Isbedy Stiawan ZS *
Analogi kapal beberapa hari terakhir ini menjadi tred di media sosial, khusus pada status twitter Ahmad Gaus—salah satu Tim 8 buku 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh—lalu disambut oleh Cecep Syamsul Hari, sastrawan Jawa Barat yang keluar dari Majalah Sastra Horison karena tak lagi sepaham dengan tindakan rekannya yang juga redaktur yaitu Jamal D. Rahman dan Joni Ariadinata, dan gaung pun sampai ke Maman S. Mahayana melalui esainya “Tentang Analogi Kapal dan Kejujuran”—juga di media sosial.
Dengan menggunakan analogi kapal juga, saya merujuk pada (nasib) Komisi Pemilihan Umum (KPU) Provinsi Lampung saat ini. Ibarat kapal, KPU Lampung sudah nyaris tenggelam setelah menunda beberapa kali pemilihan gubernur (pilgub) sekaligus menunjukkan ketidakmampuan “berhadapan” (persisnya berdampingan) dengan Gubernur Lampung Sjahroedin ZP. Sampai-sampai dua tahun APBD tidak memasukkan anggaran Pilgub Lampung. Sungguh-sungguh ironi.
Padahal, kalau komisionaris KPU punya “nyali” niscaya kendala ini bisa diselesaikan dengan baik. Apa lagi UU sudah melindungi mereka. Apapun alasan eksekutif, bahwa Lampung devisit, tidak ada alasan mengajukan anggaran bagi pesta demokrasi di Lampung—jika pilgub masih bisa disebut pesta demokrasi.
Kenyataannya KPU selalu kalah, seperti “dipecundangi” oleh eksekutif, dalam hal ini Sjahroedin ZP. Pelaksanaan pilgub tertunda-tunda, karena tidak ada biaya. Ujung-ujungnya, salah satu pasangan kandidat pilgub mencabut berkas keikutsertaan dalam laga demojrasi tersebut. Tindakan Amalsyah-Gunadi tidak saja mencoreng demokrasi, namun menampar komisionir KPU. Politik di tanah Lampung semakin jelas karut-marutnya.
Itu sebabnya, bermunculan tanggapan, saran, dan kritik kepada KPU. Ada yang menyebut anggota KPU sebaiknya mundur, KPU Lampung sudah inkonstitusinal, tidak mau sebab tetap bertahan sementara kerja amburadul, dan sebagainya.
Semestinya tatkala kapal KPU nyaris tenggelam, nakhoda dan awak kapal segera meninggalkan kapal, kalau tidak ingin tenggelam bersama-sama. Untuk apa lagi dipertahankan, toh kapal pada akhirnya bena-benar tenggelam?
Apakah awak kapal yang nyaris tenggelam tersebut menunggu masyarakat menariknya ke daratan, sebagai pelayar yang gagal? Atau malah rakyat ikut membantu agar secepatnya tenggelam? Sebab, secara kontitusi awak KPU sudah tak memiliki surat berlayar, selain perpanjangan waktu dari KPU Indonesia dengan tugas menggelar Pilgub Lampung. Kalau pilgus tak ada kepastian, sudah tentu surat berlayar itu otomatis kadaluarsa.
Nakhoda dan awak kapal yang baik, tahu kapan meninggalkan kapal. Terutama tahu bahwa kapal sudah tak bisa lagi berllayar, karena karam ataukah sebab badai. Awak kapal paham di mana dan kapan akan sandar, ketika laut sudah tak member kenyamanan.
Tetapi, yang terjadi pada KPU Lampung justru para awaknya tetap bersikukuh menjalani kapal yang nyaris tenggelam. Meskipun alternatif terakhir, Pilgub Lampung digelar Februari ini juga dipastikan gagal digelar. Barangkali saja awak KPU masih berharap akan digelar pilgub ini berbarengan atau seusai pileg dan pilpres?
Kalaulah usai pileg, jelas tidak mungkin. Para aleg yang baru akan membentuk komisoner KPU yang baru. Ini otomatis. Setelah terbentuk anggota KPU, dipastikan kebijakan yang telah ditetapkan KPU yang lama (Nanang Trenggono cs) akan dikaji ulang, boleh jadi dianulir. Termasuk kandidat calon gubernur dan calon wakil gubernur. Peta politik pemilihan kepala daerah akan moyak: penjaringan calon pilgub digelar ulang.
Siapa yang dirugikan dan siapa pula yang akan memetik keuntungan? Raykat Lampung bisa menduga-duga soal ini.
Ibarat kapal, KPU Lampung nyaris tenggelam. Apakah awaknya bergeming di dalamnya: untuk tenggelam bersama atau minta “bantuan” dievakuasi rakyat? Waktu juga yang menjawab…
*sastrawan
Analogi kapal beberapa hari terakhir ini menjadi tred di media sosial, khusus pada status twitter Ahmad Gaus—salah satu Tim 8 buku 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh—lalu disambut oleh Cecep Syamsul Hari, sastrawan Jawa Barat yang keluar dari Majalah Sastra Horison karena tak lagi sepaham dengan tindakan rekannya yang juga redaktur yaitu Jamal D. Rahman dan Joni Ariadinata, dan gaung pun sampai ke Maman S. Mahayana melalui esainya “Tentang Analogi Kapal dan Kejujuran”—juga di media sosial.
Dengan menggunakan analogi kapal juga, saya merujuk pada (nasib) Komisi Pemilihan Umum (KPU) Provinsi Lampung saat ini. Ibarat kapal, KPU Lampung sudah nyaris tenggelam setelah menunda beberapa kali pemilihan gubernur (pilgub) sekaligus menunjukkan ketidakmampuan “berhadapan” (persisnya berdampingan) dengan Gubernur Lampung Sjahroedin ZP. Sampai-sampai dua tahun APBD tidak memasukkan anggaran Pilgub Lampung. Sungguh-sungguh ironi.
Padahal, kalau komisionaris KPU punya “nyali” niscaya kendala ini bisa diselesaikan dengan baik. Apa lagi UU sudah melindungi mereka. Apapun alasan eksekutif, bahwa Lampung devisit, tidak ada alasan mengajukan anggaran bagi pesta demokrasi di Lampung—jika pilgub masih bisa disebut pesta demokrasi.
Kenyataannya KPU selalu kalah, seperti “dipecundangi” oleh eksekutif, dalam hal ini Sjahroedin ZP. Pelaksanaan pilgub tertunda-tunda, karena tidak ada biaya. Ujung-ujungnya, salah satu pasangan kandidat pilgub mencabut berkas keikutsertaan dalam laga demojrasi tersebut. Tindakan Amalsyah-Gunadi tidak saja mencoreng demokrasi, namun menampar komisionir KPU. Politik di tanah Lampung semakin jelas karut-marutnya.
Itu sebabnya, bermunculan tanggapan, saran, dan kritik kepada KPU. Ada yang menyebut anggota KPU sebaiknya mundur, KPU Lampung sudah inkonstitusinal, tidak mau sebab tetap bertahan sementara kerja amburadul, dan sebagainya.
Semestinya tatkala kapal KPU nyaris tenggelam, nakhoda dan awak kapal segera meninggalkan kapal, kalau tidak ingin tenggelam bersama-sama. Untuk apa lagi dipertahankan, toh kapal pada akhirnya bena-benar tenggelam?
Apakah awak kapal yang nyaris tenggelam tersebut menunggu masyarakat menariknya ke daratan, sebagai pelayar yang gagal? Atau malah rakyat ikut membantu agar secepatnya tenggelam? Sebab, secara kontitusi awak KPU sudah tak memiliki surat berlayar, selain perpanjangan waktu dari KPU Indonesia dengan tugas menggelar Pilgub Lampung. Kalau pilgus tak ada kepastian, sudah tentu surat berlayar itu otomatis kadaluarsa.
Nakhoda dan awak kapal yang baik, tahu kapan meninggalkan kapal. Terutama tahu bahwa kapal sudah tak bisa lagi berllayar, karena karam ataukah sebab badai. Awak kapal paham di mana dan kapan akan sandar, ketika laut sudah tak member kenyamanan.
Tetapi, yang terjadi pada KPU Lampung justru para awaknya tetap bersikukuh menjalani kapal yang nyaris tenggelam. Meskipun alternatif terakhir, Pilgub Lampung digelar Februari ini juga dipastikan gagal digelar. Barangkali saja awak KPU masih berharap akan digelar pilgub ini berbarengan atau seusai pileg dan pilpres?
Kalaulah usai pileg, jelas tidak mungkin. Para aleg yang baru akan membentuk komisoner KPU yang baru. Ini otomatis. Setelah terbentuk anggota KPU, dipastikan kebijakan yang telah ditetapkan KPU yang lama (Nanang Trenggono cs) akan dikaji ulang, boleh jadi dianulir. Termasuk kandidat calon gubernur dan calon wakil gubernur. Peta politik pemilihan kepala daerah akan moyak: penjaringan calon pilgub digelar ulang.
Siapa yang dirugikan dan siapa pula yang akan memetik keuntungan? Raykat Lampung bisa menduga-duga soal ini.
Ibarat kapal, KPU Lampung nyaris tenggelam. Apakah awaknya bergeming di dalamnya: untuk tenggelam bersama atau minta “bantuan” dievakuasi rakyat? Waktu juga yang menjawab…
*sastrawan
0 comments:
Post a Comment