Oyos Saroso H.N.
Kampung kami lumayan jauh jaraknya dengan pabrik gula Madukismo, Yogyakarta. Jaraknya lebih dari 30 kilometer. Namun, zaman saya masih bocah, perusahaan gula milik pemerintah itu menanam tebu hingga ke kampung kami, di kawasan Kecamatan Banyuurip, Purworejo, Jawa Tengah. Kami, anak-anak dusun, amat senang dengan adanya kebun tebu. Utamanya karena kami bisa menikmati tebu gratis dengan cara mencuri—sendiri-sendiri maupun berombongan.
Kami akan lari terbirit-birit jika Pak Mandor dari kejauhan sudah tampak bayangannya. Ya, bayangannya, karena dari jauh sosok jelasnya tak tampak. Pak Mandor biasa keliling kebun lewat jalan setapak pinggir kali dengan sepeda ontelnya. Sebelum melintasi jalan setapak, dari jauh ia akan kelihatan masuk ke kampung kami dengan kayuhan kaki kiri-kanan sambil badan dilekukkan ke kiri dan kanan pula. Gayanya khas. Kami sudah begitu hafal gayanya naik sepeda. Maka itu, begitu dia masuk terbis (perbatasan kampung kami dengan kampung lain), kamu sudah tahu: itu pasti Pak Mandor.
Salahnya Pak Mandor, punya gaya kok khas begitu dan mudah kami titeni (hafal ciri-cirinya).Alhasil, ia nyaris tak pernah bisa menangkap segerombolan anak-anak yang mencuri tebu untuk mencicipi manisnya tumbuhan yang bisa diolah jadi gula putih itu.
Yang juga membuat kami riang gembira kampung kami dikeliling kebun tebu adalah karena di dalam kebun banyak ikannya. Maksudnya, ikan-ikan sering ngumpet di dalam air di sepanjang got di tengah kebun tebu. Saya termasuk paling bodoh menangkap ikan. Maka, saya tidak begitu bisa menikmati berburu ikan di dalam kebun tebu. Namun,toh saya masih bisa bergembira karena bisa mendengarkan gerisik suara daun tebu atau gelombang ujung tangkai glaglah (bunga tebu) berwarna kebiruan.
Karena tidak pintar mencari ikan,sebagai gantinya saya sering berburu tangkap bunga tebu buat mainan. Bunga tebu menurutku sangat artistik, jauh lebih indah ketimban bunga jagung. Ah,tapi mungkin kalah indah dengan bunga desa tetangga (tapi saat itu saya belum tahu bunga desa).
Selain keasyikan dan keindahan, kebun tebu di kampung kami juga berbalut dengan cerita-cerita seram. Misalnya, konon ada banyak hantu di dalam kebun tebu. Konon ada pula memedi sawah yang menyerupai kerbau raksasa. Memedi itu akan tampak membesar jika manusia yang melihatnya takut hingga terkencing di celana. Sebaliknya, jika warga kampung pemberani, memedi sawah berbentuk kerbau itu akan mengkeret dan menghilang dengan sendirinya.
“Jadi kuncinya kita harus berani!” kata Mas Sukir, salah seorang pentolan kelompok anak penikmat tebu gratis di kampung kami.
“Kalau enggak berani Mas?” tanya saya.
“Ya jangan coba-coba!”
“Apa hantu dan memedi itu peliharaannya yang punya pabrik tebu ya Mas?” tanya Bambung, kawan kami yang paling iseng.
“Hust! Mosok hantu dan memedi dipelihara! Peliharaan pabrik gula itu ya Pak Mandor. Dia dipelihara pabrik tebu. Tiap bulan dapat gaji....”
“Kalau begitu nanti kalau besar saya mau jadi mandor tebu seperti Pak Mandor aaaaaaaaaah....” ujar Iskandar, kawan kami yang berpostur paling gemuk dan paling putih bersih.
“Kembali ke hantu. Tahu enggak kalian bahwa hantu bisa masuk angin?” tanya Mas Sukir.
“Memangnya hantu punya pori-pori ya Mas?” Kemisan balik bertanya.
“Kalau hantu mabuk saya pernah dengar Mas....” kata Iskandar.
“Kata Pak Lik Kromo, hantu itu bisa masuk angin juga. Lik Kromo yang sudah melihat dengan mata kepala sendiri saat malam-malam dia mau mengalirkan air ke sawahnya. Bahkan dia melihat sepasang hantu di pinggir kali sedang masuk angin sambil jungkat-jungkit...” Mas Sukir nerocos.
“Dari mana Lik Kromo tahu bahwa sepasang hantu itu masuk angin?” saya iseng bertanya.
“Ya... dari suaranya yang ‘hak-hek-hak-hek’ seperti orang bersendawa,” kata Mas Sukir. “Tapi ada lagi yang lebih heboh lagi, yaitu hantu gula....”
“Mosok sih Mas ada hantu gula?” Kemisan penasaran.
“Ya ada saja! Ini juga cerita riil. Fakta. Asli banget. Yang pernah lihat Lik Ponen. Menurut Lik Ponen, dia pernah lihat hantu gula ketika siang-siang mau buang hajat di kali...”
Kami semua tertawa. Mas Sukir kaget.
“Mosok siang-siang ada hantu. Hantu gula pula. Ah, Mas Sukir ini aeng-aeng wae!” kata Bambung.
“Lho ini serius. Kalian tahu kan terbis utara dekat kuburan itu? Kalian tahu ada kali kecil yang grojokannya banyak ikannya? Di dekat grojokan itu ada rumah Mbah Ngadikem. Nah, si sanalah Lik Ponen melihat hantu,” kata Mas Sukir.
“Hantu siang bolong?” tanya Kemisan”
“Betul!”
“Wujudnya gula putih?” tanya Iskandar.
“Tepat!”
“Warnanya putih?” tanya Bambung.
“Benar!”
“Banyaknya 10 ton?” tanya saya.
“Salah!” pekik Mas Sukir.
Kami tertawa terbahak-bahak sambil menunjuk wajah Mas Sukir yang mulai memerah kehitaman...
Puluhan tahun kemudian, ketika saya sudah menjadi warga Lampung di Pulau Sumatera, Indonesia, saya kembali mendapatkan cerita tentang hantu. Hantu gula. Ialah ketika berton-ton gula putih yang diyakini sebagaian warga sebagai kiriman dari pabrik gula untuk menunjukkan kebaikan hati pemilik pabrik.
Ada berton-ton gula putih, nyata wujudnya, tetapi tidak jelas siapa yang mengirimnya, konon kabarnya tiba-tiba ada di rumah penduduk. Setengah orang meyakini gula itu sudah disiapkan untuk menyogok rakyat agar warga memilih jagoan yang disorong pabrik gula. Seperempat orang cuek bebek. Seperempat orang lagi tidak percaya ada hantu gula. Seperempat yang terakhir inilah, konon, wujudnya hantu juga.
Panwas bertindak cepat. Membawa berton-ton gula putih ke kantornya. Musyawarah diadakan untuk memutuskan apakah gula itu betulan, hantu, atau gula betulan yang dipakai untuk money politic. Keputusa musyawah Panwaslu mudah ditebak: gula putih tidak ada hubungannya dengan pilgub atau pileg maupun pil pil yang lain. Sebab, gula itu datang dan nongkrong di rumah penduduk tanpa disertai tanda gambar alat peraga kampanye.
Sehabis membaca berita di internet kasus tebaran gula putih, tiba-tiba Caca Marica Hehe berteriak, “Panwas, eh, gula masuk angin!”
Saya tak tahu apakah Caca serius atau bercanda. Yang saya tahu, gula itu benda mati. Jadi tidak mungkin masuk angin...
Sambil ngopi pagi, saya berkhayal ada kiriman 100 ton gula putih mampir ke rumah saya. Saya ingin menjualnya kepada pengacara Dedy Mawardi atau kepada kawan saya yang lain yang sekarang sudah menjadi pejabat kepala daerah. Tentu dengan catatan: mereka bukan HANTU.
Kampung kami lumayan jauh jaraknya dengan pabrik gula Madukismo, Yogyakarta. Jaraknya lebih dari 30 kilometer. Namun, zaman saya masih bocah, perusahaan gula milik pemerintah itu menanam tebu hingga ke kampung kami, di kawasan Kecamatan Banyuurip, Purworejo, Jawa Tengah. Kami, anak-anak dusun, amat senang dengan adanya kebun tebu. Utamanya karena kami bisa menikmati tebu gratis dengan cara mencuri—sendiri-sendiri maupun berombongan.
Kami akan lari terbirit-birit jika Pak Mandor dari kejauhan sudah tampak bayangannya. Ya, bayangannya, karena dari jauh sosok jelasnya tak tampak. Pak Mandor biasa keliling kebun lewat jalan setapak pinggir kali dengan sepeda ontelnya. Sebelum melintasi jalan setapak, dari jauh ia akan kelihatan masuk ke kampung kami dengan kayuhan kaki kiri-kanan sambil badan dilekukkan ke kiri dan kanan pula. Gayanya khas. Kami sudah begitu hafal gayanya naik sepeda. Maka itu, begitu dia masuk terbis (perbatasan kampung kami dengan kampung lain), kamu sudah tahu: itu pasti Pak Mandor.
Salahnya Pak Mandor, punya gaya kok khas begitu dan mudah kami titeni (hafal ciri-cirinya).Alhasil, ia nyaris tak pernah bisa menangkap segerombolan anak-anak yang mencuri tebu untuk mencicipi manisnya tumbuhan yang bisa diolah jadi gula putih itu.
Yang juga membuat kami riang gembira kampung kami dikeliling kebun tebu adalah karena di dalam kebun banyak ikannya. Maksudnya, ikan-ikan sering ngumpet di dalam air di sepanjang got di tengah kebun tebu. Saya termasuk paling bodoh menangkap ikan. Maka, saya tidak begitu bisa menikmati berburu ikan di dalam kebun tebu. Namun,toh saya masih bisa bergembira karena bisa mendengarkan gerisik suara daun tebu atau gelombang ujung tangkai glaglah (bunga tebu) berwarna kebiruan.
Karena tidak pintar mencari ikan,sebagai gantinya saya sering berburu tangkap bunga tebu buat mainan. Bunga tebu menurutku sangat artistik, jauh lebih indah ketimban bunga jagung. Ah,tapi mungkin kalah indah dengan bunga desa tetangga (tapi saat itu saya belum tahu bunga desa).
Selain keasyikan dan keindahan, kebun tebu di kampung kami juga berbalut dengan cerita-cerita seram. Misalnya, konon ada banyak hantu di dalam kebun tebu. Konon ada pula memedi sawah yang menyerupai kerbau raksasa. Memedi itu akan tampak membesar jika manusia yang melihatnya takut hingga terkencing di celana. Sebaliknya, jika warga kampung pemberani, memedi sawah berbentuk kerbau itu akan mengkeret dan menghilang dengan sendirinya.
“Jadi kuncinya kita harus berani!” kata Mas Sukir, salah seorang pentolan kelompok anak penikmat tebu gratis di kampung kami.
“Kalau enggak berani Mas?” tanya saya.
“Ya jangan coba-coba!”
“Apa hantu dan memedi itu peliharaannya yang punya pabrik tebu ya Mas?” tanya Bambung, kawan kami yang paling iseng.
“Hust! Mosok hantu dan memedi dipelihara! Peliharaan pabrik gula itu ya Pak Mandor. Dia dipelihara pabrik tebu. Tiap bulan dapat gaji....”
“Kalau begitu nanti kalau besar saya mau jadi mandor tebu seperti Pak Mandor aaaaaaaaaah....” ujar Iskandar, kawan kami yang berpostur paling gemuk dan paling putih bersih.
“Kembali ke hantu. Tahu enggak kalian bahwa hantu bisa masuk angin?” tanya Mas Sukir.
“Memangnya hantu punya pori-pori ya Mas?” Kemisan balik bertanya.
“Kalau hantu mabuk saya pernah dengar Mas....” kata Iskandar.
“Kata Pak Lik Kromo, hantu itu bisa masuk angin juga. Lik Kromo yang sudah melihat dengan mata kepala sendiri saat malam-malam dia mau mengalirkan air ke sawahnya. Bahkan dia melihat sepasang hantu di pinggir kali sedang masuk angin sambil jungkat-jungkit...” Mas Sukir nerocos.
“Dari mana Lik Kromo tahu bahwa sepasang hantu itu masuk angin?” saya iseng bertanya.
“Ya... dari suaranya yang ‘hak-hek-hak-hek’ seperti orang bersendawa,” kata Mas Sukir. “Tapi ada lagi yang lebih heboh lagi, yaitu hantu gula....”
“Mosok sih Mas ada hantu gula?” Kemisan penasaran.
“Ya ada saja! Ini juga cerita riil. Fakta. Asli banget. Yang pernah lihat Lik Ponen. Menurut Lik Ponen, dia pernah lihat hantu gula ketika siang-siang mau buang hajat di kali...”
Kami semua tertawa. Mas Sukir kaget.
“Mosok siang-siang ada hantu. Hantu gula pula. Ah, Mas Sukir ini aeng-aeng wae!” kata Bambung.
“Lho ini serius. Kalian tahu kan terbis utara dekat kuburan itu? Kalian tahu ada kali kecil yang grojokannya banyak ikannya? Di dekat grojokan itu ada rumah Mbah Ngadikem. Nah, si sanalah Lik Ponen melihat hantu,” kata Mas Sukir.
“Hantu siang bolong?” tanya Kemisan”
“Betul!”
“Wujudnya gula putih?” tanya Iskandar.
“Tepat!”
“Warnanya putih?” tanya Bambung.
“Benar!”
“Banyaknya 10 ton?” tanya saya.
“Salah!” pekik Mas Sukir.
Kami tertawa terbahak-bahak sambil menunjuk wajah Mas Sukir yang mulai memerah kehitaman...
***
Ilustrasi karya Simon Letch, Canberratimes |
Ada berton-ton gula putih, nyata wujudnya, tetapi tidak jelas siapa yang mengirimnya, konon kabarnya tiba-tiba ada di rumah penduduk. Setengah orang meyakini gula itu sudah disiapkan untuk menyogok rakyat agar warga memilih jagoan yang disorong pabrik gula. Seperempat orang cuek bebek. Seperempat orang lagi tidak percaya ada hantu gula. Seperempat yang terakhir inilah, konon, wujudnya hantu juga.
Panwas bertindak cepat. Membawa berton-ton gula putih ke kantornya. Musyawarah diadakan untuk memutuskan apakah gula itu betulan, hantu, atau gula betulan yang dipakai untuk money politic. Keputusa musyawah Panwaslu mudah ditebak: gula putih tidak ada hubungannya dengan pilgub atau pileg maupun pil pil yang lain. Sebab, gula itu datang dan nongkrong di rumah penduduk tanpa disertai tanda gambar alat peraga kampanye.
***
Sehabis membaca berita di internet kasus tebaran gula putih, tiba-tiba Caca Marica Hehe berteriak, “Panwas, eh, gula masuk angin!”
Saya tak tahu apakah Caca serius atau bercanda. Yang saya tahu, gula itu benda mati. Jadi tidak mungkin masuk angin...
***
Sambil ngopi pagi, saya berkhayal ada kiriman 100 ton gula putih mampir ke rumah saya. Saya ingin menjualnya kepada pengacara Dedy Mawardi atau kepada kawan saya yang lain yang sekarang sudah menjadi pejabat kepala daerah. Tentu dengan catatan: mereka bukan HANTU.
0 comments:
Post a Comment