728x90 AdSpace

  • Berita Terkini

    Monday, March 10, 2014

    Saya tidak Tahu Siapa Bapaknya

    Nusa Putra*

    Hidup memang penuh ironi. Dengan sejumlah relawan saya mencoba mendirikan semacam taman belajar di lokalisasi kelas bawah illegal yang dikenal dengan nama Bongkaran. Setelah berkiprah enam bulan, kami berhasil mengumpulkan puluhan anak usia sekolah yang sama sekali tidak sekolah. Keseluruhan anak ini, ibunya adalah para WTS yang beroperasi di lokalisasi ini.

    Kami berprinsip, bila ibunya tak dapat lagi dididik dan diarahkan pada kehidupan yang lebih baik, mudah-mudahan anaknya dapat ditolong. Target kami adalah bagaimana caranya agar anak-anak ini tidak tumbuh kembang di lokalisasi ini.

    Tumbuh kembang di lokasi yang secara fisik dan sosial sangat buruk pastilah tidak baik bagi anak-anak ini. Lokalisasi ini merupakan pemukiman yang sangat kumuh dan padat. Para WTS yang beroperasi di sini melakukan praktik siang malam atau tidak dibatasi waktu. Anak-anak itu sudah sangat terbiasa melihat ibunya 'ngamar' dengan macam-macam lelaki setiap hari.

    Bukanlah hal mudah untuk masuk dan diterima dalam komunitas seperti ini. Sebab di lokasi seperti ini, penguasanya adalah para preman yang sangat tidak suka bila ada yang bermaksud mengarahkan penghuni lokasi ini ke arah yang baik, karena bisa mengganggu bisnis mereka.

    Karena itu dibutuhkan waktu yang agak lama untuk meyakinkan semua fihak agar maksud baik ini dapat terlaksana. Akhirnya kami dapat melaksanakan upaya pemberdayaan bagi anak-anak mereka. Para orang tua meminta anak-anak itu diajari mengaji dan shalat. Rupanya para ibu itu tidak mau anak-anaknya menjadi seperti dirinya. Inilah nurani murni seorang ibu, meski hidupnya berlumur kesalahan dan dosa.

    Kami menyelenggarakan pendidikan setelah selesai sholat ashar sampai sholat maghrib. Pada mulanya dua kali seminggu. Namun para ibu meminta lebih sering. Akhirnya menjadi empat kali seminggu. Beberapa ibu juga minta diajari ngaji dan sholat. Katanya persiapan untuk bertaubat.

    Para ibu itu sangat marah bila anak-anaknya malas mengikuti proses pendidikan yang kami selenggarakan. Bila anaknya perempuan, inilah ucapan ibunya untuk anak yang malas. " Kamu mau jadi lonte kayak ibu? Kamu kira enak jadi lonte? Ayo belajar sono!"

    Naluri asli keibuan yang inginkan anaknya jadi orang baik. Sikap para ibu ini sungguh sangat membantu proses pendidikan yang kami selenggarakan. Makin hari, anak-anak yang belajar bertambah terus. Kami juga menambah menu pembelajaran dengan memperkenalkan calistung yaitu membaca, menulis, berhitung. Juga mulai mengajarkan berbagai keterampilan.

    Pada waktu Ramadhan, anak-anak itu di bawa tarawih keliling masjid seperti Masjid Istiqlal, dan berbagai masjid besar di Jakarta. Bagusnya, ada beberapa ibu yang ikutan. Kegiatan ini dilakukan untuk berbagai tujuan, selain beribadah tentu untuk memberi kesempatan mereka jalan-jalan atau berwisata. Anak-anak itu, bahkan ibunya memang tidak pernah jalan-jalan jauh dari pemukiman kumuh itu. Tentulah kami berikan pada mereka perlengkapan ibadah termasuk pakaian lengkap dengan mukena bagi anak perempuan, dan pakaian lengkap sampai kopiah bagi anak lelaki.

    Kebersamaan dan kegembiraan telah meningkatkan kepercayaan mereka pada kami. Para ibu itu mulai berfikir lebih serius tentang masa depan anak-anaknya. Kami mulai merayu mereka agar mengijinkan anaknya dibawa ke kampung dan dipelihara oleh anggota keluarga yang lain atau masuk pesantren. Intinya tidak lagi mukim dilokalisasi ini. Sejumlah ibu mulai setuju.

    Kami mulai melakukan kontak ke kampung halaman mereka dan ke beberapa pesantren untuk mewujudkan rencana ini. Pada mulanya para preman tidak setuju. Mereka khawatir, ibu anak-anak itu juga akan meninggalkan lokalisasi ini. Namun, beberapa ibu ngotot menginginkan anaknya dibawa keluar dari sini. Kami berunding dengan para preman dan membuat sejumlah perjanjian agar rencana ini tetap dapat dilaksanakan tanpa merugikan mereka.

    Akhirnya satu persatu anak dapat dipindahkan seperti rencana semula. Kebanyakan memilih dipulangkan ke kampung dan dipelihara oleh neneknya dan anggota keluarga yang lain. Beberapa ke pesantren di daerah Bogor. Kami tetap selenggarakan pendidikan untuk anak yang lebih kecil.

    Ada yang sangat menarik dari anak-anak itu. Anak-anak yang bersadudara kandung tidak ada satu pun yang mirip. Kakaknya hitam dengan rambut keriting, sedangkan adiknya putih dengan mata agak sipit. Ada yang kulitnya sama putih atau sama coklat, tetapi wajah dan rambutnya sama sekali berbeda, yang satu lurus yang lainnya keriting. Benar-benar Indonesia Raya. Pada mulanya kami juga mengalami kesulitan melakukan identifikasi. Malah seringkali yang mirip bukan yang bersaudara kandung. Jadi, kami benar-benar menyaksikan ada anak mirip anak tetangga, bukan mirip saudara kandungnya.

    Juga sangat menarik bila melihat mereka sedang bermain-main. Mereka menirukan bagaimana melakukan pembicaraan sebagaimana ibunya bertransaksi dengan tamu. Mereka juga tidak punya rasa sungkan untuk meminta uang pada tamu ibunya. Beberapa anak sangat kenal dengan tamu atau langganan ibunya.

    Jika para ibu ditanya, siapa ayah anak-anaknya, jawabannya adalah "Saya ndak tahu siapa bapaknya." Wajar bila mereka menjawab seperti itu. Sebab setiap hari mereka berhubungan dengan lelaki yang berbeda-beda.

    KEMISKINAN MEMANG BISA MENDORONG MANUSIA BERBUAT YANG TAK TERDUGA.


    * Dr. Nusa Putra, S.Fil., M.Pd., dosen Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Jakarta (UNJ)
    • Blogger Comments
    • Facebook Comments

    0 comments:

    Post a Comment

    Item Reviewed: Saya tidak Tahu Siapa Bapaknya Rating: 5 Reviewed By: r3nc0n9
    Scroll to Top