Oyos Saroso H.N.
Sejauh yang saya tahu, belum pernah ada penelitian kapan akhiran “ir” mulai berkembang dalam praktik berbahasa Indonesia. Saya menduga, kemungkinan berawal dari kata “memproklamasikan” yang sering diganti pemakaiannya dengan “memproklamirkan”.
Kini, dalam praktik berbahasa sehari-hari, banyak orang latah dengan sering menyebut kata “koordinir”, “mengakomodir”, “mempolitisir”, dan sebagainya. Sialnya, pemakaian akhiran “ir” ini sungguh produktif. Mungkin karena masyarakat gemar analogi.
“Mengkoordinir” pembentukannya dianalogikan dengan “memproklamirkan”. Padahal, sebenarnya sudah ada padanan akhiran “ir” dalam bahasa Indonesia, yaitu “isasi”. Namun, nah di sinilah lucunya, akhiran “sasi” atau “isasi” itu sendiri sebenarnya juga bukan akhiran asli bahasa Indonesia. Ia merupakan serapan dari akhiran bahasa asing.
Jika ditinjau struktur mormofologi kata, sebenarnya bahasa Indonesia tidak mengenal akhiran -si, -isasi, atau -sasi. Tumbuh dan berkembangnya akhiran tersebut pada awalnya adalah sebuah anomali bahasa. Namun, kemudian berkembang menjadi analogi. Sebagai anomali atau penyimpangan berarti pemakaiannya salah. Namun, kalau akhiran itu sudah dianggap sebagai akhiran yang benar (oleh ahli bahasa dan Badan Bahasa) berarti akhiran “si, -isasi, -sasi” termasuk kategori analogi.
Maka, mulai sekarang, jika kita ingin taat azas pada tata bahasa Indonesia, marilah kita mencoba lebih menggunakan kata memproklamasikan (bukan memproklamirkan), mengorganisasikan (bukan mengorganisir), mengoordinasikan (bukan mengkoordinir).
Meski begitu, jangan pula menjadi latah dan menganggap semua kata bisa ditambahi akhiran -isasi. Hanya kata yang berasal dari kata dasar serapan (diambil dari bahasa asing) yang bisa dibentuk menjadi kata bentukan dengan akhiran “-asi” atau “isasi”.
Jadi, upaya memasyarakat tanaman lamtoro gung, ternak lele, dan program pompa air masuk desa jangan pula kemudian disebut dengan “lamtoronisasi” atau “lamtoroisasi”, “lelenisasi” atau “lelenisasi”, dan “pompaisasi” atau “pompanisasi”. Jangan latah dan tetaplah jangan malas untuk menyebut usaha memasyarakat menanam pohon lamtoro, usaha beternak lele, dan gerakan pemasangan pompa air.
Memang, itu kurang praktis karena kata berubah menjadi frasa sehingga menjadi jauh lebih panjang. Namun, berbahasa itu bukan panjang-pendek, tapi soal taat azas. Tentu, akan beda ceritanya pemakaian bahasa untuk media massa.
Kalaupun akhiran -isasi sudah dianggap benar menurut bahasa Indonesia, tidak selayaknya kita lantas latah memproduksi bentukan kata dengan akhiran “isasi” secara berlebihan. Sebab, kata yang dibentuk dengan campur tangan akhiran “isasi” sebenarnya bisa diindonesiakan dengan tetap ciamik dengan konfiks “peng-an”.
Kata dasar “kader” yang berubah menjadi “kaderisasi” (masih berbau asing) artinya tetap sama dengan peng-kader-an. Karena fonem “k” luluh, maka menjadi pengaderan. Bukankah itu juga ciamik dan efisien? Yang perlu diingat, ada kata dasar berfonem s, p, t, k, yang masih bisa ditoleransi tidak luluh jika ia masih terasa sebagai kata asing.
Jadi, sebenarnya kita tidak perlu merasa lebih bergengsi memakai kata bentukan dengan akhiran “isasi”. Dengan begitu, tidak seharusnya kita baru merasa sebagai kelompok intelektual atau orang terpelajar kalau sudah bisa sering memakai kata yang ada berbau asing.
Sejauh yang saya tahu, belum pernah ada penelitian kapan akhiran “ir” mulai berkembang dalam praktik berbahasa Indonesia. Saya menduga, kemungkinan berawal dari kata “memproklamasikan” yang sering diganti pemakaiannya dengan “memproklamirkan”.
Kini, dalam praktik berbahasa sehari-hari, banyak orang latah dengan sering menyebut kata “koordinir”, “mengakomodir”, “mempolitisir”, dan sebagainya. Sialnya, pemakaian akhiran “ir” ini sungguh produktif. Mungkin karena masyarakat gemar analogi.
“Mengkoordinir” pembentukannya dianalogikan dengan “memproklamirkan”. Padahal, sebenarnya sudah ada padanan akhiran “ir” dalam bahasa Indonesia, yaitu “isasi”. Namun, nah di sinilah lucunya, akhiran “sasi” atau “isasi” itu sendiri sebenarnya juga bukan akhiran asli bahasa Indonesia. Ia merupakan serapan dari akhiran bahasa asing.
Jika ditinjau struktur mormofologi kata, sebenarnya bahasa Indonesia tidak mengenal akhiran -si, -isasi, atau -sasi. Tumbuh dan berkembangnya akhiran tersebut pada awalnya adalah sebuah anomali bahasa. Namun, kemudian berkembang menjadi analogi. Sebagai anomali atau penyimpangan berarti pemakaiannya salah. Namun, kalau akhiran itu sudah dianggap sebagai akhiran yang benar (oleh ahli bahasa dan Badan Bahasa) berarti akhiran “si, -isasi, -sasi” termasuk kategori analogi.
Maka, mulai sekarang, jika kita ingin taat azas pada tata bahasa Indonesia, marilah kita mencoba lebih menggunakan kata memproklamasikan (bukan memproklamirkan), mengorganisasikan (bukan mengorganisir), mengoordinasikan (bukan mengkoordinir).
Meski begitu, jangan pula menjadi latah dan menganggap semua kata bisa ditambahi akhiran -isasi. Hanya kata yang berasal dari kata dasar serapan (diambil dari bahasa asing) yang bisa dibentuk menjadi kata bentukan dengan akhiran “-asi” atau “isasi”.
Jadi, upaya memasyarakat tanaman lamtoro gung, ternak lele, dan program pompa air masuk desa jangan pula kemudian disebut dengan “lamtoronisasi” atau “lamtoroisasi”, “lelenisasi” atau “lelenisasi”, dan “pompaisasi” atau “pompanisasi”. Jangan latah dan tetaplah jangan malas untuk menyebut usaha memasyarakat menanam pohon lamtoro, usaha beternak lele, dan gerakan pemasangan pompa air.
Memang, itu kurang praktis karena kata berubah menjadi frasa sehingga menjadi jauh lebih panjang. Namun, berbahasa itu bukan panjang-pendek, tapi soal taat azas. Tentu, akan beda ceritanya pemakaian bahasa untuk media massa.
Kalaupun akhiran -isasi sudah dianggap benar menurut bahasa Indonesia, tidak selayaknya kita lantas latah memproduksi bentukan kata dengan akhiran “isasi” secara berlebihan. Sebab, kata yang dibentuk dengan campur tangan akhiran “isasi” sebenarnya bisa diindonesiakan dengan tetap ciamik dengan konfiks “peng-an”.
Kata dasar “kader” yang berubah menjadi “kaderisasi” (masih berbau asing) artinya tetap sama dengan peng-kader-an. Karena fonem “k” luluh, maka menjadi pengaderan. Bukankah itu juga ciamik dan efisien? Yang perlu diingat, ada kata dasar berfonem s, p, t, k, yang masih bisa ditoleransi tidak luluh jika ia masih terasa sebagai kata asing.
Jadi, sebenarnya kita tidak perlu merasa lebih bergengsi memakai kata bentukan dengan akhiran “isasi”. Dengan begitu, tidak seharusnya kita baru merasa sebagai kelompok intelektual atau orang terpelajar kalau sudah bisa sering memakai kata yang ada berbau asing.
0 comments:
Post a Comment