Pandu Satrio,Oyos Saroso HN/Teraslampung.com
Pantai Pulau Pahawang |
Para calon kader wisata itu diberi materi tentang “Sapta Pesona”, yaitu tujuh prinsip untuk menggaet para wisatawan agar mau datang ke Indonesia. Ketujuh prinsip itu adalah aman, tertib, bersih, sejuk, indah, ramah tamah, dan kenangan.
“Jadi, kalau di desa ibu-ibu dan bapak-bapak sekalian masih ada sampah berceceran atau menumpuk di dekat dermaga, itu berarti desa ini belum layak menerima wisatawan. Kalau ibu-ibu bertemu dengan orang asing masih takut menyapa atau malu tersenyum, itu juga berarti prinsip Sapta Pesona masih belum dijalankan,” kata Citra Persada.
“Jadi, ayo kita berlatih tersenyum!” ujar dosen Fakultas Teknik Universitas Lampung itu disambut tepuk tangan warga desa.
Sehari mendapatkan materi tentang Sapta Pesona dan berlatih tersenyum, keesokan harinya para peserta lokakarya itu kembali belajar bersama untuk mengukur kekuatan dan kelemahan pengembangan wisata Pulau Pahawang dengan model SWOT (strength, weakness, opportunity, threadh).
Desa Pulau Pahawang terletak di perairan Teluk Lampung, tepatnya pada posisi 5°40′ – 5°43′ LS dan 105°12′ – 105°15′BT. Secara administratif, desa itu masuk dalam wilayah Kecamatan Punduh Pidada, Kabupaten Pesawaran, Provinsi Lampung dan memilili luas 1.020 hektare.
Meskipun tinggal di dekat pantai, 80 persen dari sekitar 400 kepala keluarga (sekitar 1.600 jiwa) penduduk berprofesi sebagai petani. Sementara 20 persen lainnya berprofesi sebagai nelayan.
Jalur termudah untuk menuju desa yang berjarak sekitar 50 km sebelah selatan Kota Bandarlampung itu adalah dengan naik kendaraan umum menuju Pelabuhan Ketapang di Lampung Selatan. Dari Ketapang menuju Pulau Pahawang, perjalanan dengan kapal motor memerlukan waktu sekitar satu jam.
Difasilitasi oleh Mitra Bentala—sebuah NGO lingkungan lokal yang peduli terhadap kehidupan masyarakat pesisir pantai di Lampung—dan Heifer International Indonesia, kini warga Pulau Pahawang menyiapkan diri untuk menyambut wisatawan yang hendak berkunjung ke desa pulau yang indah itu.
Mulai Desember 2009 Mitra Bentala menggelar Program Wisata Bahari dan Konservasi Pulau Pahawang. Selain menyiapkan tempat penginapan, Mitra Bentala juga menyiapkan kader wisata yang akan bertugas sebagai pemandu wisata, sosialisasi kepada semua warga tentang cara menerima wisatawan, beberapa rumah warga yang akan dijadikan home stay wisatawan, dan beberapa cottage sederhana di sebuah kebun desa.
“Kami juga sedang mengajari warga untuk membuat kerajinan yang bisa dijadikan cendera mata bagi para wisatawan,” kata Herza Yulianto, direktur Mitra Bentala.
Menurut Herza, potensi wisata yang dijual di Pulau Pahawang adalah kelestarian alam yang masih terjaga dan suasana desa pantai yang alami dan bersih. “Sebelum siap ‘dijual’ untuk para wisatawan, semua warga Desa Pahawang belajar bersama-sama selama 12 tahun tentang cara menyelamatkan hutan mangrove dan terumbu karang. Kini, puluhan hektare hutan mangrove yang terjada, terumbu karang, dan laut yang bersih menjadi daya tarik tersendiri bagi wisatawan,” kata Herza.
“Kini saatnya warga Pulau Pahawang juga merasakan hasil jerih payah mereka menyelamatkan lingkungan dan hutan mangrove selama 12 tahun. Dengan banyaknya wisatawan yang berkunjung di Pulau Pahawang diharapkan perekonomian warga akan semakin membaik,” ujar Herza.
Pada tahun 1978 hutan mangrove seluas 141 hektare di pantai Pulau Pahawang nyaris habis dibabat pendatang untuk dijadikan tambak udang. Sejak Mitra Bentala mendampingi warga pada 1997, sudah ada 30-an hektare hutan mangrove yang berhasil ditanam kembali secara gotong royong oleh warga. Bahkan, kini Desa Pulau Pahawang memiliki Peraturan Desa (Perdes) Penyelamatan Mangrove yang berisi tentang larangan dan sanksi bagi warga desa maupun pendatang yang menebang pohon mangrove.
Supriyanto, aktivis Mitra Bentala, mengatakan Perdes itu dibuat warga bukan semata-mata karena keberhasilan kampanye NGO lingkungan, tetapi karena adanya kearifan lokal yang muncul kembali setelah terjadinya bencana besar.
“Pada tahun 1980-an terjadi bencana besar di Desa Pulau Pahawang berupa angin topan dan banjir yang menggenangi seluruh desa. Para tetua desa meyakini bencana itu terjadi karena Mpok Awang, yaitu leluhur pendiri desa mereka marah karena mangrove habis ditebang,” kata Supriyanto.
Legenda Mpok Awang
Legenda Mpok Awang
Hutan mangrove: dijaga dengan kearifan lokal (teraslampung/oshn) |
Menurut kepercayaan warga Desa Pulau Pahawang, Mpok Awang (seorang perempuan keturunan Cina dari Betawi) merupakan orang pertama yang tinggal di desa mereka pada tahun 1800-an Masehi. Ketika perempuan Cina Betawi yang diyakini sakti itu meninggal, jasadnya dimakamkan di atas bukit desa tersebut.
“Bekas bangunan makamnya masih ada. Tetapi sekarang sudah rusak karena dibongkar oleh pendatang yang mencari harta karun. Sebab, pernah tersiar kabar bahwa di dalam makam Mpok Awang tersimpan harta karun,” kata Supriyanto.
Legenda Mpok Awang melahirkan kearifan lokal dalam benak pribadi-pribadi masyarakatnya untuk tidak mengutak-atik apalagi sampai merambah hutan bukit batu itu karena keramat desa ada di sana. “Makanya, hutan di bukit di Pulau Pahawang tetap lestari sampai sekarang. Karena hutannya lestari, sebagian air di Pulau Pahawang tidak payau apalagi asin, airnya terasa tawar dan layak diminum,” kata Suptriyanto.
Entah benar atau tidak cerita soal Mpok Awang itu, yang pasti semua warga Desa Pulau Pahawang kini tidak ada yang berani menenang sebatang pun pohon mangrove. Sejak belasan tahun lalu mereka menanam dan menjaga pohon mangrove bersama-sama. Jika ada pendatang yang mencoba menebang pohon mangrove dan mengebom ikan dipantai, mereka akan bersama-sama mengusirnya.
Pulau Pahawang merupakan salah satu pulau dalam Gugus Pahawang. Gugus Pahawang terdiri dari pulau-pulau kecil, yaitu Pulau Maitam, Pulau Kelagian, Pulau Pahawang, Pulau Pahawang Lunik, Pulau Lalangga Balak, Pulau Lalangga Lunik, Pulau Tanjung Putus, Pulau Lunik, Pulau Balak, dan Pulau Lok. Semua pulau itu masih terlihat asri. Pantainya masih bersih. Terumbu karangnya pun terlihat indah. Jadi, wisatawan yang hendak berkunjung ke Desa Pulau Pahawang bisa sekalian berkeliling pulau-pulau kecil itu sambil memancing.
“Kalau ada wisatawan yang hendak mendekati perairan di sekitar Gunung Anak Krakatau, pemilikm perahu juga siap mengantar. Alam bawah lautnya tidak kalah dengan Pantai Senggigi di Lombok, Nusa Tenggara Barat. Kalau beruntung, bisa menikmati indahnya lava pijar Gunung Anak Krakatau,” kata Herza Yulianto.
“Wisatawan juga bisa membakar ikan segar hasil memancing di laut. Kami akan siapkan paketnya untuk memuaskan pengunjung,” tambahnya.
0 comments:
Post a Comment