728x90 AdSpace

  • Berita Terkini

    Sunday, March 30, 2014

    Perang Puisi: Kampanye Membakar Capres


    Slamet Samsoerizal*

    Ciri khas kampanye para juru kampanye parpol dan capres kita ialah menyindir, menghujat, dan merasa hanya parpolnya, sosok caleg dan capresnya yang paling hebat daripada pesaingnya. Tak ayal, gesekan dan benturan pun terjadi. Zaman Orde Baru, konflik suasana kampanye tak jarang menimbulkan aksi konflik fisik. Fanatisme parpol pun menjadi anutan massa.

    Sindir-menyindir, terutama dilakukan ketika kampanye di depan massa simpatisan dan ditayangkan media massa. Hasilnya, hujat-menghujat terjadi. Seiring perkembangan zaman, peran media massa sosial, seperti twitter dimanfaatkan para politisi untuk menyuarakan kampanyenya.

    Sindir-menyindir juga dilakukan oleh dua parpol besar yang mengusung capres. Sosok capres yang diunggulkan tentu tak rela jika diusik keberadaannya. Perang panggung, perang spanduk, perang orasi pun dinyalakan. Belakangan bahkan, situs parpol, facebook dan twitter pun dimaksimalkan demi aksi ini. Inilah fenomena baru- yang terjadi.


    Dua parpol: Gerindra dan PDIP melalui dua tokohnya menabuh genderang perang lewat puisi. Dua tokoh yang dimaksud adalah Fadli Zon dari Gerindra dan Fachmi Habcyi dari PDIP.

    Sebagaimana kita ketahui, dua sosok capres usungan Gerindra: Prabowo Subianto dan usungan PDIP: Jokowi menurut kabar, selalu saja mencoba menarik simpati melalui beragam tampilan. Jokowi yang senang blusukan sejak menjabat Gubernur DKI Jakarta dan dianggap “boneka”-nya para petinggi PDIP sering menerima cemooh dari pihak pesaingnya. Demikian pula, tampilan genit mantan danjen Kopassus, capres unggulan Gerindra pun dijadikan olok-olok.

    Fadli Zon, Wakil Ketua Umum DPP Partai Gerindra, melalui akun twitternya @fadlizon pada Sabtu (29/3) mem-posting  dua puisi. Puisi pertama, berjudul "Air Mata Buaya" dan puisi kedua berjudul "Sajak Seekor Ikan".

    Agaknya "Sajak Seekor Ikan" yang memaparkan tentang seekor ikan akuarium yang dibeli dari tetangga sebelah dan berwarna, kerempeng dan lincah lebih merupakan puisi metafora ironi yang ditujukan kepada capres usungan PDIP. Berikut isi lengkap puisi tersebut!

    Seekor ikan di akuarium kubeli dari tetangga sebelah 
    Warnanya merah Kerempeng dan lincah 
    Setiap hari berenang menari 
    Menyusuri taman air yang asri 
    Menggoda dari balik kaca 
    Menarik perhatian siapa saja 
    Seekor ikan di akuarium 
    Melompat ke sungai bergumul di air deras 
    Terbawa ke laut lepas 
    Di sana ia bertemu ikan hiu, paus dan gurita 
    Menjadi santapan ringan penguasa samudera

     29 Maret 2014.

    Kemudian puisi Fadli Zon berikutnya berjudul “Air Mata Buaya”. Inilah selengkapnya!

    Kau bicara kejujuran sambil berdusta 
    Kau bicara kesederhanaan sambil shopping di Singapura 
    Kau bicara nasionalisme sambil jual aset negara 
    Kau bicara kedamaian sambil memupuk dendam 
    Kau bicara antikorupsi sambil menjarah setiap celah 
    Kau bicara persatuan sambil memecah belah 
    Kau bicara demokrasi ternyata untuk kepentingan pribadi 
    Kau bicara kemiskinan di tengah harta bergelimpangan 
    Kau bicara nasib rakyat sambil pura-pura menderita 


    Puisi Fadli Zon ini merupakan bentuk sindiran terhadap elit PDIP dan Joko Widodo (Jokowi) sebagai capres dari PDIP. Kiat Zon menyindir Jokowi melalui puisi, juga dikaitkan dengan puisi "Boleh Bohong Asal Santun" yang ditulis dan dibacakan Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra Prabowo Subianto, ketika berkampanye terbuka Partai Gerindra di Gelora Bung Karno pada 23 Maret 2014. Puisi ini dianggap oleh banyak kalangan sebagai sindiran Prabowo terhadap Jokowi. Puisi itu selengkapnya adalah

    Boleh bohong, asal santun
    Boleh nipu, asal santun
    Boleh curi, asal santun
    Boleh korupsi, asal santun
    Boleh ingkar janji, asal santun
    Boleh jual negeri, asal santun
    Boleh menyerahkan kedaulatan bangsa, asal santun


    Sehari usai “Sajak Seekor Ikan” tayang,  Fachmi Habcyi, caleg PDIP dari daerah pemilihan Kota Bogor - Kabupaten Cianjur membalas puisinya Fadli Zon dengan puisi yang diberinya judul "Pemimpin Tanpa Kuda".
    Di bawah ini kutipan lengkap puisi Fachmi Habcyi tersebut!

    Masa kompeni telah berlalu lama
    Tak ada jarak rakyat dan centeng
    Masa perang telah berganti damai
    Tak ada jarak prajurit dan panglima
    Masa gagah-gagahan telah tak laku
    Tak ada jarak manusia dan manusia
    Kejantanan telah berubah
    Tak ada amarah dipunggung kuda
    Bung Karno blusuk Cipagalo beralas nestapa
    Temukan Marhaen tanpa asa
    Pemimpin tak perlu kuda
    Rakyat tak suka gaya
    Cukup Tuhan Punya Kuasa

    Cianjur, 30 Maret 2014

    Puisi tersebut ditulis Fachmi saat mendampingi Jokowi bersilaturahmi ke rumah Umi Sepuh di Cianjur. Ketika dikonfirmasi wartawan, Fachmi berkomentar "Maksud dari puisi saya, adalah sekarang ini yang dibutuhkan pemimpin yang tidak membangun jarak dengan rakyat yang dipimpinnya."

    Akankah perang puisi bersemangat kampanye tersebut, mampu membakar jiwa ksatria capres yang kita usung? Ataukah malah menyeretnya pada hujat-menghujat tak tentu rimba? (Eh, rimba kita sudah banyak yang gundul dan terbakar ya?). Tabik!

    * peneliti pada Pusat Kaji Darindo 
    • Blogger Comments
    • Facebook Comments

    0 comments:

    Post a Comment

    Item Reviewed: Perang Puisi: Kampanye Membakar Capres Rating: 5 Reviewed By: r3nc0n9
    Scroll to Top