Oyos Saroso H.N.
Karikatur ©Sudi Purwono |
Kalau mau adil, seharusnya bukan hanya Efan yang kena semprit. Para penyalur sembako dan bagi-bagi uang di tempat lain semestinya juga harus mendapatkan perlakuan yang sama. Dalam konteks ini, nasib Efan sama dan sebangun dengan nasib Sutiyoso (PKPI), beberapa waktu lalu di Semarang. Bedanya, tuduhan untuk Sutiyoso adalah kampanye di luar jadwal.
Setelah sanksi diberikan untuk Efan, apakah berarti Efan buruk dan yang lainnya bersih mulus? Tidak juga. Rekam jejak Efan bisa ditelusuri dengan sangat mudah. Ia salah seorang di antara sangat sedikit anggota DPRD di Lampung yang mau berkolaborasi dengan gerakan antikorupsi dan masyarakat sipil di Lampung. Efan remaja bisa dilacak jejaknya di kawasan komunitas warga Banten di Jalan Diponegoro Gang Langgar Bandarlampung. Sekarang Efan berubah? Wallahu 'alam bishowab...
Kalau kita berbicara soal kampanye di luar jadwal, bagaimana dengan capres yang tiap jam gambarnya muncul di televisi punya mereka sendiri? Bagaimana dengan calon gubernur Lampung yang membuat kehebohan tiap minggu dengan membagi-bagi mobil dan sapi?
Dalih bisa diajukan: itu bukan kampanye (karena belum ada jadwal). Maka pembenaran bisa diberikan: Biarkan saja ekspansi menabur duit dan pamer kekayaan. Nah, bagaimana dengan gula putih yang sudah merangsek ke kampung-kampung di Lampung sejak Ramadan lalu? Bagamana dengan puluhan ton gula yang dititipkan di rumah penduduk yang suatu saat nanti akan dibagikanu untuk menyogok rakyat calon pemilih?
Itu juga bukan pelanggaran, kata Gakumdu Bandarlampung. Sebab, di tumpukan sepuluh ton gula itu tidak ada alat peraga kampanye.
Soal sosialisasi caleg, calon kepala daerah, dan capres dengan embel-embel pemberian cinderamata atau selembar uang, adakah caleg, calon kepala daerag, dan capres yang jujur? Apakah Efan Tolani dan Sutiyoso kemudian layak benar-benar disebut bersalah, dengan demikian mereka berlumur noda? Saya yakin, nyaris tak ada yang berani jujur.
Bisa diyakini, hanya kurang dari 10 persen di antara mereka yang ingin merebut jabatan sebagai legislator dan eksekutif itu datang dengan tangan kosong saat menemui warga. Alasannya jelas: warga juga sering malas bertemu dengan calon yang hanya membawa tangan kosong. Mereka akan tersenyum dan bertepuk tangan jika calon yang minta mereka dukung membawa ‘sesuatu’.
Kalau ‘laka picise’, meminjam istilah orang Banten, warga pun ogah bertemu dengan caleg. Di sinilah letak pintarnya warga; kepintaran yang muncul setiap lima tahun sekali.
0 comments:
Post a Comment