Nur Afriana, putri Satinah, menunjukkan foto ibunya di penjara Saudi. |
Jakarta. teraslampung.com--Satinah binti Jumadi Ahmad, tenaga kerja asal Indonesia di Arab Saudi yang terancam hukuman mati, kini tinggal menunggu nasib, menyusul penolakan keluarga bekas majikannya untuk menerima uang diyat (ganti rugi kematian) maksimal senilai Rp12 miliar. Uang diyat maksimal itu diajukan olej pemerintah Indonesia.
Kementerian Luar Negeri Indonesia menyatakan, keluarga ahli waris korban sejauh ini menuntut uang diyad, atau ganti rugi kematian, sekitar Rp21 miliar.
"Kita bertahan empat juta riyal (Rp12 miliar), karena ini sudah maksimal," kata Direktur Perlindungan WNI Kementerian luar negeri Indonesia, Tatang Razak, kepada wartawan, Selasa (11/02) siang di Kantor Kemenlu, Jakarta.
Menurut Tatang, otoritas Arab Saudi masih memberikan waktu sekitar dua bulan bagi keluarga korban yang tinggal di di Provinsi Al Ghasseem untuk merundingkan nilai tawaran uang diyad itu.
"Kalau dua bulan tidak tercapai, keluarganya menolak, maka kemungkinan besar eksekusi akan dilakukan (terhadap TKI Satinah)," kata Tatang.
Kemenlu mencatat, jika tawaran itu ditolak, maka Satinah akan dihukum mati pada tanggal 3 April 2014.
Satinah, yang berasal Ungaran, Jawa Tengah, divonis hukuman mati pada 2010 karena dianggap terbukti membunuh majikan perempuannya.
Indonesia melalui perwakilannya telah mengupayakan untuk meringankan hukuman Satinah, yang akhirnya berujung pada kesediaan keluarga korban untuk memaafkannya.
Namun demikian, sejauh ini kematian, sebagai syarat untuk menghindarkannya dari hukuman pancung.
Dalam jumpa pers, Kemenlu menghadirkan pula anak kandung Satinah, Nur Afriana, yang berusia 20 tahun, serta kakaknya yaitu Paeri Al-feri.
Menurut Kemenlu, mereka baru saja kembali ke Indonesia setelah menjenguk Satinah di penjara Arab Saudi, serta melakukan ikhtiar guna membekaskan Satinah, seperti menulis surat pribadi kepada keluarga ahli waris korban.
"Keinginan saya sangat besar untuk berkumpul lagi dan merasakan lagi kasih sayang ibu saya," kata Nur Afriana, membacakan ulang suratnya, di hadapan wartawan.
Belum diketahui bagaimana tanggapan keluarga korban atas isi surat Nur Afriana, tetapi menurut Anis Hidayah dari LSM Migrant Care, upaya pemerintah Indonesia untuk memberikan bantuan kepada Satinah termasuk terlambat.
"Jadi ketahuannya sudah kritis, tinggal vonis, tinggal bagaimana pilihannya diplomasi pot-potan atau bayar diyat," kata Anis saat dihubungi wartawan BBC Indonesia, Kinanti Pinta.
Menurutnya, kalau sejak kasus seperti ini ditangani, "banyak (TKI yang terancam hukuman mati) yang bisa dibebaskan."
Kementerian Luar Negeri menyatakan, pihaknya sejak awal telah mengupayakan berbagai upaya untuk memperingan hukuman Satinah, yang hasilnya antara lain ditandai kelonggaran waktu untuk hukuman mati serta negosiasi uang diyat untuk keluarga ahli waris.
Data Kementerian Luar Negeri menyebutkan, sejak 2011 hingga awal 2014, setidaknya ada 249 warga Indonesia yang terancam hukuman mati di berbagai negara, termasuk 20 kasus terakhir pada awal 2014 ini.
Sumber: BBC/reuters/dbs
0 comments:
Post a Comment