Gunung Semeru |
Dari sekitar 800an gunung berapi di Indonesia, ada sekitar 130an tersebar di sepanjang pulau Jawa. Gunung-gunung yang aktif di sepanjang sejarah geologis itu ternyata menyimpan hikayat kosmologis yang bermacam-ragam di kalangan masyarakatnya.
Sesekali kita perlu juga menengok mitologi tentang gunung-gunung itu, bagaimana legenda-legenda terbentuk dan bercampur-aduk dengan sejarah sosial-politik dan keagamaan, dan bagaimana ia sesekali mencuat dari reruntuhan kesadaran tradisional masyarakat kita, terutama ketika terjadi letusan-letusan gunung dan malapetaka yang menyertainya.
Kitab Tantu Pagelaran peninggalan abad ke-15 menceritakan bahwa sebagian gunung di pulau Jawa ternyata berasal dari sebongkah tanah gunung Mahameru yang ada di kahyangan. Di puncak gunung Mahameru itulah bersemayam para dewa yang terus mengawasi berbagi peristiwa dunia manusia di muka bumi.
Para dewata sudah lama mengawasi pulau Jawa yang terus terombang-ambing karena ketidakstabilan tanahnya. Pergolakan kekuasaan Jawa sangat berkaitan dengan ketidakstabilan geologis dan ekologis seluruh pulau. Para dewata masih masygul dalam ingatan mereka mengenai hilangnya kebesaran Mataram Kuno karena meletusnya gunung-gunung. Mereka akhirnya memutuskan untuk menempatkan tiang penyangga yang kokoh yang bisa menopang kestabilan, ketenangan, dan keselarasan kosmologi kekuasaan Jawa.
Pertimbangan itu membuat mereka menetapkan untuk menegakkan sebuah gunung besar yang ditancapkan di Jawa bagian barat; Semeru namanya. Tetapi penancapan Semeru di barat Jawa itu ternyata menyebabkan kawasan timur Jawa menjadi naik. Ketidakseimbangan baru terjadi, tanah Jawa menjadi miring, kosmologi kekuasaan terganggu, dan pergolakan sosial-politik terus berlanjut.
Sidang para dewata memutuskan untuk memindahkan Semeru ke bagian timur. Dewa Syiwa dan Wisnu diutus untuk melaksanakan tugas itu. Mereka berdua turun ke bumi dan mengangkat gunung besar itu untuk diletakkan di tempat yang tepat di wilayah timur. Terbang membawa gunung besar itu, berbagai bongkohan Semeru jatuh selama perjalanan. Bongkahan-bongkahan itulah yang akhirnya menjadi gunung Gede, gunung Slamet, Sindoro, Merapi, Lawu, dan Welirang.
Gunung Semeru sendiri akhirnya ditempatkan pada posisi tengah-tengah antara Gunung Kelud dan Gunung Argopuro yang sebelumnya sudah berdiri. Sesuai maksudnya agar menjadi tiang-pancang pulau, Semeru akhirnya menjadi gunung terbesar dan tertinggi di pulau Jawa. Ia menjadi primus inter pares -- yang terkemuka di antara yang sama -- gunung di seluruh Jawa.
Naik kembali ke kahyangan, Syiwa dan Wisnu mengamati bahwa penempatan Semeru masih membuat Jawa belum cukup stabil. Tanah Jawa masih miring ke arah selatan. Maka mereka mengambil kembali sebongkah tanah Mahameru untuk ditempatkan di bagian barat-laut, dan di situlah muncul gunung Penanggungan. Gunung-gunung di Jawa setelah itu menjadi pemangku dunia Jawa.
Hikayat Semeru sangat terkenal di kalangan pendaki gunung. Komunitas pendaki gunung juga menganggap Semeru sebagai gunung yang tak mudah ditaklukkan. Di lereng Semeru ini pulalah, setelah pendakian dilakukan, Soe Hok Gie wafat bersama beberapa rekannya. Kita masih ingat, bagaimana sebelum mendaki, Gie pernah berteriak: "Ayo ke Semeru, mendaki puncak tertinggi ..! Masak hanya Suharto saja yang bisa berada di puncak tertinggi kekuasaan." Teriakan itu selalu dikenang sebagai proklamasi agar para ekolog melukan perlawanan jika kekuasaan politik dan ekonomi menjadi semakin serakah dan semakin zalim ...
* terinspirasi setelah membaca sebuah blog
0 comments:
Post a Comment