728x90 AdSpace

  • Berita Terkini

    Wednesday, March 12, 2014

    Kopi tanpa Gula

    Isbedy Stiawan ZS

    Pagi-pagi teman karib berkunjung. Kata dia, ingin silaturahmi. Aku mengangguk dan tersenyum. Aku mahfum: agama memang menganjurkan sesama insan mesti bersilaturahmi. Silaturahmi adalah menambah usia, mendekatkan rezeki, dan menabung amal.

    Tentu saja, dia memang ikhlas bersilaturahmi. Tetapi, sebagai tuan rumah maka saya juga mesti ikhlas menyediakan minuman dan sedikit gorengan singkong. Isteriku yang cekatan segera ke dapur, dan beberapa jenak selanjutnya sudah membawakan dua gelas kopi dan sepiring singkong goreng.

    Ketika menyeruput kopi buatan isteriku, temanku langsung memuji: kopi yang sedap. Lalu, ia bertanya dari mana mendapatkan kopi ini. Maksudnya membeli di mana? Ia pecandu kopi, tapi pengakuannya, yang dia minum ini lain sekali.

    Aku tersenyum-senyum saja. Sudah bertahun-tahun aku mendapat kiriman—tepatnya bantuan—dari berbagai pihak sekilo atau dua kilo kopi. Ada kopi kiriman dari Talangpadang (Tanggamus), kopi Bukitkemuning (Lampung Utara), kopi kiriman dari menantuku di Wayheni (Pesisir Barat Krui), dan kadang dari kawanku di Sukadana (Lampung Timur).

    Kopi-kopi kiriman itu kadang sebagian aku oplos. Rasanya memang sedap. Pengalaman mengoplos ini aku pelajari saat remaja dulu. Dari satu minuman beraalkohol dipoles (dicampur) dengan minuman alkohol lainnya. Rasanya entah apa, aromanya bagaimana. Tetapi, yang pasti membuat cepat teller.

    Selain memuji seduhan kopi—sebetulnya tidak diseduh melainkan kopi dan gula dicampur dikasih air langsung dimasak, kopi masakan seperti ini tak ada lagi ampasnya—buatan isteriku, ia juga memberi jempol karena tidak manis, seperti kolak.

    “Kopi kebanyakan gula tidak baik untuk kesehatan. Bisa diabetes, dan orang yang punya penyakit magh akan segera kambuh,” kata kawanku itu seolah aku tak tahu ihwal kesehatan.

    Soal kopi tanpa manis, aku terlalu sering mendengar. Bahkan, kawanku—namanya Entus—kalau ngopi tak mau dengan gula. Benar-benar pahit. Kata dia, yang namanya kopi biarlah dia tetap alami: pahit. Nah, meskipun dia mengidap magh, kenyataannya tak pernah mengeluh penyakitnya itu kambuh.

    “Cuma kalau ada yang ngasih kau sekantong gula, ya terima saja. Bisa kau jual atau tukar dengahn kopi. Minum kopinya tetap tanpa gula,” ujar Entus tertawa-tawa.

    Aku paham ke mana arah bicaranya. Seperti juga aku mengangguk-anggguk tatkala kawan karibku yang bertamu ini. Dia membawakan dua paket bingkisan berisi sembilan bahan pokok (sembako), sekantong gula, sebungkus kopi, dan sebuah amplop. Tak ketinggalan, kartu nama pasangan calon gubernur.

    Aku tersenyum. Grafitasi? Suap? Ah, lebih populernya politik uang atau bahasa kerennya money politic?

    “Dari siapa ini?” aku bertanya terheran-heran. Keherananku bukan pada pemberian paket bingkisan ini, melainkan pada ucapan pertama dia saat masuk ke rumahku; “Sudah lama tak ketemu, aku kangen. Bukankah silaturahmi memperpanjang usia, meringankan rezeki, dan menambah amal kebaikan?”

    Ternyata dia tak ikhlas bersilaturahmi. Dia menemuiku karena punya misi: membujukku agar memilih pasangan cagub-cawagub yang wajahnya ada di dalam bingkisan. Ah, aku salah reka.

    Tetapi, aku tak akan pernah mencabut keikhlasanku untuk menyajikan segelas kopi yang menurutnya nikmat tiada tara, dan sepiring goreng singkong yang jarang lagi disuguhkan oleh keluarga di zaman modern sekarang.

    “Sudah terima saja. Ini juga sebagian dari apa yang disebut bahwa silaturahmi meringankan rezeki. Ini bagian dari rezeki, dari manfaat jika kita mengikuti anjuran agama,” kata teman karibku sambil senyum-senyum.

    Dia lalu bercerita bahwa ia bagian dari tim pembagian sembako dan gula kepada masyarakat. Dia menegaskan, bingkisan paket itu langsung dari tim pemenangan cagub dan cawagub Rifal Kayagula-Bakti Banyakuang.

    Pengakuan kawan karibku ini justru dibantah oleh sekretaris partai pengusung cagub dan cawagub yang terindikasi money politic itu. Sekretaris partai itu menegaskan, bagi-bagi sembako dan gula itu bukan dari kandidatnya. Lalu, dari siapa?

    Lawan politik? Alangkah bodoh perbuatan itu. Ini sama saja kerbau punya susu, sapi punya nama. Artinya, kalau lawan politik Rifal Kayagula-Bakti Banyakuang yang membagi-bagi demi menjatuhkan orang lain, masyarakat yang mendapatkan bingkisan akan berterima kasih tetap kepada Rifal-Bakti.

    Jadi, kebodohan saja kalau kita mengklaim lawan politik yang membagi-bagi sembako dengan mengatasnamakan kandidat kita. “Kau bisa diseret jadi saksi, mau kau?”

    “Maksudmu?”

    “Kau membawa bingkisan paket ini. Sekarang panwaslu memasang mata-mata di mana-mana. Aku tak mau jadi saksi, maka bawa pulang lagi bingkisan ini,” gertakku.

    Ow, jangan begitu kawan. Kau boleh terima bingkisan ini, dan silakan kalau kau mau pilih kandidat lain,” ujarnya.

    Aku tetap menolak bingkisan yang dibawa kawan karibku dari salah seorang kandidat Pilgub Lampung. Ingin melanjutkan tidur pagi ini tanpa mimpi-mimpi politik yang karut-marut. Apalagi, semalaman aku terjaga sebab bagian belakang rumahku masuk tamu yang tak kuinginkan: tumpahan air dari pembuangan air sebab drenaise buatan perumahan yang tanpa insinyur bangunan. Pertemuan dua arus dari talang dan air siring akhirnya tumpah di dalam rumah.

    Begitu pula pada pemilu nanti, 9 Maret 2014, aku ingin tidur seharian… *


    • Blogger Comments
    • Facebook Comments

    0 comments:

    Post a Comment

    Item Reviewed: Kopi tanpa Gula Rating: 5 Reviewed By: r3nc0n9
    Scroll to Top