Gunung Anak Krakatau |
Perjalanan menjelajah di mulai ke Way Belerang. Objek wisata air panas ini sudah cukup familiar bagi masyarakat Lampung. Pada hari Sabtu dan Minggu serta hari-hari libur lainnya, tempat ini banyak disambangi warga yang rekreasi. Tidak setiap daerah di Indonesia memiliki tempat wisata belerang semacam ini. Sayangnya, potensi ini tidak di kelola dengan serius, padahal bisa membuka peluang meningkatnya dunia pariwisata di Lamsel. Para pengunjung adalah potensi untuk mempromosikan, sekiranya mereka mendapatkan kenyamanan dan ketenangan saat berkunjung. Tetapi, permasalahan pariwisata memang bagai benang kusut. Dunia pariwisata hanya indah di dalam promosi, namun realitasnya semrawut dan jorok bahkan terkesan tidak diurus.
Begitulah. Saya lanjutkan perjalanan mengunjungi taman wisata pantai Laguna Helau. Perjalanan dari Kota Kalianda menuju Laguna Helau membutuhkan waktu sekitar 20 menit. Menyusuri jalan aspal berbatu yang berliku tidak akan membosankan karena pemandangan tepi pantai sungguh mengasyikkan. Sepanjang tepi pantai, kami saksikan masyarakat sekitar sedang memancing, berenang, atau bercengerama. Ombak laut cukup besar menampar batu dan deburnya keras sekali.
Saat saya tiba, gerbang Laguna Helau hanya terbuka sedikit. Cukup untuk sebuah motor. Seorang penjaga keluar dari gardu yang sudah tua dan kacanya berdebu. Sejenak saya mengobrol, setelah itu ia mempersilahkan saya memasuki kawasan Laguna Helau. Sejumlah cottage tersebar di bibir pantai. Tersebab ombak pantai Laguna Helau sangat besar, sengaja pasir di dekat bibir pantai ditinggikan agar lidah atau percikan gelombang tidak sampai ke cottage.
Lebih dari 5 cottage dan sebuat tempat pertemuan terbuka tersedia di Laguna Helau. Cottage di Laguna Helau dibuat berbentuk rumah panggung, rumah tradisional khas Lampung. Sayang, cottage-cottage yang tersedia terkesan tak terurus dan sudah lama tidak digunakan. Hal itu terlihat dari kunci gembok yang sudah berkarat. Kisi-kisi jendela dan pintunya sudah lapuk termakan cuaca pinggir pantai. Tetapi, tatkala saya mengintip ke dalam: ruang, kursi, dan tempat tidur tetap terpelihara dan masih bagus. Dinding kayu terpelitur. Warnanya masih terang. Kemungkinan baru saja dicat.
Menurut petugas Laguna Helau, harga sewa cottage bervariasi: dari Rp 300 ribu sampai Rp500 ribu per malam. Fasilitas 1 dan 2 tempat tidur, 1 ruang santai, dan beranda menghadap pantai. Hanya saja, jika melihat kondisi cottage-cottage tersebut, perasaan siapa tak berdebar jika bermalam di sana ? Dinding kayu yang sudah lapuk dan tak lagi rapat, setiap orang bisa leluasa melihat ke dalam—begitu pula sebaliknya. Bukan cuma itu, pintu dan jendela yang nampak ditelantarkan dan tergerus cuaca diragukan keamanan. Suasana yang sangat sepi, boleh jadi, mendukung.
Perbandingan berbalik jauh apabila kita menyewa cottage di Ubud, Bali . Meski cottage-cottage yang tersebar bersuasana pedesaan karena berada di antara sawah dan tumbuhan yang rindang serta kesan mistis jika malam hari senantiasa menyergap, namun wisatawan yang menginap tidak menunjukkan perasaan khawatir dan takut.
Memang dalam dunia pariwasata, hal terpenting dan paling utama ialah strategi pengelolaan yang baik sehingga mampu membetahkan pendatang. Para wisatawan yang bertandang bukan sekadar disuguhi keindahan alam, melainkan sebisa mungkin bagaimana ia memperoleh kenyamanan dan keamanan selama berada di tempat wisata.
Kenyamanan yang dimaksud bisa berupa fasilitas tempat penginapan (cottage/villa) yang tidak menyeramkan, toilet dan kamar mandi yang tak jauh dari ruang tidur, alat penerang memadai, serta—kalau mungkin—televisi. Sedangkan faktor keamanan, perlu ada penjaga yang selalu mengontrol, agar tiada sela orang untuk berbuat jahat.
Tempat objek wisata harus terkesan nyaman, indah, bersih, dan menyenangkan. Jangan sampai, belum lagi wisatawan memasuki area wisata sudah lebih dulu disergap rasa ngeri, waswas, tidak tenteram dan nyaman, dan suasananya yang seharusnya indah tak mendukung.
Barangkali inilah yang belum disentuh oleh pengelola objek wisata di daerah Lampung. Tengoklah tempat wisata air panas Way Belerang, Canti, Pantai Wartawan, termasuk Laguna Helau yang sudah saya sebut di atas. Juga Merak Belantung, Pantai Marina, serta Kalianda Resort. Untuk Pantai Marina, saya tak tahu lagi nasibnya. Ketika ingin menjelajah ke Pantai Marina, tiada lagi papan nama di pinggir jalan sebagai penanda.
Saya masih menjelajah objek wisata pantai di Lamsel. Menyusuri jalan beraspal pinggir pantai. Menyerap keindahan alam Pantai Ketang yang masih perawan belum terjamah pelancong. Di sekitar pantai ini perusahaan tambak udang memanfaatkan air laut.
Begitu pula Merak Belantung yang masih terkesan dikelola apa adanya. Memang memasuki objek wisata yang berdekatan dengan Kalianda Resort ini tidak akan menguras isi kantong. Namun apa yang bisa kita dapati lebih dari tempat itu? Tiada beda dengan pantai lainnya di Lampung Selatan. Pantai yang tampak masih perawan itu, sesungguhnya bisa disulap untuk jadi apa saja. Tinggal lagi menarik minat investor membenamkan uangnya demi memajukan dunia pariwisata.
Pasalnya, modal bagi dunia pariwisata sudah dimiliki Lamsel. Sepanjang pantai mulai masuk menuju Laguna Helau dan Pantai Ketang, alamnya sangat berpotensi dijadikan objek wisata. Dukungan pemda ataupun investor sangat dibutuhkan untuk membangun pariwisata pantai Lamsel. Sayang sekali objek wisata pantai yang berpotensi tersebut tidak dimanfaatkan maksimal.
Namun pertanyaannya, apakah pemerintah dan pelaku pariwisata di Lampung Selatan bisa mengubah drastis dunia kepariwisataan di Lamsel, terutama wisata pantainya.
Keindahan Pantai
dan Rest Area Keripik Pisang
Kalianda Resort |
Jika hendak ke Pantai Canti, plang rambu juga menjelaskan. Hal yang sama apabila tujuan anda ingin ke Pantai Wartawan, ikuti saja jalan selepas pasar tua Kota Kalianda.
Ke Laguna Helau bisa ditempuh dari dua tempat. Apabila anda kadung berada di kompleks perkantoran Kabupaten Lamsel, hanya turun beberapa meter dan melihat jalan Sinar Laut, atau jalan masuk Yayasaan Pendidikan YAPRI di sebelah kanan. Itulah “pintu masuk” ke wilayah Laguna Helau. Sedangkan dari Bandar Lampung maka selepas plang Merak Belantung dan melihat ada rumah makan, ada jalan masuk: dari sana anda akan sampai ke Laguna Helau.
Jika ragu, jangan malu bertanya. Masyarakat di sana tak kikir untuk menunjukkan jalan kepada anda. Kami bukan bermaksud hendak memuji, memang keramahan (dan sopan) masyarakat Kalianda sudah terbukti. Tentu jika anda menunjukkan kesopanan pula.
Kalau tidak, di mana pun dan berhadapan dengan suku budaya apa pun akan bermasalah. Begitu pula Kalianda yang telah melahirkaan seorang pahlawan—kemudian dikenal nasional—bernama Radin Inten. Dan, kita tahu fiil pesinggiri“orang Kalianda” (serta ulun Lampung pada umumnya) sangatlah kuat. Ingatlah manakala Radin Inten bertanya pada ibunya ihwal apa obat malu, ibunya dengan tegas menjawab: Mati anakku! Secara tersirat bahwa “orang Kalianda” (ulun Lampung ), jangan dipermalukan. Kalau itu terjadi, mereka siap mati untuk menebusnya.
Kami di sini tidak sedang membahas filosofi orang Lampung. Kesopanan dan keramahan masyarakat Kalianda kepada pendatang (tamu) patut sebagai rujukan dan andil jika ingin mengembangkan dunia pariwisata. Masyarakatnya tidak introvert, ramah, sopan, dan ringan membuka suara, modal bagi pelancong tak akan tersasar.
Itulah gambaran orang Kalianda. Ketika kami bertanya untuk memastikan bahwa kami tak salah memasuki jalan ke Laguna Helau, dengan ramah dijawab. Kami pun melaju, menyurusri jalan beraspal hotmix itu.
Sepanjang jalan tak henti-henti kami berdecak kagum. Menikmati keindahan alam pantai. Ternyata banyak masyarakat yang memancing di sana . Ada yang berkelompok, tak sedikit pula sendiri. Selain itu, anak-anak berenang riang ditingkahi tarian gelombang. Inilah satu sampel keindahan pantai Lamsel dan berpotensi “dijual” di pasar pariwisata Indonesia .
Potensi alam pantai itu mestinya dilirik investor dan pemkab setempat. Dunia pariwisata di Lampung sangat potensial menawarkan alam pantai. Kami mengangankan sekiranya tepi pantai sepanjang menuju Laguna Helau dibangun kafe dan ataupun warung jajan sederhana, niscaya akan menyihir pelancong ke tempat itu.
Dan, saya yakin alam pantai di Kalianda tak kalah indah dengan daerah lainnya di Indonesia . Juga berpotensi untuk dijual sebagai juadah pariwisata. Sebab, Lampung tak bisa sepenuhnya berharap dari Pusat Latihan Gajah Way Kambas yang nyaris tak terurus dan lokasinya sangat jauh dari pusat kota Bandar Lampung.
Lamsel punya banyak potensi objek wisata. Selain Laguna Helau, Pantai Ketang, Kalianda Resort, Pantai Marina, Canti, Way Belerang—untuk menyebut beberapa saja objek wisata di Kalianda, juga Menara Siger yang kini selalu menggoda jika kita berada di kapal fery yang hendak merapat ataupun bertolak ke Merak.
Potensi Menara Siger ini juga belum dimanfaatkan, baik oleh Pemda Lampung maupun Pemkab Lamsel. Karena itu, alangkah baiknya salah satu ikon dan “pintu” dunia pariwisata yang terletak di bukit Bakauheni itu dikelola bersama-sama: Pemda dan Pemkab Lamsel. Dengan demikian, sama-sama merasa memiliki.
Tidak pernah terdengar lagi wacana menyediakan lahan untuk rest area keripik pisang. Lamsel sangat potensial menghasilkan pisang. Bahkan hasilnya sudah lama dijual ke luar Lamsel seperti beberapa kota di Pulau Jawa dan di Sumatera sendiri, termasuk ke Bandar Lampung. Dengan potensi penghasil pisang cukup besar itu, mengapa tidak diolah menjadi bebagai panganan, salah satunya keripik pisang.
Pelancong akan sejenak mampir membeli keripik pisang, setelah itu melanjutkan perjalanannya ke tujuan. Jika saja di rest area tersebut masyarakatnya telah dibekali bagaimana menjual objek wisata, point plus tersendiri. Ini telah lama dilakukan oleh abang-abang becak dan sais delman di Yogyakarta . Bagaimana tamu ditawari ke pusat-pusat souvenirdan objek wisata lainnya…
0 comments:
Post a Comment