya sastra, lontar, dan pelestarian bahasa Bali, mereka sepakat mengabadikan namanya menjadi nama sebuah lembaga: Stichting van der Tuuk. Sebagai tindak lanjut, 14 September 1928, resmi dibuka perpustakaan pertama di Bali bernama Kirtya Liefrink-Van der Tuuk; yang mengurusi lontar-lontar Bali dan Lombok. Nama Liefrink diambil dari seorang asisten residen pemerintah Belanda di Bali yang juga menekuni kebudayaan Bali dan Lombok.[22]
Demikianlah, Perpustakaan atau Musemum Lontar atau juga dikenal dengan nama Gedong Kirtya di Singaraja, berawal dari koleksi buku dan lontar warisan van der Tuuk. [23]
Van der Tuuk, Peneleh, 2012
Kompleks pemakaman itu nyaris terlewati jika tidak diamati dengan seksama. Letaknya agak menjorok ke dalam di sebelah kanan jalan. Diapit sebuah puskesmas di sebelah kiri dan pangkalan pasir yang berdempetan dengan warung sederhana di sebelah kanan. Gerbang pemakaman itu lumayan tinggi. Di sebelah kiri pagar ada bangunan tua berbentuk kotak dengan empat jendela terlihat dari luar. Sebelah kanan ada bangunan serupa garasi tidak terpakai. Sebelum melewati gerbang, di sebelah kiri, ada plang yang mulai keropos dan sedikit berkarat, juga tiang tanpa bendera.
Pemakaman Peneleh berada di bawah naungan Dinas Pertamanan Pemerintah Kota Surabaya. Di kompleks seluas 4,5 hektar itu terdapat ribuan makam orang Belanda. Rata-rata usia makam itu sudah ratusan tahun. Makam-makam itu berderet rapi. Banyak orang Belanda yang memiliki peran dalam sejarah panjang Indonesia yang dimakamkan di sana.
Penduduk yang menetap di sekitar pemakaman peneleh biasa menjemur pakaian di antara makam-makam itu. Ayam dan kambing leluasa hilir-mudik dalam kompleks. Beberapa makam kondisinya memprihatinkan. Patung tanpa kepala, patung dengan sebelah tangan yang telah raib, bahkan ada beberapa makam yang sudah terbongkar dan menganga. Konon, ada keluarga yang mengambil jenazah dan membawa pulang ke negara asalnya, ada pula yang sengaja merusak makam itu berharap mendapat sesuatu yang berharga di dalamnya.
Bukan mudah mencari sebuah makam di antara ribuan makam. Bahkan kuncen di Peneleh yang sudah uzur pun kebingungan jika ditanya makam tertentu. Untunglah, setiap makam diberi kode atau penanda yang bisa memudahkan orang-orang yang ingin mencari makam tertentu.
118 tahun sudah van der Tuuk terbaring di Peneleh[24]. Makamnya terletak di tengah kompleks pemakaman. Bagian atas nisan berbentuk bujursangkar besar. Semen di keempat sisinya telah terkelupas hingga nampak jelas susunan bata di dalamnya. Bagian lain nisan itu adalah semen kasar. Epitafnya pun nyaris tidak jelas terbaca. Di kaki nisan itu, tepat di atas lubang berbentuk elips dengan diamater sepanjang tangan orang dewasa, ada kode penanda makam. Menurut kuncen Peneleh, belum pernah ada seorang pun yang datang kepadanya minta bantuan mencari makam van der Tuuk.[25]
Kondisi makam itu kurang layak dibanding dengan jasa-jasanya sebagai pelestari pertama sejumlah bahasa daerah di Indonesia. Tidak ada prasasti atau penanda di nisannya; bahwa ia adalah pahlawan bagi bahasa sejumlah daerah di Indonesia. Peradaban-peradaban besar di dunia menghargai makam, tidak sekedar menganggapnya sekadar tempat menanam mayat untuk kemudian dilupakan.
**********
Daftar pustaka :
Een vorst onder de taalgeleerden: Herman Neubronner van der Tuuk, Afgevaardigde voor Indie van het Nederlandsch Bijbelgenootschap (1847-1873), Kees Groeneboer, KITLV Uitgeverij, 2002.
Bianglala Sastra, Bunga Rampai Sastra Belanda tentang Kehidupan di Indonesia, ditulis kembali oleh Dick Hartoko, berdasarkan Oost Indische Spiegel karya Rob Nieuwenhuys, Penerbit Djambatan, cetakan kedua 1985.
Pemikiran tentang Batak, Pusat Dokumentasi dan Pengkajian Kebudayaan batak, Universitas HKBP Nommensen, Medan 1986.
"Manuskrip Tetimbai Dayang Rindu", sebuah rekaman cerita tutur, disunting oleh Krisna R. Sempurnadjaja.
Miscellaneous Works of William Marsden, 1834.
Linguistics in a Colonial World, A Story of Languange, Meaning, and Power, Joseph Errington, Blackwell Publishing, 2008.
"Proeve van een Vergelijkende Woordenlijst van Lampongsche Tongvallen" (artikel), H.N. van der Tuuk, 1868.
"Lampongsch en Zijne Tongvallen" (artikel), Dr. H.N. van der Tuuk, 1869.
Artikel Brieven van H.N. van der Tuuk Betreffende het Lampongsch, H.N. van der Tuuk, 1868-1869.
“Menggagas Kamus Besar Bahasa Lampung” (esai), Iwan Nurdaya Djafar, Lampung Post 31 Desember 2010.
[1] Makalah “Van der Tuuk sebagai Leksikografer”, A. Teeuw, Simposium Internasional Kajian Budaya Austronesia I, mengenang seabad wafatnya H.N. van der Tuuk, Bali, 14-16 Agustus 1994; dan Een vorst onder de taalgeleerden: Herman Neubronner van der Tuuk, Afgevaardigde voor Indie van het Nederlandsch Bijbelgenootschap (1847-1873), Kees Groeneboer, KITLV Uitgeverij, 2002. Juga komunikasi via surel dengan Kees Groeneboer (Erasmus Taalcentrum, Kepala Pusat Bahasa Belanda di Jakarta), penulis buku biografi van der Tuuk tersebut di atas.
.
[2] Miscellaneous Works of William Marsden, published by Parbury, Allen and Co., Leadenhall Street (1834)
[3] Artikel “Tuan Van der Tuuk, Peletak Dasar Penelitian Bahasa Batak”, Majalah Bonanipinasa (Medan), edisi Juli 1991.
[4] Mengenai tanggal lahir van der Tuuk, Kees Groeneboer dalam bukunya Een vorst onder de taalgeleerden: Herman Neubronner van der Tuuk, Afgevaardigde voor Indie van het Nederlandsch Bijbelgenootschap (1847-1873) menulisksn tanggal lahirnya 23 Februari 1824. Saya menggunakan tanggal lahir yang tertera di makam van der Tuuk.
[5] Banyak kalangan hanya mengetahui julukan Pandortuk atau Raja Tuuk. Julukan Si Balga Igung (Si Hidung Besar) ini jarang diketahui. Julukan Si Balga Igungada dalam esai “Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Batak Toba serta Peranan Gereja di dalamnya” karya J.P Sarumpaet, The University of Melbourne yang termuat dalam buku “Pemikiran tentang Batak” terbitan Pusat Dokumentasi dan Pengkajian Kebudayaan Batak, Universitas HKBP Nommensen, Medan, 1986.
[6] Ihwal ini dapat dibaca di buku “Fugitive Dreams, An Anthology of Dutch Colonial Literature”, edited and translated by E.M. Beekman, University of Massachusetts Press, (1988 dan 2000), terj. Iwan Nurdaya Djafar. Juga buku “Mirror of the Indies, A History of Dutch Colonial Literature” (Rob Nieuwenhuys) Tuttle Pub (1999).
[7] Mengenai “pemberontakan” di Bali, bisa dibaca lengkap di buku “Bara di Bali Utara, Perlawanan Rakyat Banjar di Buleleng”, penulis I Wayan Tagel Eddy, penerbit penerbit Pustaka Larasan, 2011.
[8] Lokus kantor peninggalan Belanda ini barangkali masih bisa dilacak letaknya. Kemungkinan besar di sekitar Telukbetung.
[9] Nama kedua pembantu (jongos) ini bisa dilihat dalam buku Een vorst onder de taalgeleerden: Herman Neubronner van der Tuuk, Afgevaardigde voor Indie van het Nederlandsch Bijbelgenootschap (1847-1873), Kees Groeneboer, KITLV Uitgeverij, 2002.
[10] Additional Indonesian Manuscripts in the Chester Beatty Library, in: Bijdragen tot de Taal, Land, and Volkenkunde 124 (1968) No. 3, page 368-385, P. Voorhove, KITLV. Koleksi van der Tuuk dan Marsden ini dilengkapi dengan kode identifikasi manuskrip untuk mempermudah pencarian. Beberapa baris awal Dayang Rindu dimuat dalam artikel Brieven van H.N. van der Tuuk Betreffende het Lampongsch, H.N. van der Tuuk, 1868-1869.
[11] Ibid
[12] Kini menjadi Museum Nasional Indonesia, juga dikenal sebagai Museum Gajah. Museum Gajah karena dihadiahkannya patung gajah berbahan perunggu oleh Raja Chulalongkorn (Thailand) pada tahun 1871 yang kemudian dipasang di halaman depan museum. Sejak 28 Mei 1979, nama resmi lembaga ini adalah Museum Nasional Republik Indonesia (sumber: wikipedia.com).
[13] Pemprov Lampung atau siapa pun yang peduli, jika memungkinkan, berupaya mendapatkan mikrofilm 600 halaman kamus bahasa Lampung di Leiden. Kamus tersebut penting untuk dipelajari dan diteliti. Tak tertutup kemungkinan ada kosakata bahasa Lampung yang telah punah. Kemudian menerbitkan kamus tersebut dalam bentuk buku lengkap (kamus dan biografi van der Tuuk) dan disosialisasikan kepada masyarakat Lampung.
[14] O.L. Helfrich adalah Residen Jambi pertama, diangkat oleh Gubernur Jenderal Belanda berdasarkan Surat Keputusan No. 20 tanggal 4 Mei 1906, dilantik 20 Juli 1906. Helfrich menjadi residen di Jambi dari tahun 1906-1908 (sumber: wikipedia.com).
[15] Dalam percakapan via telepon dengan Ibu Junaiyah (6 September 2012, pukul 11.46), beliau berpendapat bahwa O.L. Helfrich-lah yang pertama kali membuat kamus bahasa Lampung. Saya tidak sependapat. Saya jelaskan bahwa van der Tuuk menyusun kamus itu tahun 1868-1869, namun tak sempat dicetak atau terbitkan; sementara O.L Helfrich menerbitkan kamus itu tahun 1891 dan hanya dialek Krui (A).
[16] Kamus ini disusun oleh tim yang terdiri dari empat orang (Fauzi Fattah, Abu Thalib Khalik, Ramli Usman, dan M. Daud HS). Dua orang mewakili dialek A, dua orang mewakili dialek O.
[17] Kamus ini (saya memiliki cetakan ketiga dan keempat) terdiri dari dialek A dan dialek O; dilengkapi dengan lagu, puisi, dan pengetahuan budaya Lampung. Dieditori oleh Muslim Basyar.
[18] Contoh, dalam salah satu artikel Van der Tuuk ada kata “kelambung” yang berarti dugan/degan/kelapa muda”, sementara di kamus lain tak ada. Masih ada beberapa kosa kata lain, seperti kata “ipan” (dialek O) dan “tenuk” (dialek A) versi VDT, kata “ipan” tak ada dalam kamus mutakhir.
[19] Baca juga esai Iwan Nurdaya Djafar, “Menggagas Kamus Besar Bahasa Lampung”, Lampung Post, 31 Desember 2010.
[20] Nama Gusti Dertik itu semacam gelar “honoris causa” yang diberikan Raja Badung atas ketekunan dan pengetahuan luar biasa van der Tuuk terhadap bahasa Bali.
[21] Naskah yang diterbitkan setelah penulisnya meninggal.
[22] Artikel “Van der Tuuk: Sang Juru Selamat Bali”, penulis Sugi Lanus, pemerhati budaya dan sarjana sastra Bali.
[23] Sepatutnya ada upaya konkret dari pemerintah dan lembaga budaya/bahasa di Lampung untuk menghargai sumbangsih H.N. van der Tuuk. Ada beberapa hal yang bisa diupayakan. Pertama, menilik gemarnya pemda dan lembaga budaya di Lampung memberi gelar adat pada orang-orang luar negeri yang dianggap berjasa bagi kebudayaan Lampung, hemat saya, H.N. van der Tuuk pun sangat layak diberi gelar. Tak sulit jika memang ada niat serius. Keturunannya tersebar di berbagai belahan bumi. Yang terdekat ada di Singapura, tempat seluruh generasi Neubronner mengadakan reuni keluarga tahun 2003. Selain itu, dalam surelnya pada saya, Kees Groeneboer, penulis buku biografi van der Tuuk, bersedia ke Lampung untuk menjelaskan ihwal van der Tuuk. Bisa jadi Kees-lah satu-satunya orang yang telah melihat 600 halaman kamus tersebut.
Kedua, untuk mengapresiasi jasa dan pengabdiannya pada bahasa Lampung, Pemprov Lampung bisa menginisiasi terbentuknya nama gedung atau ruangan sesuai nama H.N. van der Tuuk, misalnya “Gedung HN van der Tuuk” atau “Gedung van der Tuuk”. Hal ini sudah dilakukan sebuah lembaga kebudayaan di Sumatera Utara.
Ketiga, Pemda Lampung bisa bekerjasama dengan Pemda Jatim, Bali, Sumut, Jabar, dan DKI Jakarta, untuk menjadikan makam H.N. van der Tuuk di Peneleh sebagai lokus heritage. (Sebagian besar pemda tergabung dalam program kerjasama budaya Mitra Praja Utama)
[24] Foto makam van der Tuuk telah diupload di Facebook dan turut disebarluaskan oleh beberapa pihak di dalam dan luar negeri.
[25] Perihal makam ini sudah saya konfirmasikan via surel kepada Errol Neubronner di Singapura (23 & 26 Oktober 2012). Beliau tidak tahu banyak tentang makam van der Tuuk dan kondisinya kini. Hal serupa diakui seorang akademisi bidang kajian linguistik via surel kepada saya (29 Okt & 7 Nov 2012), juga bisa dilihat beberapa komentar lainnya di Facebook.
0 comments:
Post a Comment