Unjuk rasa AMAN di depan Kemenhut, Senin, 17/3. (dok monagabay) |
Jakarta—Sekitar seribuan massa dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) melakukan aksi unjuk rasa di depan kantor Kementerian Kehutanan (Kemenhut), Jl. Gatot Subroto, Senin (17/3/14). Mereka membawa beberapa spanduk berisi aneka tuntutan kepada Kementerian Kehutanan. Para pengunjuk rasa juga meneriakkan yel-yel pembubaran Kemenhut. Dalam aksinya mereka mendesak implementasi putusan MK 35 dan pengesahan RUU Pengakuan Perlindungan Hak Masyarakat Adat (PPHMA).
Sambil mengacungkan spanduk bertuliskan “Bubarkan Kementerian Kehutanan”, beberapa di antara mereka berteriak,“Kemenhut...Bubarkan…!”
Ekatni, putra Suku Dayak Punan, Kalimantan Timur, mengaku tanah-tanah adatnya dirampas,sementara hutan dihabiskan oleh perusahaan. “Maka itu bubarkan Kemenhut!” tandas Ekatni.
Sebelum mendatangi kantor Kemenhut, para aktivis AMAN dari Sumatera, Jawa, dan Kalimantan itu juga beraksi di sekitar Bundaran Hotel Indonesia dan di depan Istana Negara.
Kedatangan aktivis AMAN dari berbagai daerah di Indonesia ke Jakarta tidak hanya untuk melakukan aksi unjuk rasa. Seriibuan perwakilan masyarakat adat berkumpul di Jakarta untuk memperingati Hari Kebangkitan Masyarakat Adat Nusantara pada Senin, 17 Maret 2014 sekaligus merayakan ulang tahun Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) ke-15.
Mereka menyuarakan desakan agar Pemerintah Indonesia segera melaksanakan MK35 dan agar DPR RI mengesahkan UU Pengakuan dan Perlindungan Hak-Hak Masyarakat Adat.
Sekjen AMAN, Abnon Nababan, menuturkan gerakan AMAN dimulai pada 17 Maret 1999. Saat itu empat ratusan pimpinan masyarakat adat berkumpul di Jakarta dan menyerukan “Jika Negara tidak mengakui Kami, maka Kami tidak akan mengakui Negara.” Pertemuan itulah yang mengawali Hari Kebangkitan Masyarakat Adat Nusantara sekaligus melahirkan AMAN.
Menurut Abnon, setelah lima belas tahun setelah semboyan itu diserukan, telah ada beberapa perubahan di tingkat kebijakan terkait dengan masyarakat adat. Perubahan itu ditunjukkan antara lain dengan adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-X/2012, yang dikenal sebagai MK35, dan Rancangan Undang-Undang Pengakuan dan Perlindungan Hak-hak Masyarakat Adat (RUU PPHMA).
“MK35 berperan penting bagi perjuangan masyarakat adat karena menyatakan bahwa hutan adat bukan lagi hutan Negara. Sebelumnya, karena hutan adat dianggap sebagai hutan Negara, maka membuka pintu untuk perampasan tanah, wilayah dan sumber daya milik masyarakat adat, termasuk hutan adat,”kata Abdon.
Ironisnya, menurut Abnon, Kementerian Kehutanan justru mengeluarkan berbagai kebijakan yang bertentangan dengan Putusan MK35 dan terkesan menunda pembahasan RUU PPHMA.
“Bahkan, Kementerian Kehutanan menggunakan Undang-undang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan untuk mengkriminalisasi masyarakat adat,” ungkap Rukka Sombolinggi, Deputi Sekretaris Jenderal AMAN untuk Advokasi Kebijakan, Hukum, dan Politik.
Lambatnya pengesahan UU PPHMA dan implementasi MK35 oleh pemerintah menyebabkan konflik terus bermunculan di lapangan. “Hampir setahun setelah MK35, masyarakat adat masih terus mengalami konflik berbasis wilayah, tanah, dan sumber daya alam,” tegas Rukka.
Karenanya pada Hari Kebangkitan Masyarakat Adat Nusantara tahun ini, masyarakat adat melakukan berbagai aksi kolektif di tingkat nasional dan daerah untuk mendesak agar pemerintah segera mengimplementasikan MK35 dan DPR segera mengesahkan UU PPHMA.
Data AMAN menyebutkan, kini Kemenhut membiayai LSM-LSM untuk membuat Hutan Desa di wilayah masyarakat adat. “Ini menunjukkan Kemenhut tak mau melepaskan hutan negara menjadi hutan adat. Hutan Desa, izin hanya 35 tahun. Jika Kemenhut menilai pengelolaan tak baik, izin dicabut dan menjadi hutan negara lagi. Manipulatif. Licik,” tegas Abnon.
0 comments:
Post a Comment