728x90 AdSpace

  • Berita Terkini

    Sunday, March 16, 2014

    Kisah Sejoli Mengembangkan Hutan Ulayat (2)

    Mbak Iing dan keluarga menanam pohon (Foto: Anshori Djausal)
    Oyos Saroso H.N.

    Hutan ulayat di Lampung kini nyaris punah. Sebagian besar lahan berpindah tangan ke perusahaan perkebunan besar, menjadi ladang tebu dan kelapa sawit, sementara sisanya terbengkelai karena tidak diurus oleh para pemiliknya. Para pemilik hutan ulayat itu adalah masyarakat adat asli suku Lampung yang dikenal dengan Lampung Pepadun (Lampung daratan) dan Lampung Saibatin (Lampung pesisir).

    Dari sekitar 7 juta penduduk Lampung, warga asli suku Lampung (Pepadun dan Saibatin) hanya 20 persennya. Suku terbesar adalah suku Jawa (mencapai 40 persen lebih).Sisanya adalah suku Jawa Serang atau Banten (20 persen), dan 20 persen lainnya adalah suku Bugis, Sunda, Batak, dan lain-lain.Suku Jawa mendominasi karena pada zaman Belanda ada program kolonisasi yang dilanjutkan dengan program transmigrasi pada zaman Presiden Soekarno dan Soeharto.

    Menyaksikan hutan ulayat yang nyaris habis dan ditelantarkan pemiliknya, sementara banyak warga miskin, Anshori Djausal, 54, tergerak hatinya. Bersama istrinya, Herawati Sukardi, sejak lima tahun lalu ia pun mulai sering mendatangi warga di desa-desa kampung suku Lampung untuk memberikan penyuluhan. Kepada warga desa yang umumnya miskin meskipun punya tanah luas itu—tiap kepala keluarga memiliki tanah 4-10 hektare—Anshori mengajari menanam pohon yang kelak bisa diambil kayunya untuk dijual.

    ”Menanam kayu untuk menghutankan lahan itu ibarat asuransi tanpa premi.Sekali menanam, sepuluh tahun mendatang orang-orang desa itu bisa panen besar,” kata Anshori Djausal, ketua Lembaga Masyarakat Adat Lampung Bunga Mayang (suku asli Lampung Utara).

    Menurut Anshori, masyarakat adat asli Lampung yang tinggal di kampung-kampung umumnya masih mengelola lahannya dengan membuka hutan, berladang, berkebun yang menghasilkan satu dua jenis komoditi secara tradisional. Akibatnya, meskipun memiliki lahan luas, mereka umumnya miskin. ”Lahan yang tidak produktif itu cenderung membuat lahan-lahan tersebut menjadi rusak dan kritis,” kata Ketua Lembaga Musyawarah Masyarakat Adat Marga Bunga Mayang Sungkai ini.

    Masyarakat Adat Bunga Mayang Sungkai adalah penduduk asli Lampung yang tinggal di desa-desa di kabupaten Lampung Utara. Selain dijual untuk menutupi kebutuhan hidup sehari-hari, warga Bunga Mayang juga menjual lahannya karena lahan tersebut dipakai untuk sebuah perkebunan tebu milik sebuah pabrik gula.


    Pembibitan pohon
    Untuk memenuhi kebutuhan yang cukup besar seperti perkawinan, menyekolahkan anak, membangun rumah, menunaikan ibadah haji, dan membangun rumah,orang asli suku Lampung di desa-desa biasanya menjual sebagian lahan. Lama-kelamaan jumlah tanah ulayat itu pun makin sedikit. Akhirnya, mereka pun menjadi miskin.

    Konsep repong ulayat (membuat hutan dengan memanfaatkan tanah adat) ditawarkan Anshori setelah dia dan isterinya, Herawati Sukardi, berhasil melakukan konservasi lahan dengan mengelola hutan konservasi kupu-kupu di Taman Hutan Rakyat Wan Abdurrahman, Bandarlampung.

    Bersama Yayasan Sahabat Alam, Anshori dan isterinya yang juga sama-sama dosen di Unila menghutankan kembali sebagian kecil lahan Taman Hutan Rakyat itu dengan menanam aneka pohon tanaman keras dan pembibitan.

    Sejak 1997 lalu Anshori bersama Herawati mulai melakukan usaha pembibitan beranekaragam tumbuhan yang bernilai ekonomis maupun bagi kepentingan konservasi. Tumbuhan yang bernilai ekonomis antara lain aren, pinang, kayu manis, kemiri, bayur, medang, bungur, cempaka, dan rotan.

    Kini, Anshori dan Herawati sudah mengoleksi tak kurang dari 90 spesies tumbuhan dan sebagian sudah dibibitkan dalam 200 ribuan bibit. Bibit-bibit itulah yang kemudian disumbangkan kepada warga desa. Agar warga desa adat bisa mandiri, Anshori mengajari warga desa melakukan pembibitan dan menanamnya di kebun masing-masing.

    Menurut Anshori konsep konsep pengembangan hutan ulayat adalah pemanfaatan tanah ulayat milik masyarakat adat yang selama ini terbengkelai karena tidak dikelola secara baik.

    ”Bayangkan, banyak penduduk desa adat yang memiliki lahan sampai 10 hektare tetapi secara ekonomi tetap miskin. Padahal, dengan menanam 10 ribu bibit pohon, dalam waktu 10 hingga 15 tahun mendatang mereka akan panen raya. Kalau per pohon menghasilkan 5 meter kubik kayu dan harga per meter kubiknya Rp 4 juta, berapa banyak uang yang didapatkan warga? Inilah yang saya sebut sebagai asuransi tanpa premi,” kata ahli ferocement (bangunan tahan gempa) ini.

    Pada tahap awal Anshori mengajak penduduk desa menanam minimal 10 jenis tumbuhan yang bernilai ekonomis minimal 1.000 bibit per jenis tumbuhan. Dengan begitu, nantinya hutan berproduksi dalam jumlah yang cukup untuk dipasarkan, berproduksi secara berkala dan berkelanjutan. Masyarakat akan mendapatkan penghasilan yang cukup setiap bulan. Walaupun dengan tingkat pengelolaan yang sederhana.

    Anshori mencontohkan, jika pada lahan kolektif tanah ulayat di satu kampung dilakukan penanaman 10.000 bibit tanaman yang terdiri dari: 1.000 bibit pisang, 1.000 bibit kemiri, 1.000 bibit kayu manis, 1.000 bibit pinang, 1.000 bibit bayur, 1.000 bibit karet, 1.000 bibit jati, 1.000 bibit rotan, 1.000 bibit aren dan 1.000 bibit medang, setelah setahun masyarakat setiap bulan secara rutin akan panen pisang. Sedangkan kayu manis setelah 5 tahun penanaman dapat dipanen, setelah itu setiap 3 tahun dapat dipanen kembali.

    Kemiri merupakan pohon besar.Setelah 6 tahun mulai berbuah dan setiap tahun dapat dipanen. Makin lama, pohon kemiri makin besar dan buahnya pun makin bertambah banyak. ”Bayur merupakan tanaman hutan yang dipanen kayunya setelah 10 tahun atau lebih. Tanaman bayur bagi masyarakat merupakan tabungan seperti asuransi tanpa prem,” kata ayah tiga anak itu.

    Menurut Anshori, selain pohon bayur para penduduk kampung adat di Lampung Utara kini juga menanam pohon meranti, medang, cempaka, merbau. ”Dengan memiliki tanaman produktif di hutannya sendiri, mereka tak perlu mencari kayu di hutan lindung dan hutan taman nasional. Jadi, repong ulayat merupakan solusi untuk meningkatkan pendapatan warga kampung adat sekaligus mengatasi illegal logging,” ujar mantan ketua Persatuan Layang-Layang Indonesia (Pelangi) ini.

    Lembaga Masyarakat adat yang dipimpin Anshori Djausal sudah bekerja sama dengan beberapa pihak untuk mengembangkan repong ulayat. Antara lain dengan pabrik gula PT Bunga Mayang dan masyarakat Desa Padangratu, Lampung Tengah, dan warga Desa Tanah Abang dan Tanjungjaya (Lampung Utara), warga Gunungbetung (Bandarlampung), dan warga beberapa desa di Kabupaten Way Kanan.. Kerja sama itu antara lain pembibitan beranekaragam jenis tubuhan lokal seperti duku sabu, merbau, enau, bayur, dan klerek, kayu manis, pinang, cempaka, kemiri, karet, dan lain-lain.
    Tengah.

    Berkat program repong ulayat yang dilakukan Anshori dan masyarakat adatnya, lahan-lahan kritis milik orang suku Lampung kini telah pulih kembali. Banyak pohon mulai menjulang tinggi.Warga desa pun mulai merasakan hasil panen beberapa tanaman pisang dan kayu manis. Bahkan, ada juga warga desa adat yang mulai panen kemiri.

    • Blogger Comments
    • Facebook Comments

    0 comments:

    Post a Comment

    Item Reviewed: Kisah Sejoli Mengembangkan Hutan Ulayat (2) Rating: 5 Reviewed By: r3nc0n9
    Scroll to Top