728x90 AdSpace

  • Berita Terkini

    Sunday, March 16, 2014

    Herawati Soekardi Djausal, Doktor Kupu-Kupu dari Gunung Betung

    Oyos Saroso H.N./Teraslampung.com


    Herawati 'Mbak Iing' Soekardi (dok pribadi)

    Rumah panggung tua gaya Palembang  yang berdiri di atas tanah sekitar 200 meter persegi itu tampak asri. Meskipun tampak sederhana dan tidak terlalu besar, rumah yang seluruh dinding dan lantainya terbuat dari kayu itu tampak kokoh dan terlihat antik.

    Di sebelah kiri rumah panggung itu, di sepetak lahan ratusan meter persegi, tampak aneka tanaman yang dihinggapi aneka kupu-kupu cantik. Di areal itu juga berdiri sebuah bangunan baru berbentuk limasan. Bangunan tanpa dinding itu biasa dipakai untuk kegiatan diskusi atau menerima tamu dalam jumlah besar.

    Sejak 1997 lalu, rumah panggung yang berdiri di pinggir hutan Taman Hutan Rakyat Wan Abdurrahman—lebih dikenal dengan Gunung Betung—itu menjadi salah satu tempat bagi Herawati Soekardi, 63, untuk akrab dengan kupu-kupu. Di sekitar tempat itulah Herawati—lebih akrab disapa Mbak Iing—menangkarkan kupu-kupu sekaligus melakukan penelitian dan menikmati keindahan aneka warna binatang cantik itu..

    Semula, tanah tempat rumah itu berdiri bukanlah milik Herawati Soekardi. Tanah itu merupakan bagian dari tiga hektare lahan yang dipinjamkan oleh Dinas Kehutanan Lampung kepada Herawati untuk konservasi lahan dengan membangun pusat penangkaran kupu-kupu.  Namun, karena daerah itu rawan konflik kepemilikan lantaran sudah dikapling-kapling warga—meskipun pemilik aslinya sebenarnya pemerintah—akhirnya Herawati membeli sekitar 4 hektare lahan lagi dari penduduk. Herawati terpaksa mengeluarkan uang jutaan rupiah untuk membayar “pembebasan lahan” yang selama ini diklaim sebagai milik perambah.

    Dibantu suaminya, Anshori Djausal, dan kawan-kawannya yang umumnya masih berusia 20-an tahun, wanita yang akrab disapa Mbak Iing ini memanfaatkan lahan seluas empat hektare untuk penangkaran dan riset kupu-kupu. Sisanya, sekitar empat hektare ditanami aneka jenis tanaman tropis lokal. Mulai dari pohon kelapa, pisang, rambutan, sirsak, tomat, cabai, dan aneka jenis tanaman buah.  Tumbuhan itulah yang menjadi inang bagi larva, yang kemudian akan berubah menjadi kupu-kupu.

    Meskipun tidak setiap hari menginap di sana, rumah panggung itu menjadi rumah kedua bagi pasangan Herawati dan Anshori Djausal. Setiap akhir pekan, pasangan dosen Universitas Lampung itu pergi  keduanya itu yang berjarak sekitar 30 km dari Kota Bandarlampung.

    “Kami bermalam hanya diterangi lampu dari minyak tanah, karena memang tidak ada listrik. Semula ada listrik dari disel. Tapi karena tidak tahan bisingnya akhirnya saya lebih memilih memakai penerangan pelita dari minyak tanah. Biasanya saya menaruh obor dari bambu di depan rumah. Kami menyatu lagi dengan alam setelah selama seminggu bergelut dengan rutinitas di kota,” kata Herawati.

    Hampir setiap akhir pekan itulah pasangan yang sama-sama mencintai kupu-kupu itu menghabiskan waktu di antara suara pelbagai binatang penghuni hutan. Hawa pegunungan yang sejuk dan jauh dari kebisingan membuat Herawati dan Anshori Djausal betah.

    Kupu-kupu di Taman Kupu-Kupu Gita Persada
    Di sana Herawati bersama-sama para aktivis Yayasan Sahabat Alam, melakukan konservasi lahan dengan menanam berbagai tanaman yang diminati kupu-kupu. Kawasan tiga ha tersebut, dalam tempo tiga tahun sudah mulai menghijau. Kawasan itu kemudian diberi nama Taman Kupu-Kupu Gita Persada.

    Herawati dan kawan-kawannya dari Yayasan Sahabat Alam melakukan penyuluhan kepada masyarakat sekitar hutan tentang pentingnya konservasi lahan dan  mengajari warga sekitar melakukan pembibitan.

    “Taman kupu-kupu sebenarnya hanya ‘pintu masuk’ bagi saya untuk menularkan pengetahuan tentang pentingnya konservasi dan keanegaraman hayati yang bisa menunjang kehidupan masyarakat. Selama ini kan mereka menjadi perambah, karena pemerintah (Dinas Kehutanan) selalu memaksakan agar hutan ditanami satu jenis pohon, sementara penduduk sekitar tidak mendapatkan apa-apa hutan. Akhirnya mereka menebangi kayu,” kata Herawati.

    Hasil penyuluhan Herawati kini telah menampakkan hasilnya.  Warga sekitar Gunung Betung yang selama ini menjadi perambah sudah mulai pandai melakukan pembibitan aneka macam tanaman. Kini, kalau kita melintasi jalan beraspal yang membelah hutan Gunung Betung akan tampak bibit-bibit berjajar di pinggir jalan atau di depan rumah warga sekitar hutan.

    Mereka juga tidak lagi membabati pohon hutan, tetapi melalukan penganekaragaman tanaman di dalam hutan yang hasilnya bisa mereka ambil. Pihak pengelola Taman Hutan Rakyat Rakyat sendiri sudah mulai merelokasi warga dari dalam hutan. Namun, warga tetap diperbolehkan mengelola hasil hutan.

    Berawal dari Kegelisahan

    Herawati mengaku, dia dan suaminya memang pencinta berat kupu-kupu.  Meskipun Anshori Djausal adalah seorang sarjana teknik sipil, kata Herawati, dia hafal nama pelbagai jenis tanaman. Kalau kebetulan jalan-jalan ke pesosok daerah di Sumatera, Anshori tak lupa membawakan oleh-oleh bibit tanaman untuk tanam di lahannya di Gunung Betung.

    “Tak jarang tanaman itu didapatkan dari sebuah jurang yang sulit dijangkau. Tak tega rasanya kalau saya tidak menanam oleh-oleh dari suami saya itu,” ujar ibu bagi empat putra-putri yang semuanya sudah beranjak remaja ini.

    Kegelisahannya melihat nasib Gunung Betung yang porak-poranda karena hancur dirusak para perambah, memperbesar niatnya untuk melakukan konservasi di Gunung Betung.

    Menurut Herawati, karena dia dan suaminya sama-sama mencintai tanaman dan keaneragaman hayati, mereka berdua menjadi merasa enjoy  bekerja, baik kerja sebagai seorang dosen maupun sebagai peneliti dan pencinta kupu-kupu.

    Gunung Betung adalah bagian kawasan Register 19 yang berada di antara wilayah Bandar Lampung dan Lampung Selatan. Akibat perambahan liar yang terjadi sejak tahun 1970-an—dan mencapai puncaknya pada saat awal era reformasi—hampir 70 persen kawasan ini gundul. Hutan yang tadinya hijau berubah menjadi semak belukar. Kayu-kayu besar dibabat habis. Sementara aneka tanaman perdu  diganti tanaman jenis sayur mayur.

    "Saya tidak mungkin terus meratapi kenyataan itu. Sebagai dosen yang mengemban tri darma perguruan tinggu, saya harus berbuat sesuatu. Menurut saya, penangkaran dan rekayasa habitat merupakan salah satu pemecahan konservasi," kata perempuan yang hobi traveling ini.

    Taman Kupu-Kupu Gita Persada pun dijadikan Herawati sebagai model penangkaran dan rekayasa habitat sebagai dasar konservasi. "Di sana kami bisa belajar sekaligus melakukan wisata ilmiah. Kami menghilangkan rasa penat setelah seminggu sibuk bekerja," ujarnya.

    Usaha yang dirintis Herawati bukan saja menarik minat para peneliti yang hendak melakukan penelitian, tapi juga menarik minat anak-anak taman kanak-kanak hingga SMA untuk menikmati wisata kupu-kupu. Turis lokal dan mancanegara juga sering mengunjungi Taman Kupu-Kupu Gita Persada. Para mahasiswa yang rutin melakukan kunjungan antara lain dari Universitas Sriwijaya (Unsri), Institut Teknologi Bandung (ITB), dan Institut Pertanian Bogor (IPB).

    “Rata-rata per tahunnya ada sekitar 1.500 pengunjung. Tapi saya tidak ingin mengubah kawasan itu melulu sebagai tempat wisata, tetapi lebih sebagai pusat percontohan konservasi kupu-kupu. Kami ingin menunjukkan kepada banyak orang bahwa melakukan konservasi itu mudah dan berbiaya murah,” kata dia.

    Kerja keras Herawati pun kini membuahkan hasil. Selain mendapatkan anugerah Kalpataru pada 2004 lalu dari Pemerintah Daerah Provinsi Lampung, Herawati juga berhasil meraih gelar doktor dari Institut Teknologi Bandung (ITB) berkat penelitiannya tentang kupu-kupu. Barangkali, Herawati merupakan satu-satunya doktor kupu-kupu di Indonesia yang hidup bersama dengan habitat yang ditelitinya..

    “Prof. Dr. Soelaksono Sastrodihardjo, dosen pembimbing disertasi saya, meminta agar hasil penelitian saya dikembangkan di daerah lain. Putra saya yang di ITB juga sedang mengambil tesis tentang kupu-kupu dengan bimbingan Prof. Soelaksono,” kata Herawati.

    • Blogger Comments
    • Facebook Comments

    0 comments:

    Post a Comment

    Item Reviewed: Herawati Soekardi Djausal, Doktor Kupu-Kupu dari Gunung Betung Rating: 5 Reviewed By: r3nc0n9
    Scroll to Top